Â
Seminggu terakhir, heboh perbincangan dan protes dari warganet Maluku terkait tayangan On The Spot Trans 7 pada 12 Oktober 2017 lalu tentang Suku Bati atau biasa disebut Orang Bati yang mendiami Pulau Seram, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Maluku. Warganet Maluku, terutama warga Seram Bagian Timur, memprotes keras tayangan tersebut lantaran dinilai jauh dari fakta faktual tentang Orang Bati itu sendiri.
Orang Bati digambarkan On The Spot Trans7 sebagai mahluk mitologi serupa gabungan monyet dan kelelawar, mempunyai kesaktian mengubah wujud, menyeberangi lautan dalam waktu sekejap, dan suka memangsa bayi juga anak-anak. Orang Bati diidentikkan dengan Pterodactyl atau reptil purba bersayap yang belum punah.
Pertanyaannya, apakah informasi yang disampaikan On The Spot Trans 7 itu sepenuhnya salah atau ada benarnya? Sebab, membincangkan Orang Bati, tentu saja sepaket dengan kisah-kisah mistis yang diriwayatkan dari generasi ke generasi, dari perbincangan satu orang ke orang lain. Penyebaran informasi tentang Orang Bati dengan budaya tutur ini, menjalar dari kampung-kampung di sekitaran perkampungan Bati hingga tersebar luas ke mancanegara. Semua kisah, baik yang biasa maupun yang mistis hanya bisa terjawab jika pihak On The Spot Trans 7 berkenan datang langsung ke Kampung Bati dan melakukan peliputan yang komprehensif.
Kembali lagi ke pertanyaan di atas, sebenarnya, tidaklah mudah tuk dijawab. Namun, dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengulas sedikit saja dari sekian banyak fakta verifikatif tentang Orang Bati yang sudah lumrah dalam keseharian orang Seram Bagian Timur. Supaya lebih spesifik dan detil, saya ingin menjabarkan persoalan ini berdasarkan apa yang saya temui ketika bersilaturahim ke Kampung Bati Kelusi.
![Susana perkampungan Bati Kelusi (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/23/7-59eddcecc226f97f4e21d902.jpg?t=o&v=770)
Kehidupan normal Orang Bati
Suatu waktu, saya bersilaturahim ke kampung Bati Kelusi selama 3 hari, dari tanggal 3-5 Maret 2015. Kebetulan, saya ke sana bersama keturunan asli Bati Kelusi, namanya Bapak Najam Siasaun. Dalam perjalanan ke atas, selain detemani kedua orang tua saya, Bapatua Najam --begitu biasa saya menyapa beliau-- memboyong serta keluarganya, ada Mamatua Aisya Rumain, Abang Bati (anak tertua), dan Adinda Susi.Â
Kami berjalan kaki kurang lebih 3-4 jam dari Desa Kian (bagian pantai) sekitar pukul 12 siang menuju Bati Kelusi. Selama perjalanan, saya disuguhi pemandangan hutan yang lebat nan asri, merdu suara burung bersahutan, udara segar, serta medan yang cukup "merepotkan". Saat itu, belum ada jalan aspal seperti sekarang, sehingga butuh waktu lama dan banyak istirahat lantaran kami harus terus menanjak hingga tiba di Bati Kelusi.
Kesan pertama saya, baik selama perjalanan hingga masuk kampung Bati Kelusi, justru berbalik 100 persen dari apa yang diberitakan On The Spot Trans 7. Malah bisa dibilang saya mengalami beberapa hal lucu dan menyenangkan;
Pertama, selama perjalanan ke atas, saya puas makan durian yang jatuh di sepanjang jalan menuju perkampungan Bati. Bapatua Najam tampak getol memungut durian mateng yang sudah jatuh dan diberikan semuanya kepada saya. Dalam hati, saya bergumam, inilah yang dibilang ketiban durian runtuh. Hehehe. Dan memang benar, di sisi kiri-kanan jalan, sepanjang saya mengedarkan pandangan, pastilah di sana ada pohon durian.
![Jembatan kayu sebelum memasuki perkampungan Bati Kelusi. Di sini, kami istirahat dan memakan durian, sekaligus mencuci muka di kali kecil yang persisi di bawah jembatan ini. Ritual ini semacam penghormatan kepada kampung (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/23/4-59eddf32ed4ed6217b003fe2.jpg?t=o&v=770)
![Ki-ka: Abang Bati, Shulhan, Mamatua Aisya (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/23/p-20150328-162041-bf-59ede00d5c814a32cc11cc54.jpg?t=o&v=770)
Ketiga, Gak cukup sampai di situ, setelah masuk rumah, masih dalam situasi ngeteh sore, abang-abang dari warga Bati menghampiri saya dan minta HP-nya diisi lagu dangdut. Untung saja, stok lagu dangdut saya banyak.hahaha. Setelah itu, mereka minta nobar film Rambo. Katanya, mereka mau lihat aksi baku tembak Opa Sylvester Stallone. Jangan ditanya, nobar kita tuh cukup ramai, mulai dari anak-anak, bapak-bapak sampai mama-mama pun ikutan nonton.
![Nobar Film Rambo. dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/23/11-59ede05bc226f90d3a3ff032.jpg?t=o&v=770)
Selepas isya, kami menikmati makan malam seadanya sambil lesehan di atas tikar yang terbuat dari daun sagu; menunya ada ikan bakar, sagu, nasi, sambal, juga air putih yang diatur menjajari taplak putih. Setelah kenyang, giliran saya menambah asupan nutrisi otak dengan berdiskusi banyak hal mengenai Suku Bati atau Orang Bati. Hanya berbicara hal-hal ringan saja. Karena asyik, beberapa pemuda Bati datang dan ikut nimbrung obrolan saya dan Bapak Kadus.
Di tengah suasana temaram lampu petromak, kami bertukar cerita tentang penelitian-penelitian yang sudah dilakukan di Bati. Singkatnya, sudah banyak penelitian etnografi yang dilakukan di perkampungan Bati, mulai dari penelitian mahasiswa, akademisi lokal Maluku termasuk Dr. Pieter Jacob Pelupessy, hingga turis mancanegara yang tinggal berbulan-bulan di Bati.Â
Bapak Kadus menceritakan, pernah ada turis Denmark yang tinggal selama tiga bulan di Bati. Turis itu ikut "pukul sagu" alias panen dan produksi sagu, bertani, ikut berburu, dan mengikuti semua aktivitas harian warga Bati Kelusi. Hasil panen singkong, ubi jalar dan tanaman berumur pendek lainnya, biasa dibeli oleh warga di perkampungan pantai dalam jumlah besar. Dan biasanya hasil panen Orang Bati laku keras saat momentum maulid Nabi SAW, akekahan, dan acara tahlilan orang meninggal.
Keesokan harinya, saya masih terus menggali beberapa hal dari Bapak Kadus. Kali ini tentang pengalaman Orang Bati di luar perkampungan Bati. Siapa sangka, ternyata bukan hal baru kalau bicara interaksi Orang Bati dengan orang luar. Beberapa pemuda Bati pernah dikirim ke Rajapolah, Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk mengikuti pelatihan menganyam. Kebetulan, karena saya dulu bersekolah di Kab. Ciamis yang bersebelahan dengan Tasikmalaya, maka obrolan kami pun makin nyambung dan asyik. Uniknya, kegiatan mengayam di Rajapolah itu, bukan dari program daerah melainkan program salah satu partai politik. Artinya, Orang Bati sudah sangat terbuka dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan pihak ketiga.
![Anyaman karya warga Bati. dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/23/10-59ede0fcf7afdd28e22eaa22.jpg?t=o&v=770)
Sedikit kisah yang saya anggap mistis saat mengunjungi Tua Aisya yaitu ketika saya dan Adinda Susi ke rumah beliau, kami disambut angin yang cukup kencang di sekitaran rumah dan nampak tanda-tanda hujan. Setelah masuk rumah, hujan pun mengguyur deras. Tapi, saya melihat hujan itu berjarak satu meter di sekeliling rumah sehingga saya tak terkena sedikit pun ampas-ampas hujan. Masih dalam keheranan, Tua Aisya bicara dalam bahasa Bati dan diterjemahkan Adinda Susi bahwa itu salam kenal dari leluhur Bati yang baru melihat saya di sana. Selebihnya, semua perbincangan berjalan normal. Saya bahkan diceritakan ihwal penghasilan mengayamnya Tua Aisya. Sekali menjual anyaman, Tua Aisya meraup 20-30 ribu rupiah. Uang itu dipakai membeli gula, garam, dan kopi.
![Tua Aisya di rumah mungilnya di tengah hutan yang cukup jauh dari perkampungan Bati Kelusi. dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/23/13-59ede18ac839c03da2109fc2.jpg?t=o&v=770)
![Saya bersama adik-adik Bati Kelusi yang manis-manis dan ganteng. Kami berpose di pekaran rumah Bapak Kadus. Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/23/5-59edeceff1334433a6623332.jpg?t=o&v=770)
![Adinda Susi, mahasiswi STAIS Seram Timur, Kab. SBT. Dia menjadi penerjemah saya saat berbincang dengan Tua Aisya karena saya sendiri gak paham bahasa Bati. dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/23/9-59ede1c65c814a32ca0dbcb4.jpg?t=o&v=770)
Sisi mistis Orang Bati
Dari sedikit pengalaman dan informasi yang saya himpun, memang sisi mistis Orang Bati tak disa dinafikan begitu saja, sekali pun saya sendiri belum pernah menemukan suatu tuturan dari orang di sekitaran Bati bahwa Orang Bati itu makan anak-anak seperti yang dikabarkan On The Spot Trans 7. Bahkan menurut Bapak Kadus, kalau ada cerita Orang Bati yang bisa menghilang dan sering berpergian jauh hanya dengan berjalan kaki melewati hutan dan lautan adalah mitos yang memang sudah jadi cerita turun-temurun.
Meski begitu, Bapak Kadus di sisi lain tidak membantah akan kabar mitos serupa itu. Sebagai jalan tengah, beliau bilang, ada Orang Bati yang berujud astral, Nenek Moyang mereka yang sudah lama mendiami Pulau Seram. Tapi, tidak ada yang makan anak maupun berujud sejenis campuran kera dan kelelawar. Hal ini persis dengan apa yang dikatakan Dr. Pelupessy yang membedakan "Bati" dengan "Batti", di mana Bati adalah manusia biasa, sedangkan Batti adalah wujud astral orang Bati. Namun, dalam wawancara dengan On The SPot Trans 7Â itu, Dr. Pelupessy mengatakan bahwa Orang Batti suka makan orang.
Pernyataan Dr. Pelupessy sontak menuai kritik, terutama dari warga Seram bagian timur. Namun dari sisi akademis, saya mengapresiasi penelitian etnografi yang dilakukan beliau, sebab memang seharusnya sebuah realitas suatu suku bangsa perlu dilakukan pendekatan ilmiah untuk menemukan kesesuaian sejarah. Alangkah baiknya, kita orang SBT juga melakukan penelitian baru atau mengembangkan penelitian yang sudah ada, menggali manuskrip juga bukti-bukti otentik lainnya tentang Manusia Bati itu sendiri. Buku, ya dibalas buku :)
Oke, kembali ke topik. Sepanjang yang saya tahu, lagi-lagi berdasarkan refleksi keluarga dan orang-orang sekitaran saya, bahwa memang Orang Bati punya sisi mistis namun belum dapat dibuktikan dengan mekanisme ilmiah. Mistiknya Orang Bati hanya bisa dirasakan lewat pengalaman "spiritual" siapapun yang bersinggungan langsung.
Sebagai contoh, orang Seram Bagian Timur sudah akrab dengan peristiwa "kai lululuk" atau dahan kayu yang membengkok memalang jalan sebagai pertanda Orang Bati sedang melewati lokasi tersebut dan siapapun dilarang melintasi/menerabas kai lululuk itu. Kalau menerabas, baik disengaja ataupun tidak, kita akan sakit.Â
Saya pribadi, baru dua kali mengalami peristiwa kai lululuk ini. Satu kali ketika saya masih SD dan saat itu waktu saya di hutan bersama nenek yang sedang memanen kopi. Saat saya hendak melewati sepohon kopi, tiba-tiba salah satu dahan kopi yang tepat di hadapan saya, langsung membengkok ke bawah. Proses itu bertahan hampir 3 jam, lalu dahan itu kembali ke posisi semula. Pengalaman kedua, persis di samping rumah saya di Desa Suru, sore itu sebatang kayu membengkok ke bawah. Alhasil, kami tak melewati pekarangan rumah kurang lebih 3 jam juga.Â
Lalu bagaimana berinteraksi dengan Orang Bati yang berujud astral? Berdasarkan penuturan Mamatua Kian-biasa saya memanggil Bibi saya dari keluarga Bapak- beliau sudah sering berinteraksi dengan Orang Bati dengan sisi astral ini. Kadang mereka singgah di rumah Mamatua Kian sekadar makan siang, makan malam, ngeteh, ngopi dan merokok. Anehnya, meski dalam ujud astral, mereka mengonsumsi makanan layaknya manusia biasa. Aneh, kan? Saya juga heran. Tapi, ini dialami oleh banyak Orang Seram.
Bagaimana dengan sangkaan, makan orang? Menurut penuturan Mamatua Kian, sebenarnya Orang Bati tidak pernah memakan orang. Hanya saja, mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan mereka dalam ujud astral apabila di sebuah perkampungan yang mereka lewati, terdapat orang sakit yang sedang sakaratul maut. Sehingga, Orang Bati harus menunggu sampai orang itu menemui ajalnya, barulah mereka melanjutkan hajat perjalanan mereka.
Nah, hal inilah yang disangka banyak orang bahwa Orang Bati (astral) memangsa manusia. Bahkan, sebagian sudah berpikir bahwa kalau ada tanda-tanda Orang Bati di kampung mereka dalam waktu 1-2 hari bahkan seminggu, berarti akan ada yang meninggal. Padahal, itulah pantangan Orang Bati untuk tidak pergi dari kampung saat ada yang sakit-sakarat atau ada tanda-tanda akan kematian seseorang di kampung yang mereka lewati. Persis seperti apa yang dikatakan Bapak Kadus bahwa Orang Bati yang astral, bisa melihat tanda-tanda kematian pada seseorang. Wallahu a'lam...
Kisah lain, sesuai pengalaman saya, sebenarnya tidak aneh, tapi saya hanya merasa "waktu berhenti sejenak" ketika saya disuguhi durian di sore hari saat hari pertama tiba di Bati. Ingat, hanya perasaan saya saja. Ceritanya, waktu itu hanya ada 2 buah durian yang mau dibelah, lalu Bapatua Najam meminta beberapa keluarganya yang laki-laki ke hutan mengambil durian. Dua orang lelaki dengan parang lengkap di tangan siap ke hutan dan izin pamit.Â
Tapi, kok, gak lebih dari 5 detik, mereka sudah kembali membawa banyak durian. Mereka pergi dan kembali, hanya dijeda oleh gerakan saya yang menunduk sesaat dan kembali menengadah. Ah, mungkin ada durian di gudang. Tapi di mana gudangnya? Saya masuk hampir semua rumah dan pekarangan di Bati Kelusi dan tidak menemukan tempat timbunan durian. Kadang saya berpikir, mungkin Orang Bati mengetahui cara transdimensi atau mereka menemukan ruang waktu. Hehehe. Tapi, itu pikiran liar saya saja. Cuekin aja! Toh, kalau berkunjung ke Bati, semua tampak normal.
Bagaimana dengan riwayat Orang Bati "menculik orang"??? Kalau ini, Trans 7 bisa konfirmasi langsung ke Bati atau tanyakan ke masyarakat saja. Ada cerita Alm. Tete Jak (Kakek Jak) di Desa Kwaos yang konon pernah "diculik" ke Bati. Tapi, ujung dari kisah Tete Jak, beliau diangkat sebagai imam di masjid Bati Kelusi. Ada juga kisah seorang Ibu di Desa Air Nanang yang "diculik". Tapi, lagi-lagi ujung dari kisahnya, malah menikah dan punya keturunan di Bati. So, ini bukan "menculik" dan memakan orang. Mungkin, persoalan memikat hati orang-orang di kampung pesisir pantai supaya bisa hidup dan berbaur di Gunung Bati.
Nah, lewat tulisan yang tak sempurna ini, saya ingin mengajak On The Spot Trans 7Â untuk bertandang ke Bati, melakukan peliputan komprehensif tentang Manusia Bati. 'Kan asyik, bisa liputan sambil jalan-jalan ke tanah Seram, menikmati keindahan gunung dan lautan yang masih perawan, menyimak adat istiadat setempat, dan tentunya "pesta" durian. #SalamProtes
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI