Pertama kali kenal Kompasiana, sebenarnya hanyalah kebetulan dan ketidaksengajaan. Saya yang keranjingan facebook di awal 2010 silam, sering wara-wiri di kanal virtual itu hampir setiap hari, sekadar mengusir penat menggarap skripsi. Lantaran rajin mengembara di FB, saya tertumbuk sebuah tulisan renyah seorang kawan yang kebetulan gagasannya itu dituangkan di Kompasiana. Tulisan yang dibagikan di FB itu, menjadi awal perkenalan singkat saya dengan Kompasiana.
Sekilas bertanya-tanya dalam benak sendiri, “Kok, bisa kawan itu menulis di Kompasiana? Padahal dia bukan penulis.” Esoknya, kawan itu menulis lagi, bahkan lebih produktif lagi. Saking penasaran, saya mulai mengintip Kompasiana. Jujur, setelah sejam mondar-mandir sekitaran area welcome page, yang ada malah makin njelimet otak saya karena tak mampu mengidentifikasi mahluk apa Kompasiana itu (kuper maksimum.hehehe). Walhasil, saya tinggalkan kanal sosmed peranakan Kompas itu.
Suatu ketika dalam rapat redaksi Tabloid Institut UIN Jakarta, Redpelnya menyinggung seputar ngeblog. Pak Redpel maunya, konten berita tabloid dimuat juga dalam sebuah blog dengan domain khusus. Dari situ, seluruh reporter diakrabkan dengan aktivitas ngeblog (jangan tanya apa blog saya.hehehe). Sejak itu, saya mulai kenal dunia blogging dan memberanikan diri pedekate ulang dengan Kompasiana.
Belajar Menulis
Pertengahan 2010, tepatnya 22 Juni, saya terlahir sebagai Kompasianer. Layaknya bayi, saya mulai menerka-nerka lingkungan sekitar dan belajar apa saja yang dilihat, didengar, diraba, dan dirasakan tentang aktivitas ngeblog di Kompasiana. Berselang dua bulan, pada September yang kemarau, saya sudahi fase paceklik menulis dengan satu artikel amburadul yang gagal “panen” alias minim pembaca dan sedikit komentar. Tapi syukur, tulisan itu ada kritik dan interakasi. Pokoknya, kegagapan ngeblog selama ini, saya terapi dengan satu artikel pembuka. Seterusnya, saya getol memproduksi sejumlah tulisan yang sering menuai kritik, saran, sekaligus support.
Saat dihantam kritik, rasanya mau lari, tapi ada rindu untuk kembali berbaur di Kompasiana. Saat kebanjiran saran, saya semakin sadar diri bahwa “Yang saya tahu, saya tidak tahu.” Begitupun saat diemong para sahabat Kompasianer, rasanya ada keluarga baru sekalipun itu di jagat virtual yang serba misteri. Kuncinya, “Sharing. Connecting”. Selama periode awal menulis, saya banyak belajar dari tulisan-tulisan Om Jay, Mas Katedrajawen, Kong Ragile, Mbak Annisa F Rangkuti, dan Om Dian Kelana. Dari sana, ada hasil yang saya tuai, deberapa tulisan mulai diganjar headline. Otomatis, hormon-hormon endofrin saya meningkat drastis, tak terbendung. Bawaannya, jingkrak-jingkrakan saking girangnya.
Menjelang ultah Kompasiana yang ke-2 tahun, Admin menyemarakkan Kompasianival dengan lomba menulis tentang “My Kompasiana”. Saya pun menjajal lomba untuk pertama kali. Pokoke, nothing to lose. Menang gak menang bukan persoalan, sing penting njajal aja dulu. Sawaktu pengumunan pemenang lomba pada puncak Kompasianival di Kafe MU Sarinah, Jakarta Pusat, saya putuskan tidak hadir karena sudah yakin tidak masuk daftar tulisan terfavorit sekalipun. Dalam hati menghibur diri, “Ko tenang saja Pace, tenang eee….” :D
Dua hari pasca-Kompasianival, saya intip notifikasi artikel saya dari Mbak Winda Krisnadefa, Bang Zulfikar Akbar, dan Mas Hazmi Srondol. Seragam komennya; “Selamat jadi pemenang pertama.” Senang bercampur aduk jadi gado-gado keraguan. “Menang? Ah, gak mungkin. Pasti becanda ini… becandaaa…” Sangkal saya. Alhamdulillah, benar-benar surprise akhir tahun berada di pucuk lomba MyKompasiana (baca artikelnya di sini).
Konversi Ngeblog: Dari Kompasiana jadi Profesi
Ternyata, bukan cuma minyak tanah yang dikonversi ke gas elpiji. Ngeblog pun butuh dikonversikan. “Kompasiana gak bisa kasih apa-apa. Tapi, kami (admin) berharap Kompasianer bisa mengonversi kegiatan ngeblog di Kompasiana dalam keuntungan lain,” jelas Kang Pepih Nugraha sewaktu bincang-bincang di Palmerah. Ah, mungkin Kang Pepih lupa tapi nasihat ini napel di otak saya.