Mohon tunggu...
Mohammad Iqbal Shukri
Mohammad Iqbal Shukri Mohon Tunggu... Jurnalis - Manusia penyuka sambel setan

Belajar meramu tulisan dengan cita rasa kenikmatan sambel setan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Katanya Petani Pekerjaan Mulia, Tapi Kok Tetap Dimarjinalkan?

4 November 2020   12:39 Diperbarui: 4 November 2020   12:47 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pupuk kimia (konvensional) layaknya sudah menjadi candu bagi sebagian petani. Mereka berpandangan bahwa kuantitas produksi dan efektivitas dari hasil penggunaan pupuk kimia lebih baik dibanding pupuk organik. Tidak salah jika para petani memilih kuantitas dibanding kualitas dari sisi kesehatan hasil produksi, demi meraih kesejahteraannya. Keadaan yang membuat petani seperti itu.

Petani yang semakin ke sini semakin termarginalkan. Mereka yang bekerja keras memproduksi, nyatanya dalam hal keuntungan kalah besar dengan pendapatan yang didapat oleh tengkulak, dan pedagang. 

Coba tanaman apa yang sekarang tidak mengandung bahan kimia saat proses penanaman. Ketela dan kacang tanah yang ada di dalam tanah pun kiranya dalam perawatan tanamnya juga menggunakan pupuk kimia. Karena memang para petani menginginkan kuantitas produksi yang banyak dan cepat, supaya bisa mendapatkan pendapatan yang cukup banyak juga. 

Jadi tidak heran jika saat ini jarang sekali kita temukan orang-orang yang memiliki umur lebih dari 100 tahun. Salah satu faktornya karena memang sudah sejak awal makanan di produksi dengan kurang sehat. Meskipun begitu, toh pemerintah juga menghendakinya.  Jika tidak menghendaki, mengapa pemerintah tidak menyudahi saja subsidi pupuk kimia itu? 

Jika menelisik lebih dalam, kiranya masih ada banyak problem yang membayangi sektor pertanian di negeri ini. Yaitu menurunnya angka lahan pertanian. Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan pada 2018 luas baku sawah di Indonesia tinggal 7,1 juta hektar (ha) atau turun dibandingkan 2013 yang masih 7,75 juta ha, sebagaimana dikutip dari cnbcindonesia.com. Berkurangnya lahan tanam, menyebabkan potensi kehilangan pangan itu menjadi lebih besar. Belum lagi konflik agraria yang masih sering terjadi, seperti konflik agraria di urutsewu. Lantas di mana keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian, jika konflik agraria masih massif terjadi? 

Lebih jelasnya memang saat ini, sektor pertanian bukanlah prioritas dari pemerintah. Terlihat dari rincian  APBN 2021, anggaran Kementerian Pertanian  Rp 21,83 triliun. Jumlah ini masih dibawah dari anggaran dari Kementrian Pertahanan yaitu Rp 136,99 triliun, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebanyak Rp 111,97 triliun. 

Mengapa pada sektor pertanian yang katanya menjanjikan di masa depan, tapi malah tidak menjadi prioritas? Entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun