Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mau Kalahkan Ahok di Pilgub Jakarta? Ini Syaratnya!

23 Maret 2016   07:30 Diperbarui: 23 Maret 2016   09:59 4272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: Kompas Megapolitan"][/caption]Jelang pemilihan DKI 1 pada 2017 mendatang, konstelasi politik Jakarta mulai memasuki fase forelpay yang dipertontonkan secara terbuka lewat kanal-kanal mainstream maupun social media. “Aurat” helatan politik Ibu Kota pun tak lagi disembunyikan, malah diumbar dalam diskusi-diskusi prime time, air buying, hingga celoteh-celoteh di warung kopi.

Berbagai stimulan juga gencar dilakukan demi menaikkan tensi perhatian publik, sehingga akan dengan mudah publik mengidentifikasi siapa mengusung siapa, mendukung siapa, menjegal siapa, bahkan siapa menjual apa & siapa. Hasilnya, sejumlah nama dari politisi wakil hingga politisi pesolek yang terjaring lewat mekanisme survei elektabilitas, kini tampil mesra dan menggemaskan dalam sekuel bursa Cagub DKI.

Satu nama tersohor yang kini menjadi aktor antagonis bagi bakal kandidat lainnya dalam percaturan elektoral DKI yaitu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dengan rata-rata modal elektabilitas yang mencapai 43 persen, juga kerja keras Teman Ahok yang berjibaku memungut restu publik lewat KTP warga Jakarta, akhirnya memutuskan berlaga kembali dalam Pilgub mendatang melalui jalur perseorangan (independen). Tentunya, sikap ini secara dilematis diambil lantaran partai politik tak kunjung melamar dirinya.

Meski lewat jalur independen, bukan berarti Ahok mudah dikalahkan. Sebab, bila kita menghitung probabilitas (peluang) Ahok dalam Pilgub DKI, maka nama-nama lain seperti Yusril Ihza Mahendra, Adyaksa Dault, Sandiaga Uno, Ahmad Dhani, masih tertinggal jauh baik secara popularitas maupun elektabilitas.

LALU, BAGAIMANA CARA MENGALAHKAN AHOK?
Dalam konteks pemilu, ada tiga opportunity structure (stuktur peluang) yang mesti dihitung secara cermat jika kandidat maupun partai politik ingin leading dalam pemilu:

  1. Probabilitas Perolehan Suara, yang bisa dilihat dari empat indikator:
    Pertama,  popularity (popularitas). Berdasarkan survei yang dilakukan Centre Strategic and Internasional Studies (CSIS) dalam rentang waktu 5-10 Januari 2016, popularitas Ahok tembus 94 persen, disusul Tantowi Yahya 81 persen, Ridwan Kamil 71, 25 persen, Haji Lulung 69,25 persen, Hidayat Nurwahid pada posisi 64,50 persen, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini 63,75 persen, dan Adhyaksa Dault 50,75 persen.

    Kedua, electability (keterpilihan). Masih dari CSIS, sebanyak 45 persen publik di DKI masih memilih Ahok. Sedangkan di urutan kedua ada Ridwan Kamil 15,75 persen, dan posisi ketiga berada di bawah 10 persen yaitu Tri Rismaharini dengan 7,75 persen. Begitupun dengan Hasil survei terbaru dari Sinergi Data Indonesia (SDI) dalam rentang waktu 1-12 Februari kemarin, masih menempatkan Ahok sebagai pemuncak klasemen elektabilitas dengan 41,0 persen. Urutan kedua dan seterusnya Ridwan Kamisl (12,4 persen), Tri Rismaharini (5,8 persen), Rano Karno (5,2 persen), Hidayat Nur Wahid (3,6 persen), Adhyaksa Dault (3,4 persen), Tantowi Yahya (2,8 persen), Djarot Saiful Hidayat (2,0 persen), Sandiaga Uno (1,8 persen), Anis Matta (0,8 persen) dan rahasia/tidak tahu 21,2 persen.

    Ketiga,  likeability (disukai). Dari CSIS, Sebanyak 67,00 persen publik merasa puas dan 29 persen yang tidak puas dengan kinerja Gubernur DKI Jakarta. Dalam survei ini, 62,75 persen mengaku Jakarta sudah mengalami perubahan sesuai dengan kampanye Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012 lalu. Sektor yang paling dinilai mengalami perubahan yakni pembangunan infrastruktur, pelayanan birokrasi yang cepat dan transparansi anggaran pemerintah.

    Tahun 2015, Cyrus Network pun melakukan survei untuk melihat antara pihak yang berseteru, mana yang dipercaya oleh publik. Sebanyak 63,4 persen responden menilai Ahok lebih dapat dipercaya, dibandingkan dengan DPRD DKI 8,6 persen.  Sedangkan sisanya, responden mengakui tidak tahu atau tidak menjawab. Secara umum 17,5 persen responden menilai Ahok sebagai gubernur yang temperamental, arogan dan kasar. Namun, sebanyak 50,3 persen responden menilai sikap yang ditunjukan oleh Ahok selama ini sebagai ketegasan dan keberanian.

    Keempat, acceptability (penerimaan). Melihat survei Cyrus Network setahun lalu, sebanyak 62 Persen responden menilai Ahok layak memimpin DKI Jakarta lagi pada periode berikutnya sedangkan 38 persen responden atau masyarakat menilai tidak layak. Jelas temuan dalam survei ini, mayoritas warga Jakarta tidak melihat faktor etnis dan agama ketika memberikan penilaian terhadap kinerja Gubernur DKI Jakarta serta dukungan bagi penyelesaian hukum atas konflik APBD DKI Jakarta.

    Secara keseluruhan, empat indikator probabilitas ini dimenangkan oleh Ahok, sehingga apabila ada kandidat yang ingin menyalip perolehan Ahok, maka langkah cermat yang mesti dimainkan adalah menjalankan strategi political publicity dan political marketing sebaik mungkin untuk memengaruhi sistem kognitif dan afektif masyarakat. Bagaimana pun, pemilu adalah ajang merebut hati dan pikiran konstituen.

  2. Cost of Entry (biaya pertarungan)
    Politik itu butuh uang tapi bukan politik uang, sebab helatan politik selalu bertautan dengan biaya operasional, belanja iklan, konsultan politik, intelijen internal partai, IT, dll. Yang menambah bengkaknya biaya pertarungan adalah voter buying, di mana jalan haram ini sering diambil sebagai langkah instan untuk mendulang suara. Sederhananya, kalau satu suara dibayar 10 ribu rupiah saja dengan total kebutuhan misalkan 500 ribu suara, maka ini akan menjacapai 5 milyar rupiah. Problemnya, mana ada orang yang rela suaranya dibeli semurah itu jikalau mereka nakal menerima sogokan?

    Jika tak menggunakan jalan haram itu, maka setiap kandidat harus pandai mempersuasi pemilih sesuai kriteria atau tipologi pemilih yang ada di Jakarta. Saya meminjam data riset Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) Indonesia, bahwa terdapat tiga karakter pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta. Dari 7 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT), terdapat 2 juta orang atau 28 persen pemilih kritis, di mana tipe pemilih ini melihat kapabilitas calon pemimpin berdasarkan gagasan dan rekam jejak. Pemilih setia (loyalis) mencapai 3 juta orang atau sekitar 42,5 persen. Sedangkan 2 juta sisanya termasuk katagori pemilih transaksional dan tradisional.

    Artinya, kalau ingin menang di Pilgub DKI, berarti harus mendekati pemilih rasional (rational voter) dan pemilih loyalis (pemilih kritis) sebab jumlah kedua tipologi pemilih ini sangat dominan di Jakarta. Kedua pemilih ini secara mendasar akan melihat rekam jejak kandidat dan indikator kinerja yang baik, bukan janji-jani manis yang sulit diukur implementasi pasca pemilu. Di sinilah bedanya Jakarta dengan daerah lain yang didominasi pemilih tradisional, bahwa di luar retorika politik, jurus-jurus political marketing-nya harus berbasis data. Cagub yang banyak menyajikan kontroversi dan sensasi di ruang publik, akan mudah digerus dalam persaingan.

  3. Benefit of Office (keuntungan dalam kekuasaan)
    Setiap kandidat maupun partai politik harus menjaga faktor satu ini, terkait fragmentasi kekuatan dalam Pilkada. Kalau ingin mengalahkan Ahok dalam Pilgub DKI kali ini, syarat mutlaknya adalah head to head.

    Sayangnya, saat ini skenario Cagub DKI kemungkinan akan lebih dari 2 pasangan calon. Pertama, skema pencalonan melalui jalur independen yang sudah diambil Ahok. Kedua, lewat skema jalur partai politik atau koalisi partai politik, di mana PDIP dengan modal 28 kursi di DPRD DKI jelas berpotensi mengusung calon sendiri. Begitupun Gerindra, dengan modal 15 kursi, otomatis mekanisme koalisi partai tengah untuk mengusung calon sendiri menjadi pilihan rasional. Jika ini yang terjadi, tentu Ahok paling diuntungkan. Semakin banyak kandidat maka basis konstituen kompetitor akan terpecah.

    Selanjutnya, faktor ini juga akan menunjang kandidat terpilih selama masa jabatan, sebab negosiasi di parlemen menjadi penting untuk memuluskan program-program yang mesti mendapat restu para birokrat parlemen.

Masalah Ahok
[caption caption="Foto diadopsi dari Kompas.com"]

[/caption]Saat ini, masih terbuka peluang bagi Ahok untuk dipinang partai politik sehingga pilihan independen masih bisa berubah. Hal ini hanya menunggu pinangan PDIP atau gabungan partai tengah. Kalau skema ini tak terwujud, maka dengan skema independen yang didukung 1-2 parpol, Ahok akan dirundung sedikit masalah yang cukup berat di awal-awal:

Pertama, soal syarat jumlah dukungan KTP. Berdasarkan UU 8/2015 Pilkada, syarat jumlah dukungan minimal KTP yang harus terkumpul untuk calon perseorangan di daerah yang memiliki penduduk 6-12 juta (seperti DKI) adalah 7,5 persen. Namun pasal ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya, MK mengatur bahwa syarat dukungan calon perseorangan harus menggunakan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) dalam pemilu sebelumnya, bukan jumlah keseluruhan masyarakat di suatu daerah. Maka, jumlah KTP yang harus dikumpulkan Ahok adalah 7 juta dikali 7,5 persen, yaitu sekitar 525 ribu KTP.

Walaupun sebelumnya Teman Ahok berhasi mengumpulkan 77 ribu KTP tapi itu mesti diulang untuk pasangan calon sesuai dengan syarat UU No 8 Tahun 2015. Hal ini yang menjadi celah di mana kalau syarat ini tidak terpenuhi, maka Pilkada DKI bisa jadi dihelat tanpa Ahok.

Kedua, struktur pemenangan independen yang belum mapan, dan cenderung sporadis. Di Indonesia, kultur tim pemenangan yang kuat itu baru ada di tubuh partai politik, sedangkan independen masih belum mapan. Pilkada DKI 2012 lalu, Faisal Basri yang dinilai sebagai salah satu Cagub potensial pun KO oleh Jokowi-Ahok karena salah satu faktor krusial adalah tim pemenangan yang mampu mengomodifikasi kandidat menjadi layak jual, penangan konflik pemilu di lapangan, mengamankan kemenangan, dan terpenting menjalankan strategi-strategi pemenangan yang mutlak dilakukan seperti strategi political marketing dll.

Ketiga, Cost of Entry (biaya pertrungan). Saat ini, Teman Ahok punya omset 3 Milyar hasil penjualan merchandise yang sebenarnya masih sangat minim untuk ongkos pertarungan di level DKI Jakarta. Sementara, Ahok sendiri sangat menghindari politik transaksional di mana dia tidak akan mau membayar mahar ataupun menerima ongkos politik dari pihak ketiga yang transasksional nantinya. Kalau begini, maka masalahnya menjadi cukup rumit.

Setidaknya, tiga persoalan Ahok di atas menjadi rahasia umum yang bisa “direcoki” kandidat lain kapanpun jua. Tapi sayangnya, dari beberapa kandidat yang tengah gencar digadang-gadang dalam bursa Cagub DKI saat ini, pun cenderung memiliki persoalan yang sama pelik bahkan lebih, terutama menyoal skema kontestasi lewat partai pengusung maupun partai pendukung atau perseorangan.  Karena itu, pekerjaan berat bagi kandidat lain dalam fase pemanasan ini, masih panjang dan terjal. Kalau saat ini ada kandidat yang PEDE memenuhi syarat-syarat di atas, peluang Anda mengalahkan Ahok sedikit lebih terbuka! (SR)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun