Kisah Ai Nurhidayat dan Komunitas Belajar Sabalad masih berlanjut. Kali ini, Ai Boy dibantu banyak tenaga muda profesional yang tak hanya mengabdi di kumunitas tapi juga memiliki visi besar yakni menghidupkan kembali sebuah sekolah yang sudah bangkrut. Lebih parah lagi, mungkin sekolah ini sebentar lagi koleps.
Di awal 2014, Ai Boy dipertemukan dengan Pak Tedy, seorang guru honorer yang mengajar di sekolah SMK Bakti Karya di bawah Yayasan Darma Karya Mandiri (YDKM) yang berdiri tahun 2011. Guru muda idealis ini, menceritakan ihwal SMK Bakti karya yang mulai suram masa depannya kepada Ai Boy. Mereka bersepakat untuk membuat langkah konkrit dengan mengakuisisi sekolah tersebut yang memang sudah sangat prihatin kondisinya. Syaratnya, SMK Bakti Karya diintegrasikan dengan Komunitas Sabalad.
Sejak berdiri, SMK Bakti Karya yang membuka program otomotif dan teknik komputer jariangan (TKJ) ini, nampak terseok-seok. Proses belajar mengajar dilakukan di aula Desa Cintakarya, Kec. Parigi, lalu semakin terpuruk dengan pindah operasi ke bekas gudang koperasi hingga 2014. Alasannya, terjadi konflik internal dalam pengurus yayasan yang akhirnya pecah kongsi dan sekolah tersebut mulai tak terurus.
Lalu masalah muncul, selain banyak biaya yang sudah dikeluarkan untuk urusan legalitas, sekolah ini pun mulai ngebut untuk membangun gedung baru. Persoalan lahan sudah bisa diatasi dengan lahan hibah pakai dari Ayahanda Ai Boy yang diberikan kepada YDBKP dengan kesepakatan bahwa lahan itu harus digunakan untuk keperluan pendidikan. Tapi, masih membutuhkan dana sekitar 180 juta rupiah lagi.
Mau tak mau, kalau kepepet begini, ada saja kenekatan Ai Boy dan Pak Tedy untuk mengakali kebutuhan mendesak itu. Pak Tedy merelakan tabungan pribadinya sekitar 30 juta untuk disumbangkan kepada yayasan, juga mengajukan urunan yang sifatnya meminjam kepada 12 guru SMK Bakti Karya dan sisanya keluarga Ai Boy pun turut menyumbang. Tapi jelas belum cukup, sekitar 80 juta lagi meminjam dari bank.
Alhamdulillah, satu bangunan dengan kapasitas 4 ruangan sekolah sudah berdiri dengan aset berupa laboratorium multimedia, studio penyiaran radio (sudah tutup), dan perpustakaan bersama. Masalah muncul lagi, siswanya masih sangat sedikit. Untuk saat ini, SMK Bakti Karya hanya memiliki 14 siswa secara keseluruhan. Kelas 7 ada 5 orang, kelas 8 ada 4 orang, dan kelas 9 ada 5 orang. Akibatnya, SMK Bakti Karya terancam dileburkan dengan sekolah lain jika tak mencapai quota 20 murid tahun 2016. Belum selesai persoalan minimnya murid, beberapa guru senior pun hengkang karena memang sudah bukan waktunya mereka bicara soal berbakti tapi juga untuk menghidupi keluarga.
Ai Boy dan Pak Tedy pun mulai merekrut para anak muda di bawah 25 tahun untuk menjadi guru. Di antaranya, ada Kang Irpan Ilmi yang juga mengajar sebagai salah satu dosen di perguruan tinggi di Pangandaran. Kang Irpan juga bagian tak terpisahkan dari Komunitas Belajar Sabalad. Ada juga Teh Imas, yang belum lama ini mengenal Komunitas Belajar Sabalad dan memutuskan menjadi guru honorer di SMK Bakti Karya.
Tentu saja, para guru muda ini tak diimingi gaji besar tapi bergerak dan berjuang atas hati nurani demi memajukan pendidikan di Pangandaran, terkhusus anak didik SMK Bakti Karya. Ditanya soal gaji, Pak Tedy malah tertawa karena sejak menjabat kepala sekolah, ia hanya digaji 50 ribu rupiah dan baru naik gajinya menjadi 100 ribu rupiah tahun ini. Sedangkan guru-gurunya, digaji 5 ribu rupiah perjam.
Ternyata, cita-cita mulia Pak Tedy dan Ai Boy tak berhenti hanya di urusan administrasi. Tapi sepenuhnya sekolah SMK Bakti Karya menggratiskan biaya masuk, SPP, uang bagunan, uang ujian, dll. Satu-satunya yang tidak mereka subsidi hanyalah uang jajan siswa.Hehehe. Gila, memang gila menurut saya karena sekolah masih seumur jagung tapi sudah gratis saja.