Di kampung saya, ada mayat lelaki tua dikafani tiga lembar kain putih pinjaman dari tetangga keluarga duka. Terpaksa. Bukan karena tak sanggup membeli kafan, tapi kondisi cuaca dan demografis yang tak memungkinkan siapapun ke pasar yang ada di pulau seberang. Saat itu, musim timur menyapu hampir seluruh desa pesisir Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku. Termasuk kampung saya, Desa Suru.
Kala musim timur bertandang, sering kali ombak setinggi 3-5 meter beradu berenang hingga ke tubir pantai. Sesekali, kawanan ombak merobek tanggul yang memagari rumah-rumah warga, sembari menggerus pasir-pasir kecoklatan di bibir pantai.
Dalam kondisi begini, seorang nelayan ahli pun ogah ambil risiko melaut, apalagi sampai nekat membawa pasien dengan boat atau perahu tradisional bermesin ketinting. Riskan. Berisiko tenggelam digulung ombak dan angin.
Maklum saja, ini tol laut. Meski kami bisa memangkas jarak dengan membelah lautan, tapi perahu-perahu kami kadang tak mampu menadah ombak lantaran jalan tolnya berubah mengganas di musim angin timur dan utara. Sebab itu, keluarga duka terpaksa meminjam kafan dengan niat mengganti, jika musim timur mereda dan mereka bisa menyeberang ke pulau-pulau yang banyak menjual kain kafan.
Selain cerita di atas, saya juga menemukan banyak kepiluan yang bertahan dari dulu, semisal ada anak putus sekolah, tak ada perpustakaan desa, ada anak terkena tumor mata, anak yang katarak hampir 4 tahun, ada puskesmas pembantu (Pustu) tapi tak ada tenaga kesehatan, hingga konflik keluarga lantaran perbedaan pilihan politik. Semua kondisi itu mengiris nurani saya pada saat mudik di tahun 2014 lalu.
Membentuk Komunitas Klinik Apung
Tak ingin mendiamkan, lantas saya berinisiatif membentuk sebuah komunitas yang bergerak sukarela (voluntarisme) di bidang kesehatan, melakukan penyuluhan dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Niat ini saya utarakan kepada beberapa teman dan mendapat merespon baik. Saya pun langsung membuat mekanisme organisasional hingga program kerja.
Komunitas ini, akhirnya terbentuk di akhir Februari 2016. Kami berinama, Komunitas Klinik Apung (KKA). Alasannya sederhana, karena kami akan jemput bola dalam penyuluhan dan pelayanan kesehata antar-pulau, maka kami berinama Komunitas Klinik Apung. Hanya butuh tiga syarat untuk jadi anggota KKA, No Drugs, No Alcohol, No Free Sex. Puji syukur, dari dokter sampai bidan sudah bergabung di KKA, banyak dari mereka di bawah usia 24 tahun.
Awalnya, saya pesimis Komunitas Klinik Apung (KKA) akan berjalan sesuai rencana, sebab usai menginisiasi pembentukan komunitas, saya sendiri harus kembali ke Jakarta untuk niatan lanjut studi. Tapi, zaman serba canggih ini, saya pikir sangat membantu. Bahkan menantang saya untuk menggerakkan komunitas ini meski jauh di Jakarta.
Satu bulan berjalan, kami sudah membuat halaman resmi (fanpage) @komunitasklinikapung di Facebook dan weblog komunitas di Kompasiana dengan nama akun Komunitas Klinik Kapung. Kami selalu update informasi kesehatan, kegiatan, dan cerita kami lewat dua saluran komunikasi tersebut.
Tantangan terberat KKA yaitu keterbatasan peralatan medis dasar seperti tabung O2 portable, nasa canul, ambu bag, P3K kit bag, tensimeter, minor set, thermometer raksa/digital, linek/Doppler, masker dll. Karena belum punya donatur, setiap anggota KKA yang punya backround keilmuan kesehatan (kedokteran, keperawatan, kebidanan, apoteker, farmasi, dll), menggunakan alat medis yang mereka miliki dan anggota lain rela urunan untuk belanja kebutuhan program.
Di lapangan, kami menemukan beberapa penyakit yang sering diderita warga, yaitu demam berdarah (DBD), penyakit kuning (hepatitis), asam urat, dan hipertensi. Sayang seribu sayang, kami tak mampu menangani semuanya akibat keterbatasan alat bantu medis dan pendanaan. Hanya bermodal 2 juta rupiah, kami nekat menyambangi warga menawarkan bantuan medis.
Selain itu, saya coba menawarkan kerjasama program-program penyuluhan dengan beberapa sekolah, dan satu di antaranya sudah sepakat untuk menandatangi MoU yaitu SMA Insan Cita, Desa Kwaos. Saya berharap, mimpi besar saya untuk membuka ruang bagi penyuluhan gaya hidup sehat dan pelayanan kesehatan gratis di masyarakat pesisir Maluku, terutama di Kabupaten Seram Bagian Timur, bisa terwujud.
Supaya ada keterbukaan dengan masyarakat dan memudahkan kerjasama, kami punya beberapa program. Secara umum, kami punya dua program induk: 1) Penyuluhan Kesehatan. 2) Pelayanan Kesehatan.
- Penyuluhan Kesehatan, kami preteli lagi menjadi beberapa program taktis, di antaranya:
- Kebun obat organik/tradisional: akan kami upayakan setiap kecamatan sampai desa memiliki kebun khusus obat-obat tradisional. Hal ini mengantisipasi keterbatasan/kekurangan obat medis (kimia). Kebun ini juga mendorong warga agar lebih membatasi konsumsi obat-obat kimia untuk penyakit-penyakit ringan.
- Bank Sampah: program ini sudah dilaksanakan di banyak daerah di Indonesia. Karena itu, kami mengadopsi program ini untuk mencoba mengurai permasalahan sampah di Kabupaten Seram Bagaian Timur.
- Penyuluhan dan pendampingan khusus kepada ibu hamil. Konsultasi umum seputar kesehatan dan gaya hidup sehat lewat sosial media. Penyebaran informasi kesehatan melalui media dan jejaring sosial. Penyuluhan kesehatan secara tematik di lingkungan masyarakat dan civitas akademika; mulai dari tingkat SD, SLTP, SLTA, & Kampus.
- Pelayanan Kesehatan, kami bagi lagi ke dalam program-program taktis:
- Pengobatan murah/gratis: program ini dilaksanakan secara periodik, minimal 1 bulan satu kali. Akan dipimpin oleh dokter kepala yang kami undang sebagai relawan. Desa yang menjadi tujuan kegiatan ini adalah desa mitra. Kami berharap, banyak desa yang mau bermitra.
- Ambulance apung: ini program unggulan kami yaitu antar jemput pasien antarpulau ke rumah sakit dengan satu unit speedboat, setiap hari, sesuai kebutuhan masyarakat.
- Donor darah: program donor darah akan dilakukan setiap 6 bukan sekali atau 2 kali selama satu tahun. Kami akan bekerjasama dengan rumah sakit yang ada di kabupaten maupun provinsi.
Pada akhirnya, saya terinjeksi dengan pemikiran binaragawan ternama Indonesia, Ade Rai, yang pada satu sesi wawancara di Jakarta, dia balik bertanya kepada saya:
“Menurut Mas Shulhan, apa hal paling konsumtif yang dilakukan manusia?”
“Membeli tas Hermes, sebab harga satu tas saja sudah bisa dikonversi menjadi 3 rumah untuk orang miskin,” jawab saya sekenanya.
“Bukan, Mas. Yang konsumtif itu, saat kita membeli sehat,” tegasnya.
Memang begitu seharusnya,bukan? Jangan sampai kita bekerja dan menabung untuk biaya sakit, sebab sehat adalah anugerah Tuhan yang mesti kita rawat, tak perlu lagi membelinya. (SR)
Catatan: Untuk dokumentaskegiatan KKA dapat dilihat di sini dan profil KKA bisa dilihat di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H