Jembatan kayu sebelum memasuki perkampungan Bati Kelusi. Di sini, kami istirahat dan memakan durian, sekaligus mencuci muka di kali kecil yang persisi di bawah jembatan ini. Ritual ini semacam penghormatan kepada kampung (Dokumentasi Pribadi)
Kata Bapatua Najam, ada sekitar 1000 pohon durian di perkampungan Bati. Saking banyaknya, durian-durian di sana tidak dijual perbuah, tapi per pohon. Harganya variatif, mulai dari 200 ribu hingga 500 ribu per pohon. Maksudnya, Anda cukup membayar sekian rupiah itu dan bebas memanen berapa pun buah durian yang ada di pohon tersebut selama musim panen saja. Ingat, selama musim panen saja, dan bukan berarti Anda berhak atas satu pohon durian itu selamanya. Tak sedikit buah durian yang jatuh dan membusuk. Sebagian lagi, diambil warga dari pantai tuk makan dan diproduksi menjadi dodol durian. Gimana, mau makan durian sampai
muntah-muntah? Yuk, ke Bati
aja.
Ki-ka: Abang Bati, Shulhan, Mamatua Aisya (Dokumentasi Pribadi)
Kedua, sesaat sebelum masuk Bati Kelusi, seorang lelaki tampak terburu-buru ke arah rombongan kami. Karena kaget, kami tanya, kenapa dia terburu-buru. Spontan, sambil terus berlari, dia menjawab, "
Mau cari sinyal, cek pulsa. Beli 500 ribu dari pagi tapi sampai siang ini belum masuk." Sontak saja, kami semua tertawa puas. Bagaimana
gak ketawa,
wong di Bati waktu itu masih susah sinyal (kadang ada, kadang
loss signal seminggu).
Lah ini, si bapak malah beli pulsa jumbo. Hehehe.
Ketiga, Gak cukup sampai di situ, setelah masuk rumah, masih dalam situasi ngeteh sore, abang-abang dari warga Bati menghampiri saya dan minta HP-nya diisi lagu dangdut. Untung saja, stok lagu dangdut saya banyak.hahaha. Setelah itu, mereka minta nobar film Rambo. Katanya, mereka mau lihat aksi baku tembak Opa Sylvester Stallone. Jangan ditanya, nobar kita tuh cukup ramai, mulai dari anak-anak, bapak-bapak sampai mama-mama pun ikutan nonton.
Nah, kalau cerita seriusnya, ya ini, sebelum memasuki Kampung Bati Kelusi, kami diharuskan mencuci kaki dan muka di sebuah kali kecil tak jauh dari kampung dengan tujuan menghormati adat kampung. Selebihnya, semua berjalan normal. Saat tiba waktu magrib, saya, bapak, dan Bapak Kepala Dusun (Kadus) Abu Kelkusa, menunaikan sholat berjamaah di masjid yang baru dibangun ulang. Setelah salam dan zikir, sembari menunggu isya, Bapak Kadus menceritakan ihwal masjid tersebut, di mana masjid itu dibangun atas swadaya masyarakat dari berbagai desa di sekitaran Kecamatan Tutuk Tolu, Kec. Kian Darat dan Kec. Siritaun Wida Timur, dan tentu saja ada bantuan kecil dari pemerintah daerah (oh iya, mungkin juga ada sumbangan dari daerh lain). Yang jelas, masjid beratapkan genteng biru itu menjadi penanda bahwa orang Bati adalah Islam murni sejak keberadaan mereka di sana.
Selepas isya, kami menikmati makan malam seadanya sambil lesehan di atas tikar yang terbuat dari daun sagu; menunya ada ikan bakar, sagu, nasi, sambal, juga air putih yang diatur menjajari taplak putih. Setelah kenyang, giliran saya menambah asupan nutrisi otak dengan berdiskusi banyak hal mengenai Suku Bati atau Orang Bati. Hanya berbicara hal-hal ringan saja. Karena asyik, beberapa pemuda Bati datang dan ikut nimbrung obrolan saya dan Bapak Kadus.
Di tengah suasana temaram lampu petromak, kami bertukar cerita tentang penelitian-penelitian yang sudah dilakukan di Bati. Singkatnya, sudah banyak penelitian etnografi yang dilakukan di perkampungan Bati, mulai dari penelitian mahasiswa, akademisi lokal Maluku termasuk Dr. Pieter Jacob Pelupessy, hingga turis mancanegara yang tinggal berbulan-bulan di Bati.Â
Bapak Kadus menceritakan, pernah ada turis Denmark yang tinggal selama tiga bulan di Bati. Turis itu ikut "pukul sagu" alias panen dan produksi sagu, bertani, ikut berburu, dan mengikuti semua aktivitas harian warga Bati Kelusi. Hasil panen singkong, ubi jalar dan tanaman berumur pendek lainnya, biasa dibeli oleh warga di perkampungan pantai dalam jumlah besar. Dan biasanya hasil panen Orang Bati laku keras saat momentum maulid Nabi SAW, akekahan, dan acara tahlilan orang meninggal.
Keesokan harinya, saya masih terus menggali beberapa hal dari Bapak Kadus. Kali ini tentang pengalaman Orang Bati di luar perkampungan Bati. Siapa sangka, ternyata bukan hal baru kalau bicara interaksi Orang Bati dengan orang luar. Beberapa pemuda Bati pernah dikirim ke Rajapolah, Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk mengikuti pelatihan menganyam. Kebetulan, karena saya dulu bersekolah di Kab. Ciamis yang bersebelahan dengan Tasikmalaya, maka obrolan kami pun makin nyambung dan asyik. Uniknya, kegiatan mengayam di Rajapolah itu, bukan dari program daerah melainkan program salah satu partai politik. Artinya, Orang Bati sudah sangat terbuka dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan pihak ketiga.
Anyaman karya warga Bati. dokpri
Sekarang, orang Bati sudah pintar menganyam dan hasilnya dijual ke perkampungan pesisir pantai. Salah satu karya anyaman yang sering dijual adalah karya milik Mamatua Aisya, beliau adalah bibinya Adinda Susi. Untuk membedakan panggilan dengan ibundanya Adinda Susi, keluarga besar Bapatua Najam biasanya memanggil beliau Tua Aisya. Ada yang unik dari cerita Tua Aisya, pasca ditinggal suaminya (almarhum), Tua Aisya memilih tinggal seorang diri dan terpisah dari kerumunan warga Bati Kelusi. Beliau tinggal lebih jauh ke dalam hutan dengan rumah kecil (bisa dibilang seperti gubuk), berlampu petromak dan mengisi waktunya dengan bercocok tanam juga menganyam.
Sedikit kisah yang saya anggap mistis saat mengunjungi Tua Aisya yaitu ketika saya dan Adinda Susi ke rumah beliau, kami disambut angin yang cukup kencang di sekitaran rumah dan nampak tanda-tanda hujan. Setelah masuk rumah, hujan pun mengguyur deras. Tapi, saya melihat hujan itu berjarak satu meter di sekeliling rumah sehingga saya tak terkena sedikit pun ampas-ampas hujan. Masih dalam keheranan, Tua Aisya bicara dalam bahasa Bati dan diterjemahkan Adinda Susi bahwa itu salam kenal dari leluhur Bati yang baru melihat saya di sana. Selebihnya, semua perbincangan berjalan normal. Saya bahkan diceritakan ihwal penghasilan mengayamnya Tua Aisya. Sekali menjual anyaman, Tua Aisya meraup 20-30 ribu rupiah. Uang itu dipakai membeli gula, garam, dan kopi.
Tua Aisya di rumah mungilnya di tengah hutan yang cukup jauh dari perkampungan Bati Kelusi. dokpri
Dalam skala usaha lain yang lebih besar, beberapa warga Bati ternyata aktif berdagang kayu Gaharu. Bahkan, mereka pernah diminta datang ke Jakarta oleh salah satu anak mantan Presiden Soekarno tuk difasilitasi berjualan Gaharu. Menurut pengakuan Bapak Kadus, Orang Bati sering mendapat kunjungan dari salah seorang anak mantan RI 1 itu. Dan Memang, dari penuturan warga, Bati punya hubungan emosional yang baik dengan Bapak Proklamator kita tercinta, Soekarno. Terlebih, dari sisi sejarah, Soekarno pernah dua kali berpidato di Pulau Geser, Kec. Seram Timur dan melanjutkan kunjungan "rahasia" ke Bati.
Lihat Inovasi Selengkapnya