Keenam, Figur partai. Citra pedangdut yang melekat pada Rhoma Irama menjadi tantangan tersendiri bagi Partai Idaman, sebab walaupun popularitas bisa dikonversi untuk mendulang elektabilitas tapi tak selamanya berbanding lurus menjadi investasi elektoral. Ranah politik tetaplah bukan panggung dangdut yang sekadar mengumbar pesona goyang dan suara merdu. Terlebih, kiprah politik Sang Raja Dangdut sendiri tak begitu mentereng. Mesin parpol harus mampu meleburkan citra Rhoma Irama sebagai pedangdut dan da’i ke dalam satu platform politik. Di lain sisi, perlu ada figur lain sebagai penopang ketokohan sang deklarator.
Peluang
Kehadiran Partai Idaman juga bukan tanpa peluang. Matematika politik senantiasa berubah hasilnya dari waktu ke waktu. Sekali lagi, jika Rhoma ingin lepas landas dengan mulus, maka harus mengaktifkan saluran-saluran komunikasi politiknya sedini mungkin: Pertama, Face to face informal. Silaturrahim ke kantung-kantung basis massa wajib dilakukan. Kedua, Struktur Sosial Tradisional, dimana Partai Idaman harus merapatkan lagi jaringan ulama, tokoh politik, figur publik yang seirama dengan Rhoma untuk mendekati grassroot. Ketiga, Struktur Input. Pendekatan kepada serikat pekerja, kelompok kepentingan, maupun parpol lain mutlak dibutuhkan sebagai bagian dari strategi menyerap opini publik dan penggalangan kekuatan parpol. Keempat, Struktur Output dimana Partai Idaman harus melakukan pendekatan persuasif ke dalam sistem dan birokrasi, bila perlu menempatkan kader partai di wilayah ini agar instruksi politik partai bisa lebih efisien diserap oleh sistem.
So, kalau sudah begini, Quo Vadis Partai Idaman?
Salam Kompasiana
 *) Keterangan Gambar: Rhoma Irama memberi sambutan usai deklarasi Partai Idaman di sebuah restoran di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Sabtu sore (11/7/15). | Dok Kompas.com
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H