Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Warga Mengeluh Pasar Mardika Tidak Terurus

15 Maret 2015   14:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_373137" align="aligncenter" width="504" caption="Kondisi terkini Pasar Tradisional Mardika, Ambon. Selain beberapa pasar yang tersedia, pasar Mardika juga dikenal sebagai jantung perdagangan komoditas pangan di Kota Ambon. | Dok Pribadi"][/caption]

Kemarin sore, sambil iseng-iseng berhadiah menyisir kawasan Pantai Mardika, Kota Ambon, saya niatkan juga melihat lebih dekat suasana crowded di sana. Nampaknya, kawasan ini menjadi salah satu area paling sibuk dengan aktivitas warga, lantaran terdapat pasar tradisional, dua terminal angkot, ruko-ruko, dan sejumlah kantor yang berjubel di sana. Keadaan pasar yang jauh dari kata nyaman, tak adanya lahan parkir, juga lalu lalang kendaraan yang beradu senggol dengan lapak-lapak pedagang yang menutup separuh badan jalan, pun nemambah keruwetan. Jika kita menilik satu dekade lalu, nampaknya masih tak beda. Artinya, hampir tidak ada perubahan berarti di kawasan Mardika.

Supaya tidak larut dalam subjektivitas, saya pun berinisiatif berbincang-bincang dengan warga di lokasi. Sejumlah warga yang saya tanyai di Pasar Mardika, mengaku prihatin dan kecewa karena pemerintah tak kunjung mengurusi dan menertibkan pasar Mardika. Pak TS yang melihat saya jeprat-jepret sekeliling pasar, nampak antusias menghampiri saya.

"Ade, wartawan dari mana?" Tanya TS seperti menyelidik.

"Maaf bapak, beta bukan wartawan. Beta cuma  warga biasa saja, kebetulan lagi belanja," jawab saya sambil berhenti foto-foto karena khawatir Pak TS ini keamanan pasar. Badannya yang tinggi besar dengan warna kulit coklat tua, membuat saya pede menebak profesinya tadi. Ternyata, Pak TS adalah pedagang sayuran yang sudah 15 tahun mencari nafkah di Pasar Mardika. Dengan raut wajah yang masih ragu atas jawaban saya, sekali lagi Pak TS memastikan.

"Ah, ade ini tampang wartawan. Jang parlente. Kalau wartawan, bapak mau carita keluhan pasar ini..." katanya seperti memancing kejujuran saya. Tanpa panjang lebar, saya mengaku bisa menulis keresahannya itu. Seperti mendapat teman galau, saya pun membujuknya ke tepi pasar untuk ngobrol lebih panjang.

"Begini bapak, beta ini bukan wartawan. Tapi beta bisa tulis apa yang jadi keluhan bapak di blog atau sosial media," terang saya sambil menunjukkan beberapa hasil liputan saya tentang Kota Ambon. Sambil mengangguk, Pak TS mulai bercerita panjang lebar tanpa repot-repot sayu ajukan pertanyaan ini-itu.

[caption id="attachment_373138" align="aligncenter" width="504" caption="Bagian luar Pasar Mardika yang langsung berhubungan dengan jalan utama. Banyak sampah, becek, jalan berlubang, dan pedagang yang berjualan menutup separuh badan jalan| Dok Pribadi"]

1426401473331431101
1426401473331431101
[/caption]

Menurut Pak TS, pemerintah kurang memperhatikan kawasan pasar, terutama penyediaan bak sampah yang dianggap kurang memadai. Dengan dua bak sampah minimalis, otomatis sebagian besar sampah pedagang yang berton-ton itu tumpah ke badan jalan. Pasar pun semakin kotor dan bau kalau sudah diguyur hujan. Ada genangan air berwarna lumpur pekat di mana-mana, terutama di jalan-jalan berlubang. Terlebih di tengah pasar, suasana sumpek tak bisa lagi diurai. Pak TS juga mengaku membayar retribusi dua kali dalam sehari. Ia dan pedagang lain diharuskan setor ke pemerintah kota, juga ke raja setempat.

"Ada pungli dari preman-preman ka, pak?" Tanya saya memotong bicaranya yang nyerocos.

"Hahaha... seng ada preman di sini. Bikin diri jago, la pedagang hantam..." ia melanjutkan tawa, terbahak-bahak berisik, seolah-olah barusan saya mengajukan pertanyaan paling konyol. "Orang Ambon takut preman? Helloooow..." kira-kira begitu saya menebak pikiran Pak TS karena pertanyaan tadi. Untuk membalas tawanya yang gagah itu, saya mesem-mesem saja, sambil mikir mau menanyakan apa lagi. Sesekali saya intip rekaman HP saya, sekedar mengecek kalau apa yang kami bincangkan terekam sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun