Pilkada serentak akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 nanti. Perhelatan pesta demokrasi di tingkat lokal itu akan digelar di 270 wilayah yang meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.
Pendaftaran pasangan calon (paslon) dibuka pada 4-6 September lalu. Para partai politik (parpol) mengusung kader-kader yang dianggap terbaik untuk maju dalam Pilkada 2020 ini. Pada saat itu juga masing-masing parpol harus menentukan, mau berkoalisi dengan kader paslon yang diajukan partai lain atau memunculkan kandidat paslonnya sendiri.Â
Bagaimanapun pada waktu itu, para parpol harus bersikap, tentu dengan pertimbangan yang matang, salah satunya pertimbangan kepentingan, peluang, keuntungan, ataupun kerugian. Begitulah adanya, politik cukup beda-beda tipis sama bisnis.
Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, bahwa dalam masa Pilkada seperti saat ini, para paslon akan membangun citra sebaik-baiknya. Hanya demi satu tujuan, mengambil hati dan simpati rakyat agar berkenan mendukungnya.
Apapun dilakukan untuk bisa dikatakan sebagai paslon yang merakyat. Tapi sayang, para paslon seringkali hanya merakyat pada saat awal mencalonkan diri, bukan saat menjabat.
Saat masa-masa mencari dukungan seperti saat ini, para paslon nyaris setiap hari berusaha mendatangi agenda rakyat, dari satu desa ke desa lainnya, seperti agenda pengajian, sedekah bumi atau acara lain yang dianggap sebagai sasaran empuk untuk mendapatkan panggung.Â
Bahkan seringkali demi pembentukan citra diri, para paslon tidak segan untuk berpanas-panasan di tengah teriknya matahari di ladang milik petani. Hanya sekadar berfoto dengan petani, dengan dibumbui basa-basi untuk menanyakan apa harapan petani jika mereka terpilih nanti.Â
Bahkan fenomena obral janji sana sini sudah biasa kita lihat, hingga muncul kalimat sentilan "kalau tidak janji nggak menang". Janji seolah seperti kata yang mudah diucapkan dan mudah dilupakan.
Ironi, aktivitas atau fenomena merakyat tersebut akan sulit kita temukan saat mereka para paslon sudah berhasil menjabat. Dukungan dan janji-janji para paslon saat kampanye, seringkali hanya tinggal kenangan dan rakyat dipaksa untuk menguburnya dalam jurang pengharapan.
Memang benar dalam kata bijak, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, hingga dengan suara rakyat akhirnya mereka bisa menang dan menjadi pejabat. Namun saat menjabat, rakyat sesekali meminta bantuan dengan memenuhi lini masa media sosial yang bertuliskan ribuan harapan, atau bahkan ada juga mereka (rakyat) bergerak secara langsung.
Jika dulu mereka (pejabat) yang mendatangi rakyat, kini berbalik rakyat yang harus mendatangi singgasana kepemimpinannya untuk menagih atau mengingatkan terhadap janji-janjinya dulu. Siapa yang butuh dia yang datang.