Nah, opini publik sendiri sebenarnya terbentuk dari tiga komponen utama. Pertama,credulity. Komponen ini menyoal percaya atau tidaknya masyarakat akan pesan maupun aktor pembawa pesan.Â
Dalam kasus ini, boleh jadi masyarakat menganggap bahwa ungkapan "Tampang Boyolali" itu bukan representasi bahasa keprihatinan akan nasib mereka melainkan suatu hinaan, sebab sosok yang membicarakan persoalan ini dianggap belum melakukan sesuatu yang berarti terkait kemajuan ekonomi rakyat maupun bangsa.
Kedua, reliance. Komponen ini terkait dengan sesuatu yang sudah dipercayai, belum tentu dianggap penting oleh publik. Artinya, kalaulah benar bahwa memang isu ketimpangan ekonomi itu benar adanya, belum tentu isu itu penting bagi masyarakat Boyolali.
Lebih fatal lagi, kalau ternyata isu ketimpangan ekonomi yang dibicarakan Prabowo itu dinilai keliru dan mengada-ada, maka sudah pasti tidak akan dianggap penting isu tersebut. Makanya, apa yang dibicarakan Prabowo dengan istilah "Tampang Boyolali" itu dianggap keliru dan tidak penting, sehingga yang muncul adalah respons merasa dihina.
Terakhir, welfare values alias nilai kesejahteraan. Kalau mau menarik seseorang dalam pembicaraan kita, atau menarik perhatian publik pada pidato kita, maka bicaralah tentang kesejahteraan mereka dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti. Orang akan tertarik dengan pembicaraan kita, jika kita lebih banyak membahas orang tersebut ketimbang membahas diri kita sendiri.
Saya yakin, apa yang diungkapkan Prabowo sebenarnya tidak salah bahkan menarik sebab menyangkut ketimpangan ekonomi, tapi sayangnya pidato itu tidak komunikatif bahkan gagal menyita perhatian publik pada isu tersebut. Alhasil, yang muncul malah kontroversi yang dianggap jauh dari substansi pembicaraan Prabowo. Kalau begitu terus gaya komunikasi Prabowo, rasanya sulit menguber Jokowi dalam Pilpres kali ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H