Namun saat para pemimpin didatangi, tidak sedikit juga yang beralasan untuk tidak menemui rakyat diluar gerbang yang sedang panas-panasan. Hingga hanya berakhir perwakilan bawahannya yang disuruh untuk menemui dan mengirim pesan singkat.Â
Misalnya, "Maaf bapak bupati sedang ada kunjungan ke luar kota, nanti aspirasinya akan kami sampaikan," atau "Maaf bapak walikota sedang rapat, tidak bisa diganggu".
Jadi kekuasaan tertinggi sebenarnya ada pada siapa? Pada rakyat atau pejabat?
Mungkin jika masih paslon dan masa kampanye, rakyat sudah banyak tahu dan menganggap wajar jika mereka banyak janji. Tapi rakyat juga berharap, jika saat sudah menjabat sikap yang dilakukan bukan lagi berjanji tetapi adalah bertindak untuk menepati, membuktikan, tindakan langsung adalah jawaban yang diharapkan rakyat atas aspirasinya. Bukankah kekuasaan tertinggi ada pada rakyat?
Selanjutnya, tanggungjawab sebuah tindakan atau kebijakan yang diambil juga tidak luput atas pertimbangan dan tanggungjawab kepada rakyat. Bukan pada pengusaha atau investor.
Meskipun pemimpin terkadang juga membutuhkan dukungan dari pengusaha dan para investor untuk menepati janji-janjinya kepada rakyat. Yakni dukungan dalam penanaman modalnya dan mendirikan usaha untuk menciptakan lapangan kerja, seperti pabrik-pabrik, meskipun pada akhirnya rakyat tetaplah jadi pekerja dan bawahan saja di tanah airnya sendiri.
Hingga kemudahan izin diberikan bagi investor tanpa memikirkan dampak bagi rakyatnya. Memang para investor menanamkan modal kemudian mendirikan pabrik-pabrik, dan menciptakan lahan pekerjaan, tapi sadarkah jika tidak sedikit pabrik-pabrik tersebut juga menimbulkan efek negatif jika tidak ada pengelolaan yang baik yang berasaskan keramahan lingkungan.Â
Lahan-lahan otomatis tergantikan dengan bangunan-bangunan, pohon di tebang, datanglah pencemaran yang dihasilkan dari operasional pabrik, seperti pencemaran suara, pencemaran udara, air dan lainnya.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan, mengapa sering kita jumpai di suatu daerah yang mayoritas perekonomiannya ditopang oleh sektor pertanian dengan lahan yang cukup luas, harus rela digantikan dengan bangunan-bangunan dengan sistem operasional yang menghasilkan pencemaran? Mengapa tidak dimaksimalkan pengelolaan sektor pertaniannya? Apakah investasi pada sektor pertanian tidak menjanjikan?
Atau sektor pertanian hanya memang cukup menjadi objek foto saat kampanye saja, tidak untuk dimajukan atau disejahterakan para petaninya?
Hingga saya ingin menutup tulisan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan di atas dengan satu kata: entahlah...