[caption id="attachment_373137" align="aligncenter" width="504" caption="Kondisi terkini Pasar Tradisional Mardika, Ambon. Selain beberapa pasar yang tersedia, pasar Mardika juga dikenal sebagai jantung perdagangan komoditas pangan di Kota Ambon. | Dok Pribadi"][/caption]
Kemarin sore, sambil iseng-iseng berhadiah menyisir kawasan Pantai Mardika, Kota Ambon, saya niatkan juga melihat lebih dekat suasana crowded di sana. Nampaknya, kawasan ini menjadi salah satu area paling sibuk dengan aktivitas warga, lantaran terdapat pasar tradisional, dua terminal angkot, ruko-ruko, dan sejumlah kantor yang berjubel di sana. Keadaan pasar yang jauh dari kata nyaman, tak adanya lahan parkir, juga lalu lalang kendaraan yang beradu senggol dengan lapak-lapak pedagang yang menutup separuh badan jalan, pun nemambah keruwetan. Jika kita menilik satu dekade lalu, nampaknya masih tak beda. Artinya, hampir tidak ada perubahan berarti di kawasan Mardika.
Supaya tidak larut dalam subjektivitas, saya pun berinisiatif berbincang-bincang dengan warga di lokasi. Sejumlah warga yang saya tanyai di Pasar Mardika, mengaku prihatin dan kecewa karena pemerintah tak kunjung mengurusi dan menertibkan pasar Mardika. Pak TS yang melihat saya jeprat-jepret sekeliling pasar, nampak antusias menghampiri saya.
"Ade, wartawan dari mana?" Tanya TS seperti menyelidik.
"Maaf bapak, beta bukan wartawan. Beta cuma  warga biasa saja, kebetulan lagi belanja," jawab saya sambil berhenti foto-foto karena khawatir Pak TS ini keamanan pasar. Badannya yang tinggi besar dengan warna kulit coklat tua, membuat saya pede menebak profesinya tadi. Ternyata, Pak TS adalah pedagang sayuran yang sudah 15 tahun mencari nafkah di Pasar Mardika. Dengan raut wajah yang masih ragu atas jawaban saya, sekali lagi Pak TS memastikan.
"Ah, ade ini tampang wartawan. Jang parlente. Kalau wartawan, bapak mau carita keluhan pasar ini..." katanya seperti memancing kejujuran saya. Tanpa panjang lebar, saya mengaku bisa menulis keresahannya itu. Seperti mendapat teman galau, saya pun membujuknya ke tepi pasar untuk ngobrol lebih panjang.
"Begini bapak, beta ini bukan wartawan. Tapi beta bisa tulis apa yang jadi keluhan bapak di blog atau sosial media," terang saya sambil menunjukkan beberapa hasil liputan saya tentang Kota Ambon. Sambil mengangguk, Pak TS mulai bercerita panjang lebar tanpa repot-repot sayu ajukan pertanyaan ini-itu.
[caption id="attachment_373138" align="aligncenter" width="504" caption="Bagian luar Pasar Mardika yang langsung berhubungan dengan jalan utama. Banyak sampah, becek, jalan berlubang, dan pedagang yang berjualan menutup separuh badan jalan| Dok Pribadi"]
Menurut Pak TS, pemerintah kurang memperhatikan kawasan pasar, terutama penyediaan bak sampah yang dianggap kurang memadai. Dengan dua bak sampah minimalis, otomatis sebagian besar sampah pedagang yang berton-ton itu tumpah ke badan jalan. Pasar pun semakin kotor dan bau kalau sudah diguyur hujan. Ada genangan air berwarna lumpur pekat di mana-mana, terutama di jalan-jalan berlubang. Terlebih di tengah pasar, suasana sumpek tak bisa lagi diurai. Pak TS juga mengaku membayar retribusi dua kali dalam sehari. Ia dan pedagang lain diharuskan setor ke pemerintah kota, juga ke raja setempat.
"Ada pungli dari preman-preman ka, pak?" Tanya saya memotong bicaranya yang nyerocos.
"Hahaha... seng ada preman di sini. Bikin diri jago, la pedagang hantam..." ia melanjutkan tawa, terbahak-bahak berisik, seolah-olah barusan saya mengajukan pertanyaan paling konyol. "Orang Ambon takut preman? Helloooow..." kira-kira begitu saya menebak pikiran Pak TS karena pertanyaan tadi. Untuk membalas tawanya yang gagah itu, saya mesem-mesem saja, sambil mikir mau menanyakan apa lagi. Sesekali saya intip rekaman HP saya, sekedar mengecek kalau apa yang kami bincangkan terekam sempurna.
Di tengah obrolan santai kami, datang seseorang mengaku PNS yang bertugas mengurus sampah sepanjang Pasar Mardika dan kawasan Batu Merah Pantai. Inisialnya HR, ia menaruh curiga berat sewaktu melihat saya menyorongkan HP di sekitar bibir Pak TS.
"Ade, jangan beritakan yang buruk-buruk, nanti kita kena imbas lagi." Logatnya fasih dengan aksen separuh Batak. Mungkin efek lama di Ambon, aksen Bataknya mulai diwarnai logat Ambon.
"Dia bukang wartawan. Dia penulis blog. Katong carita-carita sa..." sergah Pak TS membela semampunya
"Iyo, tapi tulisannya yang bagus-bagus. Saya di sini juga kerja, jangan sampai karna bung punya tulisan, kita jadi rugi." HR mengingatkan lagi supaya tidak nulis yang neko-neko. Saya mengangguk iya, melontar kata "siap" berkali-kali.
Sore itu, HR memang sedang bekerja, ia nampak memandori truk pengangkut sampah dari Dinas Kebersihan Kota Ambon. Sepenuturan HR, Dinas Kebersihan bekerja 4 kali sehari mengangkut sampah di kawasan Mardika dan Batu Merah Pantai. Di sekitar TPS (Tempat Pembuangan Sampah), beberapa gelandangan dan pemungut sampah nampak duduk santai. Mereka menolak in frame saat saya foto. Kembali ke HR, ia pun mengeluhkan perilaku pedagang dan warga yang seenaknya membuang sampah. Padahal, sudah ada bak sampah yang disediakan pemerintah.
[caption id="attachment_373139" align="aligncenter" width="567" caption="Sampah yang menumpuk di badan jalan. Bak sampah sendiri malah tidak diisi.hehehe | Dok Pribadi"]
Tanpa mengabaikan HR, saya kembali menanyai Pak TS.
"Apa ada Satpol PP menggeledah pasar? "Kelihatannya orang berjualan sudah menutupi badan jalan," tambah saya menegaskan.
"Sekarang Satpol PP cuma lewat saja ade, pedagang jualan biasa-biasa saja." Sepintas, jawaban Pak TS seperti mengonfirmasi apa yang saya duga. Fungsi pengawasan dan penertiban pasar tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah.
"Bang, sudah pernah mengadu ke pemerintah kota tentang kondisi Mardika? Atau Abang tahu ada Dinas Perhubungan Kota yang mengadu ke atasannya? Tanya saya sedikit menyelidiki HR.
"Oh, kalau dari dinas lain beta seng tau ade. Cuman, beta deng kawan-kawan sudah pernah sampaikan juga keluhan warga ke Kadis," jawabnya sembari mengedikkan bahu pertanda ragu suaranya bakal digubris atau tidak.
Senada dengan kekecewaan kami bertiga, pada Rabu, 4 Maret pekan lalu, ada Surat Pembaca di Koran Rakyat Maluku yang juga memuat keluh kesah warga seputar perbaikan kawasan Mardika dan Batu Merah Pantai, terutama jalan-jalan berlubang. Abjan Soleman yang mengirim surat pembaca itu, mencurigai pemerintah kota sengaja melakukan pembiaran terhadap kondisi terkini kawasan Mardika yang karut-marut. Menurutnya, sudah hampir 15 tahun, berganti tiga periodeWali Kota Ambon, dari dua periode MJ Papilaja hingga menjelang akhir periode pertama Richard Louhenapessy, kondisi mutakhir kawasan Mardika dan Terminal Batu Merah tetap memprihatinkan, terkesan dibiarkan sebagai slum area. Abjan juga menyayangkan sikap para sopir angkot yang bungkam, padahal kondisi jalan berlubang itu merugikan mereka, terutama kerusakan sparepart kendaraan.
[caption id="attachment_373142" align="aligncenter" width="560" caption="Bahu kiri Pasar Mardika yang sesak dgn motor karena kekurangan lahan parkir. Angkot di kawan ini pun sulit bergerak karena ruang jalan yang sempit | Dok Pribadi "]
Untuk menambah daya gedor isu ini, saya mengundang kawan-kawan aktivis pecinta lingkungan Kota Ambon berdiskusi virtual mengenai Pasar Tradisional Mardika. Sebagai pemantik diskursus, saya upload foto kondisi terkini di Pasar Mardika lengkap dengan caption yang menohok ke inti diskusi. Alhamdulillah, banyak informasi yang berhamburan dalam diskusi itu, mulai dari gerakan bersih-bersih sungai, lingkungan kota, dan pasar tardisional, kemudian masalah laten kesadaran membuang sampah, hingga usulan untuk membentuk lokasi binaan.
Tindakan nyata sudah dilakukan KPA Lestari di Kota Ambon yang bergerak ke sejumlah sekolah SD untuk mengampanyekan kesadaran membuang sampah. Gerakan edukatif semacam ini, perlu didukung pihak manapun yang berkepentingan dengan kebersihan kota, terutama Pemerintah Kota Ambon. Selain itu, suka duka para aktivis ini dalam gerakan sadar kebersihan, tidaklah sedikit. Suatu kali, tutur Opa Rudi dalam diskusi kami; ada seorang relawan yang sewaktu membersihkan sampah di sungai, tanpa diduga diguyur sapah yang dibuang warga. Nahasnya, sampah itu membenam di muka sang relawan. (Sabar ya bung.hehehe). Adapun kendala dari gerakan nirlaba seperti ini, tentulah mentok pada pendanaan. So, jawaban dari masalah klasik ini hanya satu, metamorfosa gerakan. Pegiat gerakan harus mengandalkan kolektivitas, kreativitas, dan kemitraan. Intinya, gerakan literasi "persampahan" di Kota Ambon mesti dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan massif.hehehe
[caption id="attachment_373145" align="aligncenter" width="461" caption="Kegiatan bersih-bersih lingkungan oleh Opa Rudi, tukang ojek, pecinta alam, LSM, mahasiswa, dan TNI yang turun ke laut dan jalan | Dok. Opa Rudi "]
[caption id="attachment_373144" align="aligncenter" width="414" caption="Kegiatan kampanye cinta lingkungan dan kesadaran membuang sampah yang dilakukan KPA Lestari di sekolah-sekolah SD di Kota Ambon | Dok. Fathur Lestari Kwairumaratu"]
Dalam bayangan saya, andaikan kawasan pantai Mardika dan Batu Merah yang membentang kurang lebih dua kilo meter ini lebih ditertibkan lagi, maka zona ini bisa disulap menjadi kawasan wisata. Tak kalah indah, kawasan ini menyajikan panorama teluk Ambon paling lengkap. Ke mana pun kita membuang mata, di situ kita tertumbuk beragam pesona, mulai dari ojek teluk yang mondar-mandir, kapal-kapal kargo yang berlabu bebas, berbaris-baris gunung di seberang teluk, juga bisa icip-icip beberapa kuliner khas Ambon.
Akhirnya, sebelum saya kehilangan lukisan mega merah di langit barat teluk Ambon, saya pun berpamitan, berkeliling sekali lagi, menikmati landscape sore Kota Ambon Manise. Saya janji, suara kecil Pak TS akan saya aumkan lewat social blog. Sudah saatnya, pengawasan dan kritisisme terhadap pembangunan daerah, dimulai dari warga. [SR] #AmbonBersih #SaveMardika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H