Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Geliat Politik di Kompasiana

28 Desember 2014   22:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:17 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori konvergensi simbolik pertama kali muncul oleh Bales, kemudian teori tersebut dipopulerkan dan dikembangkan oleh Ernest Bormann dengan kelompok mahasiswa dari Universitas Minnesota (1960-1970) yang menemukan proses sharing fantasi. Konsep teori kovergensi simbolik yaitu tentang proses pertukaran pesan yang menimbulkan kesadaran kelompok yang menghasilkan hadirnya makna, motif dan juga persamaan bersama. Gun Gun Heryanto juga menambahkan bahwa teori konvergensi simbolik merupakan kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaraan umum (realitas simbolik) yang disebut sebagai visi retoris. Visi retoris ini menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi dan paradigma berpikir.

Adapun hasil penelitiannya yaitu munculnya proses literasi politik sebagai akibat dari interaksi dan sosialisasi politik antarnetizen di Kompasiana. Literasi politik sendiri dimaknai sebagai senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan sikap. Maksudnya? Pertama, dari sisi pengetahuan, Kompasiana memberi edukasi politik secara berkala lewat program lipsus khusus seperti Kawal Pemilu dan Kawal Pilres yang kontennya berupa reportase dari Kompasianer. Kompasiana pun mengadakan diskusi politik dengan sejumlah tokoh politik yang dikemas dalam Monthly Discussion (MODIS). Hasilnya adalah terciptanya sharing fantasi, adanya pertukaran pesan yang menimbulkan kesadaran kelompok, menghasilkan makna dan motif juga persamaan bersama.

Dalam wawancara yang dilakukan Putri, Mas Iskandar Zulkarnaen menjelaskan: "Kalau aktivitasnya sekarang baru sebatas kita minta mereka untuk menulis soal politik, tapi selain itu kita juga pernah bikin Monthly Discussion untuk tema-tema politik, kayak kemarin kita diskusi bareng Wiranto dalam kapasitas dia sebagai capres dari Hanura. Tahun kemarin dengan Ahok, paling baru dengan Wiranto. Tapi kita memang ingin nanti ketika udah masuk pilpres ini menggiatkan acara-acara yang bisa mempertemukan Kompasianer dengan orang yang ada di lingkaran politik, bukan hanya politikus, atau calon presiden tapi juga tim sukses juga politisi. Ya, mungkin seperti itu."

Kedua, dari sisi skill. Kemampuan menulis Kompasianer menyoal politik terbilang baik, dipengaruhi latar belakang pendidikan, lingkungan politik, dan daya kritis yang tinggi. Menurut salah satu responden, yaitu Pak Thamrin Dahlan bahwa "pengetahuan politik yang didapat lebih banyak otodidak, banyak membaca ulasan-ulasan pengamat politik seperti Bapak Gun Gun Heryanto serta dikaitkan dengan pengalaman selama bekerja di birokrasi dan organisai profesi serta  masyarakat."

Selaku pendiri Kompasiana, Kang Pepih juga mengakui bahwa Kompasianer memang kritis. "Yah, selama ini sih, masyarakat terbelah, ya. Bagi mereka yang tidak percaya sama sekali juga ada tapi mereka tetep memerlukan bacaan yang sifatnya alternatif gitu ya, karena di Kompasiana orang berani, lebih berani, lebih cair mengemukakan pendapat atau kalo mengkritik lebih terasa vulgar dan to the point kritikannya maka kadang-kadang gaya warga untuk mengkritik ini lebih disukai buktinya apa keterbacaan dari postingan-postingan di Kotaksuara itu tinggi ternyata, itu bisa dihitung site metter," jelas Kang Pepih. Hal ini juga ditunjang tools sharing yang dimiliki Kompasiana sehingga banyak tulisan Kompasianer yang disebar lewat jejaring sosial.

Selama periode pemilu legislatif, bermunculan akun para calon anggota legislatif yang berkampanye melalui tulisan. Akun-akun tersebut juga menuai banyak komentar dari Kompasianer. Pada masa kampanye pilpres, cukup terlihat adanya dua kubu antara Kompasianer Pro Jokowi dan Kompasianer Pro Prabowo. Kedua kubu tersebut, aktif melakukan kampanye, mulai dari menggeret isu hingga kampanye negatif dan kampanye hitam. Di Kompasiana, kampanye negatif dan kampanye hitam tidak diperbolehkan, sehingga admin langsung menghapus tulisan yang mengarah ke sana. Fenomena di atas dalam pengamatan penulis, sudah menunjukkan betapa proses literasi politik di Kompasiana berjalan dua arah, antara penulis dan pembaca.

[caption id="attachment_362066" align="aligncenter" width="307" caption="Lipsus Mengawal Pilpres di Kotak Suara | Dok Pribadi"]

1419753819515644846
1419753819515644846
[/caption]

Ketiga, dari sisi Sikap. Yang menarik adalah munculnya rubrik Polling di Kotak Suara. Jelas ini usaha membaca konfigurasi kekuatan di bursa capres hingga periode pilpres kedua capres. Terlepas dari kontroversi keberpihakan, admin langsung memberi penjelasan lewat Mas Isjet bahwa "Polling tidak menerima sponsor, itu untuk mengantisipasi dan untuk menegaskan bahwa ini polling kita mau bikin aja, ga ada urusannya ama partai manapun itu berarti politik praktis." Tak hanya itu, rubrik Pro Kontra juga menarik, membahas isu-isu faktual seputar pemilu. Misalkan, Admin mengangkat isu Ambang Batas Pencalonan Presiden (presidential threshold). Kompasianer langsung menyerbu dengan argument masing-masing, ada pro dan kontra.

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun