Dalam konteks keindonesiaan, ekspresi keberagamaan macam ini bisa kita temui dari dua organisasi besar umat Islam yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua ormas ini berkontribusi banyak dalam menjaga akidah keberislaman tanpa melunturkan semangat nasionalisme. Di sinilah peran ormas agama turut andil menjaga kerukunan beragama dengan penerapan konsep-konsep beragama yang humanistik.
Contoh mutakhir, belakangan wacana Islam Nusantara yang disajikan NU dalam Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus tahun lalu belum juga lenyap dari perhatian media dan publik. Bahkan diskursus Islam Nusantara yang mencuat ke ranah publik ini, mencuri perhatian khusus netizen Indonesia.
Coba perhatikan pengarusutamaan nasionalisme dan keberagamaan di media sosial yang telah diteliti oleh Dr. Gun Gun Heryanto dengan judul Tema-tema Perbincangan Sosial Islam Nusantara di Media Sosial.Data yang dihimpun menunjukkan bahwa dalam rentang Januari-November 2015, perbincangan seputar Islam Nusantara menghangat di twitter, mencapai 65%, facebook 20%, Kompasiana 12% dan Indonesiana 3%.
Di lain sisi, aya juga harus mengakui bahwa dalam praktiknya, umat sering membuat agama memiliki disfungsi bagi terwujudnya integrasi sosial. Penafsiran tekstual atas beberapa dogma sering menjadi rujukan dan legitimasi akan tindakan represif yang menyulut konflik antarumat beragama. Saya mencatat beberapa konflik bernuansa agama di Indonesia yang juga menjadi perhatian netizen yaitu pembakaran gereja di temanggung pada awal Februari 2011, penyerangan kediaman pimpinan Ahmadiyah 2011 yang melibatkan kurang lebih 2000 massa, dan penyerangan terhadap aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Kedua, Interactivity, dimana netizen dimungkinkan memproduksi pesan, memublikasikan dan mendistribusikan konten mereka sendiri, juga terlibat dalam interaksi online secara leluasa.Karakteristik interactivity ini yang memungkinkan para komunikator untuk berinteraksi di antara mereka. Para pemuka agama pun bisa secara bebas meliterasi umat menyoal kerukunan beragama, yang secara teknis publikasinya bisa dibuat lebih ciamik dari sisi pengelolaan.
Ketika umat bertukar pesan lewat mailbox, facebook, twitter, path, instagram di antara mereka, maka mereka sudah menyadari bahwa komunikasinya menjadi dua arah (two way communnication) bisa terjadi lewat internet dengan pola one-to-one seperti dalam e-mail, one-to-many dan many-to-one.
Ketiga, Membentuk kesadaran kelompok bersama (shared group conciousness). Setiap orang dapat berinteraksi, bertukar isu, menciptakan tema-tema fantasi dan visi retoris yang dapat membentuk kesadaran kelompok terbagi. Misalnya saja, kasus penolakan Ahmadiyah, penolakan pembangunan rumah ibadat, perilaku polisi agama oleh ormas-ormas berjubah agama dll, yang dengan sekejap menjadi tema-tema yang membangkitkan kesadaran publik.
Biasanya, keterhubungan individu atas masalah-masalah ini masih bersifat artifisial bila hanya mendapat asupan informasi dari mainstream media. Namun, akan semakin bersifat personal jikalau setiap orang terhubung dengan komunitas virtualnya. Aktivitas maya para pemeluk agama pun dapat membentuk tipologi-tipologi pengguna internet, ada yang publisist, disseminator, propagandist, dan hacktivist (lihat Gun Gun Heryanto & Shulhan Rumaru: Komunikasi Politik Sebuah Pengantar).