Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengoreksi Trans 7, Orang Bati Tak Memangsa Manusia

23 Oktober 2017   20:25 Diperbarui: 23 Oktober 2017   22:50 13268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Bati dari keluarga besar Bapak Najam (Dokumentasi Pribadi)

 

Seminggu terakhir, heboh perbincangan dan protes dari warganet Maluku terkait tayangan On The Spot Trans 7 pada 12 Oktober 2017 lalu tentang Suku Bati atau biasa disebut Orang Bati yang mendiami Pulau Seram, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Maluku. Warganet Maluku, terutama warga Seram Bagian Timur, memprotes keras tayangan tersebut lantaran dinilai jauh dari fakta faktual tentang Orang Bati itu sendiri.

Orang Bati digambarkan On The Spot Trans7 sebagai mahluk mitologi serupa gabungan monyet dan kelelawar, mempunyai kesaktian mengubah wujud, menyeberangi lautan dalam waktu sekejap, dan suka memangsa bayi juga anak-anak. Orang Bati diidentikkan dengan Pterodactyl atau reptil purba bersayap yang belum punah.

Pertanyaannya, apakah informasi yang disampaikan On The Spot Trans 7 itu sepenuhnya salah atau ada benarnya? Sebab, membincangkan Orang Bati, tentu saja sepaket dengan kisah-kisah mistis yang diriwayatkan dari generasi ke generasi, dari perbincangan satu orang ke orang lain. Penyebaran informasi tentang Orang Bati dengan budaya tutur ini, menjalar dari kampung-kampung di sekitaran perkampungan Bati hingga tersebar luas ke mancanegara. Semua kisah, baik yang biasa maupun yang mistis hanya bisa terjawab jika pihak On The Spot Trans 7 berkenan datang langsung ke Kampung Bati dan melakukan peliputan yang komprehensif.

Kembali lagi ke pertanyaan di atas, sebenarnya, tidaklah mudah tuk dijawab. Namun, dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengulas sedikit saja dari sekian banyak fakta verifikatif tentang Orang Bati yang sudah lumrah dalam keseharian orang Seram Bagian Timur. Supaya lebih spesifik dan detil, saya ingin menjabarkan persoalan ini berdasarkan apa yang saya temui ketika bersilaturahim ke Kampung Bati Kelusi.

Susana perkampungan Bati Kelusi (Dokumentasi Pribadi)
Susana perkampungan Bati Kelusi (Dokumentasi Pribadi)
Secara teritorial, perkampungan Bati masuk ke dalam dua kecamatan yakni Kecamatan Kian Darat yang terdiri dari desa Bati Rumoga, Bati Arweul, Bati Rumbow, Utah, Bati Kelusi dan di Kecamatan Tutuk Tolu yang terdiri dari Bati Sayei dan Bati Tokonakat. Dari topografi daerah, perkampungan Bati berada di ketinggian sekitar 300-400 MDPL dari permukaan laut. Sebab itu, kalau ada orang ke perkampungan Bati, mereka bilang, "Mau ke atas atau naik ke Bati." Sebaliknya, kalau Orang Bati mau ke perkampungan di bawahnya, mereka bilang, "Mau ke pantai." Berdasarkan data yang saya himpun juga dari penuturan warga, perkampungan Bati yang paling jauh sekaligus sebagai kampung Bati paling awal adalah Bati Kelusi.

Kehidupan normal Orang Bati

Suatu waktu, saya bersilaturahim ke kampung Bati Kelusi selama 3 hari, dari tanggal 3-5 Maret 2015. Kebetulan, saya ke sana bersama keturunan asli Bati Kelusi, namanya Bapak Najam Siasaun. Dalam perjalanan ke atas, selain detemani kedua orang tua saya, Bapatua Najam --begitu biasa saya menyapa beliau-- memboyong serta keluarganya, ada Mamatua Aisya Rumain, Abang Bati (anak tertua), dan Adinda Susi. 

Kami berjalan kaki kurang lebih 3-4 jam dari Desa Kian (bagian pantai) sekitar pukul 12 siang menuju Bati Kelusi. Selama perjalanan, saya disuguhi pemandangan hutan yang lebat nan asri, merdu suara burung bersahutan, udara segar, serta medan yang cukup "merepotkan". Saat itu, belum ada jalan aspal seperti sekarang, sehingga butuh waktu lama dan banyak istirahat lantaran kami harus terus menanjak hingga tiba di Bati Kelusi.

Kesan pertama saya, baik selama perjalanan hingga masuk kampung Bati Kelusi, justru berbalik 100 persen dari apa yang diberitakan On The Spot Trans 7. Malah bisa dibilang saya mengalami beberapa hal lucu dan menyenangkan;

Pertama, selama perjalanan ke atas, saya puas makan durian yang jatuh di sepanjang jalan menuju perkampungan Bati. Bapatua Najam tampak getol memungut durian mateng yang sudah jatuh dan diberikan semuanya kepada saya. Dalam hati, saya bergumam, inilah yang dibilang ketiban durian runtuh. Hehehe. Dan memang benar, di sisi kiri-kanan jalan, sepanjang saya mengedarkan pandangan, pastilah di sana ada pohon durian.

Jembatan kayu sebelum memasuki perkampungan Bati Kelusi. Di sini, kami istirahat dan memakan durian, sekaligus mencuci muka di kali kecil yang persisi di bawah jembatan ini. Ritual ini semacam penghormatan kepada kampung (Dokumentasi Pribadi)
Jembatan kayu sebelum memasuki perkampungan Bati Kelusi. Di sini, kami istirahat dan memakan durian, sekaligus mencuci muka di kali kecil yang persisi di bawah jembatan ini. Ritual ini semacam penghormatan kepada kampung (Dokumentasi Pribadi)
Kata Bapatua Najam, ada sekitar 1000 pohon durian di perkampungan Bati. Saking banyaknya, durian-durian di sana tidak dijual perbuah, tapi per pohon. Harganya variatif, mulai dari 200 ribu hingga 500 ribu per pohon. Maksudnya, Anda cukup membayar sekian rupiah itu dan bebas memanen berapa pun buah durian yang ada di pohon tersebut selama musim panen saja. Ingat, selama musim panen saja, dan bukan berarti Anda berhak atas satu pohon durian itu selamanya. Tak sedikit buah durian yang jatuh dan membusuk. Sebagian lagi, diambil warga dari pantai tuk makan dan diproduksi menjadi dodol durian. Gimana, mau makan durian sampai muntah-muntah? Yuk, ke Bati aja.

Ki-ka: Abang Bati, Shulhan, Mamatua Aisya (Dokumentasi Pribadi)
Ki-ka: Abang Bati, Shulhan, Mamatua Aisya (Dokumentasi Pribadi)
Kedua, sesaat sebelum masuk Bati Kelusi, seorang lelaki tampak terburu-buru ke arah rombongan kami. Karena kaget, kami tanya, kenapa dia terburu-buru. Spontan, sambil terus berlari, dia menjawab, "Mau cari sinyal, cek pulsa. Beli 500 ribu dari pagi tapi sampai siang ini belum masuk." Sontak saja, kami semua tertawa puas. Bagaimana gak ketawa, wong di Bati waktu itu masih susah sinyal (kadang ada, kadang loss signal seminggu). Lah ini, si bapak malah beli pulsa jumbo. Hehehe.

Ketiga, Gak cukup sampai di situ, setelah masuk rumah, masih dalam situasi ngeteh sore, abang-abang dari warga Bati menghampiri saya dan minta HP-nya diisi lagu dangdut. Untung saja, stok lagu dangdut saya banyak.hahaha. Setelah itu, mereka minta nobar film Rambo. Katanya, mereka mau lihat aksi baku tembak Opa Sylvester Stallone. Jangan ditanya, nobar kita tuh cukup ramai, mulai dari anak-anak, bapak-bapak sampai mama-mama pun ikutan nonton.

Nobar Film Rambo. dokpri
Nobar Film Rambo. dokpri
Nah, kalau cerita seriusnya, ya ini, sebelum memasuki Kampung Bati Kelusi, kami diharuskan mencuci kaki dan muka di sebuah kali kecil tak jauh dari kampung dengan tujuan menghormati adat kampung. Selebihnya, semua berjalan normal. Saat tiba waktu magrib, saya, bapak, dan Bapak Kepala Dusun (Kadus) Abu Kelkusa, menunaikan sholat berjamaah di masjid yang baru dibangun ulang. Setelah salam dan zikir, sembari menunggu isya, Bapak Kadus menceritakan ihwal masjid tersebut, di mana masjid itu dibangun atas swadaya masyarakat dari berbagai desa di sekitaran Kecamatan Tutuk Tolu, Kec. Kian Darat dan Kec. Siritaun Wida Timur, dan tentu saja ada bantuan kecil dari pemerintah daerah (oh iya, mungkin juga ada sumbangan dari daerh lain). Yang jelas, masjid beratapkan genteng biru itu menjadi penanda bahwa orang Bati adalah Islam murni sejak keberadaan mereka di sana.

Selepas isya, kami menikmati makan malam seadanya sambil lesehan di atas tikar yang terbuat dari daun sagu; menunya ada ikan bakar, sagu, nasi, sambal, juga air putih yang diatur menjajari taplak putih. Setelah kenyang, giliran saya menambah asupan nutrisi otak dengan berdiskusi banyak hal mengenai Suku Bati atau Orang Bati. Hanya berbicara hal-hal ringan saja. Karena asyik, beberapa pemuda Bati datang dan ikut nimbrung obrolan saya dan Bapak Kadus.

Di tengah suasana temaram lampu petromak, kami bertukar cerita tentang penelitian-penelitian yang sudah dilakukan di Bati. Singkatnya, sudah banyak penelitian etnografi yang dilakukan di perkampungan Bati, mulai dari penelitian mahasiswa, akademisi lokal Maluku termasuk Dr. Pieter Jacob Pelupessy, hingga turis mancanegara yang tinggal berbulan-bulan di Bati. 

Bapak Kadus menceritakan, pernah ada turis Denmark yang tinggal selama tiga bulan di Bati. Turis itu ikut "pukul sagu" alias panen dan produksi sagu, bertani, ikut berburu, dan mengikuti semua aktivitas harian warga Bati Kelusi. Hasil panen singkong, ubi jalar dan tanaman berumur pendek lainnya, biasa dibeli oleh warga di perkampungan pantai dalam jumlah besar. Dan biasanya hasil panen Orang Bati laku keras saat momentum maulid Nabi SAW, akekahan, dan acara tahlilan orang meninggal.

Keesokan harinya, saya masih terus menggali beberapa hal dari Bapak Kadus. Kali ini tentang pengalaman Orang Bati di luar perkampungan Bati. Siapa sangka, ternyata bukan hal baru kalau bicara interaksi Orang Bati dengan orang luar. Beberapa pemuda Bati pernah dikirim ke Rajapolah, Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk mengikuti pelatihan menganyam. Kebetulan, karena saya dulu bersekolah di Kab. Ciamis yang bersebelahan dengan Tasikmalaya, maka obrolan kami pun makin nyambung dan asyik. Uniknya, kegiatan mengayam di Rajapolah itu, bukan dari program daerah melainkan program salah satu partai politik. Artinya, Orang Bati sudah sangat terbuka dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan pihak ketiga.

Anyaman karya warga Bati. dokpri
Anyaman karya warga Bati. dokpri
Sekarang, orang Bati sudah pintar menganyam dan hasilnya dijual ke perkampungan pesisir pantai. Salah satu karya anyaman yang sering dijual adalah karya milik Mamatua Aisya, beliau adalah bibinya Adinda Susi. Untuk membedakan panggilan dengan ibundanya Adinda Susi, keluarga besar Bapatua Najam biasanya memanggil beliau Tua Aisya. Ada yang unik dari cerita Tua Aisya, pasca ditinggal suaminya (almarhum), Tua Aisya memilih tinggal seorang diri dan terpisah dari kerumunan warga Bati Kelusi. Beliau tinggal lebih jauh ke dalam hutan dengan rumah kecil (bisa dibilang seperti gubuk), berlampu petromak dan mengisi waktunya dengan bercocok tanam juga menganyam.

Sedikit kisah yang saya anggap mistis saat mengunjungi Tua Aisya yaitu ketika saya dan Adinda Susi ke rumah beliau, kami disambut angin yang cukup kencang di sekitaran rumah dan nampak tanda-tanda hujan. Setelah masuk rumah, hujan pun mengguyur deras. Tapi, saya melihat hujan itu berjarak satu meter di sekeliling rumah sehingga saya tak terkena sedikit pun ampas-ampas hujan. Masih dalam keheranan, Tua Aisya bicara dalam bahasa Bati dan diterjemahkan Adinda Susi bahwa itu salam kenal dari leluhur Bati yang baru melihat saya di sana. Selebihnya, semua perbincangan berjalan normal. Saya bahkan diceritakan ihwal penghasilan mengayamnya Tua Aisya. Sekali menjual anyaman, Tua Aisya meraup 20-30 ribu rupiah. Uang itu dipakai membeli gula, garam, dan kopi.

Tua Aisya di rumah mungilnya di tengah hutan yang cukup jauh dari perkampungan Bati Kelusi. dokpri
Tua Aisya di rumah mungilnya di tengah hutan yang cukup jauh dari perkampungan Bati Kelusi. dokpri
Dalam skala usaha lain yang lebih besar, beberapa warga Bati ternyata aktif berdagang kayu Gaharu. Bahkan, mereka pernah diminta datang ke Jakarta oleh salah satu anak mantan Presiden Soekarno tuk difasilitasi berjualan Gaharu. Menurut pengakuan Bapak Kadus, Orang Bati sering mendapat kunjungan dari salah seorang anak mantan RI 1 itu. Dan Memang, dari penuturan warga, Bati punya hubungan emosional yang baik dengan Bapak Proklamator kita tercinta, Soekarno. Terlebih, dari sisi sejarah, Soekarno pernah dua kali berpidato di Pulau Geser, Kec. Seram Timur dan melanjutkan kunjungan "rahasia" ke Bati.

Saya bersama adik-adik Bati Kelusi yang manis-manis dan ganteng. Kami berpose di pekaran rumah Bapak Kadus. Dokpri
Saya bersama adik-adik Bati Kelusi yang manis-manis dan ganteng. Kami berpose di pekaran rumah Bapak Kadus. Dokpri
Di bidang pendidikan, gak perlu ditanya lagi, anak-anak Bati sudah banyak yang bersekolah, bahkan sekarang ada beberapa anak asli Bati yang berkuliah, bukan hanya di perguruan tinggi di Kab. SBT maupun di Kota Ambon, tapi sudah ada yang berkuliah sampai ke Bandung. Saya sempat bertukar nomor telepon dengan beberapa warga Bati dan dikasih pula nomor telepon adik-adik Bati yang berkuliah di Bandung.

Adinda Susi, mahasiswi STAIS Seram Timur, Kab. SBT. Dia menjadi penerjemah saya saat berbincang dengan Tua Aisya karena saya sendiri gak paham bahasa Bati. dokpri
Adinda Susi, mahasiswi STAIS Seram Timur, Kab. SBT. Dia menjadi penerjemah saya saat berbincang dengan Tua Aisya karena saya sendiri gak paham bahasa Bati. dokpri
Bagaimana dengan kondisi kampung Bati Kelusi? Sejujurnya saya agak sedikit terkejut dan heran karena rumah-rumah adatnya sudah digantikan dengan rumah "sumbangan" dari pemerintah Maluku. Semua rumah yang semula tradisional, terbuat dari gaba-gaba (batang sagu), diganti dengan rumah gantung dari papan dan di depannya ditanami panel surya. Panel suryanya juga sudah rusak karena tak terpakai oleh warga Bati. Meski begitu, keasrian alamnya tetap terjaga dengan baik. Warga Bati Kelusi biasanya melakukan aktivitas MCK di kali sekitaran kampung.

Sisi mistis Orang Bati

Dari sedikit pengalaman dan informasi yang saya himpun, memang sisi mistis Orang Bati tak disa dinafikan begitu saja, sekali pun saya sendiri belum pernah menemukan suatu tuturan dari orang di sekitaran Bati bahwa Orang Bati itu makan anak-anak seperti yang dikabarkan On The Spot Trans 7. Bahkan menurut Bapak Kadus, kalau ada cerita Orang Bati yang bisa menghilang dan sering berpergian jauh hanya dengan berjalan kaki melewati hutan dan lautan adalah mitos yang memang sudah jadi cerita turun-temurun.

Meski begitu, Bapak Kadus di sisi lain tidak membantah akan kabar mitos serupa itu. Sebagai jalan tengah, beliau bilang, ada Orang Bati yang berujud astral, Nenek Moyang mereka yang sudah lama mendiami Pulau Seram. Tapi, tidak ada yang makan anak maupun berujud sejenis campuran kera dan kelelawar. Hal ini persis dengan apa yang dikatakan Dr. Pelupessy yang membedakan "Bati" dengan "Batti", di mana Bati adalah manusia biasa, sedangkan Batti adalah wujud astral orang Bati. Namun, dalam wawancara dengan On The SPot Trans 7 itu, Dr. Pelupessy mengatakan bahwa Orang Batti suka makan orang.

Pernyataan Dr. Pelupessy sontak menuai kritik, terutama dari warga Seram bagian timur. Namun dari sisi akademis, saya mengapresiasi penelitian etnografi yang dilakukan beliau, sebab memang seharusnya sebuah realitas suatu suku bangsa perlu dilakukan pendekatan ilmiah untuk menemukan kesesuaian sejarah. Alangkah baiknya, kita orang SBT juga melakukan penelitian baru atau mengembangkan penelitian yang sudah ada, menggali manuskrip juga bukti-bukti otentik lainnya tentang Manusia Bati itu sendiri. Buku, ya dibalas buku :)

Oke, kembali ke topik. Sepanjang yang saya tahu, lagi-lagi berdasarkan refleksi keluarga dan orang-orang sekitaran saya, bahwa memang Orang Bati punya sisi mistis namun belum dapat dibuktikan dengan mekanisme ilmiah. Mistiknya Orang Bati hanya bisa dirasakan lewat pengalaman "spiritual" siapapun yang bersinggungan langsung.

Sebagai contoh, orang Seram Bagian Timur sudah akrab dengan peristiwa "kai lululuk" atau dahan kayu yang membengkok memalang jalan sebagai pertanda Orang Bati sedang melewati lokasi tersebut dan siapapun dilarang melintasi/menerabas kai lululuk itu. Kalau menerabas, baik disengaja ataupun tidak, kita akan sakit. 

Saya pribadi, baru dua kali mengalami peristiwa kai lululuk ini. Satu kali ketika saya masih SD dan saat itu waktu saya di hutan bersama nenek yang sedang memanen kopi. Saat saya hendak melewati sepohon kopi, tiba-tiba salah satu dahan kopi yang tepat di hadapan saya, langsung membengkok ke bawah. Proses itu bertahan hampir 3 jam, lalu dahan itu kembali ke posisi semula. Pengalaman kedua, persis di samping rumah saya di Desa Suru, sore itu sebatang kayu membengkok ke bawah. Alhasil, kami tak melewati pekarangan rumah kurang lebih 3 jam juga. 

Lalu bagaimana berinteraksi dengan Orang Bati yang berujud astral? Berdasarkan penuturan Mamatua Kian-biasa saya memanggil Bibi saya dari keluarga Bapak- beliau sudah sering berinteraksi dengan Orang Bati dengan sisi astral ini. Kadang mereka singgah di rumah Mamatua Kian sekadar makan siang, makan malam, ngeteh, ngopi dan merokok. Anehnya, meski dalam ujud astral, mereka mengonsumsi makanan layaknya manusia biasa. Aneh, kan? Saya juga heran. Tapi, ini dialami oleh banyak Orang Seram.

Bagaimana dengan sangkaan, makan orang? Menurut penuturan Mamatua Kian, sebenarnya Orang Bati tidak pernah memakan orang. Hanya saja, mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan mereka dalam ujud astral apabila di sebuah perkampungan yang mereka lewati, terdapat orang sakit yang sedang sakaratul maut. Sehingga, Orang Bati harus menunggu sampai orang itu menemui ajalnya, barulah mereka melanjutkan hajat perjalanan mereka.

Nah, hal inilah yang disangka banyak orang bahwa Orang Bati (astral) memangsa manusia. Bahkan, sebagian sudah berpikir bahwa kalau ada tanda-tanda Orang Bati di kampung mereka dalam waktu 1-2 hari bahkan seminggu, berarti akan ada yang meninggal. Padahal, itulah pantangan Orang Bati untuk tidak pergi dari kampung saat ada yang sakit-sakarat atau ada tanda-tanda akan kematian seseorang di kampung yang mereka lewati. Persis seperti apa yang dikatakan Bapak Kadus bahwa Orang Bati yang astral, bisa melihat tanda-tanda kematian pada seseorang. Wallahu a'lam...

Kisah lain, sesuai pengalaman saya, sebenarnya tidak aneh, tapi saya hanya merasa "waktu berhenti sejenak" ketika saya disuguhi durian di sore hari saat hari pertama tiba di Bati. Ingat, hanya perasaan saya saja. Ceritanya, waktu itu hanya ada 2 buah durian yang mau dibelah, lalu Bapatua Najam meminta beberapa keluarganya yang laki-laki ke hutan mengambil durian. Dua orang lelaki dengan parang lengkap di tangan siap ke hutan dan izin pamit. 

Tapi, kok, gak lebih dari 5 detik, mereka sudah kembali membawa banyak durian. Mereka pergi dan kembali, hanya dijeda oleh gerakan saya yang menunduk sesaat dan kembali menengadah. Ah, mungkin ada durian di gudang. Tapi di mana gudangnya? Saya masuk hampir semua rumah dan pekarangan di Bati Kelusi dan tidak menemukan tempat timbunan durian. Kadang saya berpikir, mungkin Orang Bati mengetahui cara transdimensi atau mereka menemukan ruang waktu. Hehehe. Tapi, itu pikiran liar saya saja. Cuekin aja! Toh, kalau berkunjung ke Bati, semua tampak normal.

Bagaimana dengan riwayat Orang Bati "menculik orang"??? Kalau ini, Trans 7 bisa konfirmasi langsung ke Bati atau tanyakan ke masyarakat saja. Ada cerita Alm. Tete Jak (Kakek Jak) di Desa Kwaos yang konon pernah "diculik" ke Bati. Tapi, ujung dari kisah Tete Jak, beliau diangkat sebagai imam di masjid Bati Kelusi. Ada juga kisah seorang Ibu di Desa Air Nanang yang "diculik". Tapi, lagi-lagi ujung dari kisahnya, malah menikah dan punya keturunan di Bati. So, ini bukan "menculik" dan memakan orang. Mungkin, persoalan memikat hati orang-orang di kampung pesisir pantai supaya bisa hidup dan berbaur di Gunung Bati.

Nah, lewat tulisan yang tak sempurna ini, saya ingin mengajak On The Spot Trans 7 untuk bertandang ke Bati, melakukan peliputan komprehensif tentang Manusia Bati. 'Kan asyik, bisa liputan sambil jalan-jalan ke tanah Seram, menikmati keindahan gunung dan lautan yang masih perawan, menyimak adat istiadat setempat, dan tentunya "pesta" durian. #SalamProtes

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun