Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Geliat Politik di Kompasiana

28 Desember 2014   22:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:17 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_362065" align="aligncenter" width="560" caption="Tampilan Headline Kotak Suara | Dok Pribadi"][/caption]

Dinamika tahun politik sepanjang 2014 di Indonesia menjadi fase krusial peralihan tampuk kepemimpinan nasional yang ditandai sejumlah helatan politik besar seperti Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres). Sebelumnya, kita pun sudah melewati tahapan warming up dengan beberapa pemilukada di seluruh Indonesia. Hingga menjelang tutup tahun yang hanya tinggal menghitungan hari saja, temperatur politik 2014 semakin memanas.

Skenario kontestasi politik terus bergerak massif dan dinamis, berganti arena dari panggung pilpres ke gelanggang legislatif. Sejumlah manuver politik antara kubu Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat jelas tersaji. Masing-masing memainkan pesona panggung depan (front stage) yang didukung agenda politik media afiliasinya. Belakangan, Group Media Indonesia yang menjadi salah satu saluran resmi komunikasi politik KIH gencar menjebol tanggul lumpur lapindo lewat siaran beritanya.

Di posisi lain, plot drama saling menyandera kekuasaan pun terjadi dalam ring Sidang Paripurna DPR menyoal RUU Pilkada yang dimenangkan KMP dengan perolehan 226 suara, selisih 91 suara dari KIH dengan total 135 suara. Media di bawah kendali Bakrie Group dan MNC Group juga atraktif mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi dan Kabinet Kerja. Penghancuran kapal-kapal illegal fishing oleh Kementerian Kelautan yang dinahkodai Susi pun tak luput dari sergapan kritisisme pemberitaan.

Teatrikal perebutan lahan kekuasaan ini menyuguhkan cerita dramatis dan sejumlah relasi antagonistik antaraktor dengan muatan beberapa irisan kepentingan. Bayangkan, Partai Demokrat (PD) tiba-tiba walkout dengan dalih 10 poin koreksi mereka diabaikan forum. Ironisnya, dari luar negeri SBY merasa menyesal karena aksi para kadernya di sidang paripurna waktu itu. Tak lama, SBY mengeluarkan Perppu untuk membatalkan RUU Pilkada oleh DPRD yang sudah di genggaman KMP. Pada scene ini, SBY harus diancungi jempol sebagai seorang coach politik andal. Hanya dalam satu surat keputusan, SBY mengkudeta kuasa Gerindra, Golkar, PKS dkk atas RUU Pilkada sekaligus menjadikannya isu milik Demokrat dan bargaining position Partai Demokrat (standing applause.hehe).

Lanskap politik yang saya gambarkan di atas, tentu tak lepas dari pengawasan dan kawalan publik, terutama attentive public (publik yang menaruh perhatian khusus pada dinamika politik). Sebagian besar tipologi publik atentive ini juga bermain di ruang publik virtual, berkomunikasi secara intens lewat jejaring sosial (FB, Twitter, Path, G+, instagram, dll). Salah satu media sosial yang menonjol dan sering dijadikan kelas round table politik para netizen di Indonesia yaitu Kompasiana. Situs yang berhasil menjawab tantangan teknologi web 2.0 ini, juga menjadi perhatian khusus para peneliti politik, pemerhati politik, dan aktor politik. Karena itu, saya akan membahas salah satu dari beberapa hasil penelitian tentang dinamika politik 2014 di Kompasiana. Salah satunya, penelitian yang dilakukan oleh Tri Isniarti Putri, S. Kom. I (Putri), terkait dinamika politik di Kompasiana.

Dalam konteks politik terkini, media sosial seperti Kompasiana sudah dimanfaatkan sebagai alat diseminasi politik sekaligus ruang diskursus politik bagi publik. Kita dengan mudah menemukan sekian banyak netizen hingga pejabat publik menumpahkan gagasan dan kritik politiknya di Kompasiana. Bukan hanya sekedar menulis, namun mereka secara kesadaran kolektif membentuk kelompok-kelompok diskusi kecil, membicarakan perihal politik terkini, hingga sosialisasi dan kampanye politik.

Riuhnya aktivitas diskursus politik di lini masa Kompasiana, difasilitasi pula secara khusus oleh pengelola dengan membuat kanal seputar politik dan pemilu  yang disebut Kotak Suara 2014. Kanal ini sudah mulai online pada Januari 2014 dengan alamat www.kotaksuara.kompasiana.com. Pengguna (user) yang terdaftar sudah mencapai 241890 akun dengan total akun terverifikasi sebanyak 6426. Bagaimana bisa ada Kota Suara? Ini penuturan Mas Iskandar Zulkarnaen (Isjet) selaku pengelola Kompasiana:

"Gimana sih menerapkan sebuah dinamika politik di Kompasiana? Akhirnya, dibuatkanlah sebuah tempat yang khusus buat Kompasianer untuk ngomongin politik. Ya udah, namanya gampang aja, ya "Kotak Suara", itu sudah sangat Kompasiana, udah sangat warga gitu, kan. Ini ada kotak, isinya suara yang siapa pun bisa naro suara, itu udah sangat pemilu. Yah... sehingga yang kita hadirkan di Kotak Suara adalah tulisan-tulisan tentang berita atau pun opini mereka terkait pemilu, macam-macam dari pemilihan presiden sampe pemilihan legistlaitif dan kita tambahkan fitur-fitur seperti polling dan segala macam, dan ini memang kita buat agar pemilihan itu tidak berlalu tanpa ada pengawasan dari warga."

Begitu pun yang dibilang Kang Pepih Nugraha: "Ya, kita menampung tulisan warga berkaitan dengan kegiatan pesta demokrasi lima tahunan ini. Misalnya, kita secara sengaja dan secara setting, kita bikin yang namanya "Kotak Suara" di Kompasiana itu adalah microsite, boleh dibilang anak dari sebuah situs gitu. Memang dia punya subdom sendiri, halaman sendiri, namanya Kotak Suara. lalu di sana setiap orang kalo mau menulis tentang Pileg, Pilpres dan Serba Serbi Pemilu, ada di situ. Di situ artinya apa? artinya kita bisa mewadahi mereka dan memang ingin melaporkan kegiatan-kegiatan seputar pemilu begitu, mereka mau mempromosikan calegnya, atau jagoan presiden, silakan tetapi tidak menjelek-jelekkan orang lain, itu kita jaga."

Penelitian Putri terkait dinamika politik di Kompasiana, menggunakan teori konvergensi simbolik dengan paradigma konstrutivis dan pendekatan kualitatif. Putri secara khusus hanya membahas literasi politik di kompasiana terkait pemilu presiden. Sebelum menjauh pembahasan ini, saya ingin mengutip sedikit tentang terori yang digunakan tanpa lebih lebar lagi menjelasan metodoliginya. Apa itu konvergensi simbolik?

Teori konvergensi simbolik pertama kali muncul oleh Bales, kemudian teori tersebut dipopulerkan dan dikembangkan oleh Ernest Bormann dengan kelompok mahasiswa dari Universitas Minnesota (1960-1970) yang menemukan proses sharing fantasi. Konsep teori kovergensi simbolik yaitu tentang proses pertukaran pesan yang menimbulkan kesadaran kelompok yang menghasilkan hadirnya makna, motif dan juga persamaan bersama. Gun Gun Heryanto juga menambahkan bahwa teori konvergensi simbolik merupakan kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaraan umum (realitas simbolik) yang disebut sebagai visi retoris. Visi retoris ini menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi dan paradigma berpikir.

Adapun hasil penelitiannya yaitu munculnya proses literasi politik sebagai akibat dari interaksi dan sosialisasi politik antarnetizen di Kompasiana. Literasi politik sendiri dimaknai sebagai senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan sikap. Maksudnya? Pertama, dari sisi pengetahuan, Kompasiana memberi edukasi politik secara berkala lewat program lipsus khusus seperti Kawal Pemilu dan Kawal Pilres yang kontennya berupa reportase dari Kompasianer. Kompasiana pun mengadakan diskusi politik dengan sejumlah tokoh politik yang dikemas dalam Monthly Discussion (MODIS). Hasilnya adalah terciptanya sharing fantasi, adanya pertukaran pesan yang menimbulkan kesadaran kelompok, menghasilkan makna dan motif juga persamaan bersama.

Dalam wawancara yang dilakukan Putri, Mas Iskandar Zulkarnaen menjelaskan: "Kalau aktivitasnya sekarang baru sebatas kita minta mereka untuk menulis soal politik, tapi selain itu kita juga pernah bikin Monthly Discussion untuk tema-tema politik, kayak kemarin kita diskusi bareng Wiranto dalam kapasitas dia sebagai capres dari Hanura. Tahun kemarin dengan Ahok, paling baru dengan Wiranto. Tapi kita memang ingin nanti ketika udah masuk pilpres ini menggiatkan acara-acara yang bisa mempertemukan Kompasianer dengan orang yang ada di lingkaran politik, bukan hanya politikus, atau calon presiden tapi juga tim sukses juga politisi. Ya, mungkin seperti itu."

Kedua, dari sisi skill. Kemampuan menulis Kompasianer menyoal politik terbilang baik, dipengaruhi latar belakang pendidikan, lingkungan politik, dan daya kritis yang tinggi. Menurut salah satu responden, yaitu Pak Thamrin Dahlan bahwa "pengetahuan politik yang didapat lebih banyak otodidak, banyak membaca ulasan-ulasan pengamat politik seperti Bapak Gun Gun Heryanto serta dikaitkan dengan pengalaman selama bekerja di birokrasi dan organisai profesi serta  masyarakat."

Selaku pendiri Kompasiana, Kang Pepih juga mengakui bahwa Kompasianer memang kritis. "Yah, selama ini sih, masyarakat terbelah, ya. Bagi mereka yang tidak percaya sama sekali juga ada tapi mereka tetep memerlukan bacaan yang sifatnya alternatif gitu ya, karena di Kompasiana orang berani, lebih berani, lebih cair mengemukakan pendapat atau kalo mengkritik lebih terasa vulgar dan to the point kritikannya maka kadang-kadang gaya warga untuk mengkritik ini lebih disukai buktinya apa keterbacaan dari postingan-postingan di Kotaksuara itu tinggi ternyata, itu bisa dihitung site metter," jelas Kang Pepih. Hal ini juga ditunjang tools sharing yang dimiliki Kompasiana sehingga banyak tulisan Kompasianer yang disebar lewat jejaring sosial.

Selama periode pemilu legislatif, bermunculan akun para calon anggota legislatif yang berkampanye melalui tulisan. Akun-akun tersebut juga menuai banyak komentar dari Kompasianer. Pada masa kampanye pilpres, cukup terlihat adanya dua kubu antara Kompasianer Pro Jokowi dan Kompasianer Pro Prabowo. Kedua kubu tersebut, aktif melakukan kampanye, mulai dari menggeret isu hingga kampanye negatif dan kampanye hitam. Di Kompasiana, kampanye negatif dan kampanye hitam tidak diperbolehkan, sehingga admin langsung menghapus tulisan yang mengarah ke sana. Fenomena di atas dalam pengamatan penulis, sudah menunjukkan betapa proses literasi politik di Kompasiana berjalan dua arah, antara penulis dan pembaca.

[caption id="attachment_362066" align="aligncenter" width="307" caption="Lipsus Mengawal Pilpres di Kotak Suara | Dok Pribadi"]

1419753819515644846
1419753819515644846
[/caption]

Ketiga, dari sisi Sikap. Yang menarik adalah munculnya rubrik Polling di Kotak Suara. Jelas ini usaha membaca konfigurasi kekuatan di bursa capres hingga periode pilpres kedua capres. Terlepas dari kontroversi keberpihakan, admin langsung memberi penjelasan lewat Mas Isjet bahwa "Polling tidak menerima sponsor, itu untuk mengantisipasi dan untuk menegaskan bahwa ini polling kita mau bikin aja, ga ada urusannya ama partai manapun itu berarti politik praktis." Tak hanya itu, rubrik Pro Kontra juga menarik, membahas isu-isu faktual seputar pemilu. Misalkan, Admin mengangkat isu Ambang Batas Pencalonan Presiden (presidential threshold). Kompasianer langsung menyerbu dengan argument masing-masing, ada pro dan kontra.

 

 

 

 

Ini hasil Proses Literasi Politik di Kompasiana yang dibuat oleh Putri:

 

 

 

 

[caption id="attachment_362061" align="aligncenter" width="557" caption="Proses literasi politik di Kompasiana. Dok Pribadi"]

1419753279133245621
1419753279133245621
[/caption]

Kemudian muncul juga temuan mengenai tipologi pengguna Kompasiana dalam kepentingan politik:

1419756184517481646
1419756184517481646

Tabel di atas menjelasan empat tipologi netizen di Kompasiana dengan aktivitas masing-masing. Misalkan, yang sempat menghebohkan yaitu muncul sejumlah akun hactivist yang menguak surat undangan paksa menghadirkan kampanye politik oleh MNC group kepada karyawannya. Juga email marah-marah Ardi Bakrie kepada Vivanews yang menayangan iklan Jokowi. Suatu skandal politik yang menjadi rahasia, mampu terbuka bebas di Kompasiana oleh para hactivist ini. Belum lagi banyaknya akun propagandis yang menciptakan perang opini di Kompasiana seputar kedua capres. Meski begitu, jumlah Kompasianer diseminator ditengarai jauh lebih banyak. Nah, selama ini anda mengidentifikasi diri masuk ke dalam tipologi yang mana?

 


Contoh penggunaan Kompasiana dalam kepentingan politik

 


14197562452002523202
14197562452002523202

1419756292653458317
1419756292653458317

Tak ada yang perlu dipermasalahkan dari sejumlah contoh akun di atas, sebab mereka adalah bagian dari dinamika politik di Kompasiana. Tanpa mereka, boleh jadi dinamika politik di Kompasiana nampak garing dan datar saja. :D

Dianalisa bahwa proses konvergensi simbolik di Kompasiana berawal dari keberadaan warga negara (citizen) dan pengguna internet (netizen) yang sering disebut Kompasianer. Artinya, Kompasianer terbagi dua yaitu sebagian para kompasianer mengaktualisasikan ekspresi simbolik sikap dan pandangan politiknya di Kompasiana dan sebagian para Kompasianer mengekspresikan sikap dan pandangan politiknya di dunia nyata seperti  buku dan mainstream.

Dari keduanya, tentu para Kompasianer yang aktif menulis khususnya di kanal Kotak Suara 2014 dipengaruhi oleh konteks dinamis di dunia nyata dan dunia maya. Selanjutnya sumber daya (resources) yang dimiliki Kompasianer sangat dinamis karena pengetahuan yang didapat bukan hanya di Kompasiana tetapi berbagai sumber seperti akses tehadap internet, wawasan tentang suatu isu, kredibiltas dan kapasitas kompasianer seputar pemilihan presiden 2014.

Dilihat dalam proses konvergensi simbolik, maka para Kompasianer mengalami tiga tahapan yaitu menjadi partisipan aktif, kolektif, spectator dan gladiator. Artinya, para Kompasianer aktif dalam berbagai isu atau topik menjelang pemilihan presiden 2014, kolektif yaitu group, spectator yaitu memantau, dan gladiator yaitu sebagian para Kompasianer ikut serta secara aktif dalam proses politik.

Akhirnya, harus diakui bahwa Kompasiana merupakan salah satu etalase pemilu 2014 kemarin, sekaligus menjadi saluran alternatif komunikasi politik bagi segenap masyarakat virtual di Indonesia. Kompasiana juga memberi warna tersendiri bagi iklim demokrasi di Indonesia dengan mendorong partisipasi aktif masyarakat melalui internet. Lewat Kompasiana, warga bisa menumpahkan keluh kesah politik, menyuarakan kritisme politik, mengawal kebijakan pemerintah dengan opini mereka, dan membangun kesadaran kolektif terhadap politik.

Sebeanrnya, masih ada beberapa poin dalam penelitian ini yang cukup menarik, namun saya pikir cukup dulu ulasan saya, biar tak kepanjangan. Kalau mau baca hasil penelitiannya, silakan izin ke Admin, supaya bisa nongkrong di Kompasiana sambil baca hasil penelitiannya. Boleh gak, Min?hehehe...

Di akhir tulisan ini, saya mengapresiasi kinerja admin dalam mengupayaan Kompasiana sebagai salah satu saluran alternatif komunikasi politik dengan menghadirkan kanal Kotak Suara. Tak lupa pula penghargaan tertinggi bagi para Kompasianer yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari seluruh peristiwa politik yang terekam di Kompasiana. Juga selamat buat Putri yang berhasil menyabet A untuk nilai skripsinya dan lulus dengan predikat cumlaude.

[caption id="attachment_362068" align="aligncenter" width="417" caption="Penyerahan hasil penelitian ke Kompasiana, diterima langsung oleh Mas Isjet | Dok Putri"]

1419754915708270258
1419754915708270258

Putri, bukan satu-satunya yang tertarik meneliti Kompasiana, ada beberapa orang yang juga melakukan penelitian di Kompasiana, terutama Mahasiswa yang menyelesaikan tugas akhir kuliahnya. Bahkan peneliti sekelas pengamat nasional seperti Dr. Gun Gun Heryanto juga pernah melakukan penelitian di Kompasiana mengenai perhatian Kompasianer terhadap Skandal Bank Century. Terakhir, Saya berharap admin tak bosan berinovasi mengenai Kotak Suara, agar kanal ini menjadi alternatif informasi politik yang terpisah dari panggung politik para elite di media mainstream. [SR]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun