Mohon tunggu...
Darren Murianto
Darren Murianto Mohon Tunggu... Akuntan - SMA Santa Ursula BSD

Halo semua! Saya menggemari penulisan resensi.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Perjuangan Aktivis Reformasi di Belakang Layar

24 Maret 2024   08:03 Diperbarui: 24 Maret 2024   08:47 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

             

Sutradara: Bambang "Ipoenk" Kuntara Mukti 

Produser: Damar Ardi, Suryo Wiyogo 

Ditulis oleh: Bambang "Ipoenk" Kuntara, Mukti Gin, Teguh 

Pemeran: Jefri Nichol, Chicco Jerikho, Aksara Dena, Agnes Natasya Tjie

Penatamusik: Bigheldy 

Sinematografer: Ujel Bausad 

Penyunting: Fajar K Effendy

Perusahaan produksi: Lajar Tantjap Film 

Tanggal rilis: 30 September 2021 (Bioskop Online), 28 November 2021 (JAFF), 11 Mei 2023 (Netflix) 

Durasi: 85 menit 

Negara: Indonesia 

Bahasa: Bahasa Indonesia

Pada masa pra reformasi, sekelompok aktivis berupaya untuk membuat film yang memperlihatkan kekejaman di sekitar Indonesia pada masa tersebut dengan tujuan untuk membuka pikiran masyarakat akan pentingnya dilaksanakan reformasi. Namun, proses yang harus dijalankan penuh dengan jerih payah dan konflik.  

Pada bagian awal dari cerita, Satriya (Jefri Nichol) bersama beberapa temannya merupakan kelompok mahasiswa aktivis yang ingin melakukan protes terhadap kelakuan pihak militer yang menculik mahasiswa di Indonesia. Adam (Askara Dena) yang merupakan kakak dari Satriya merupakan militer, namun ia mencoba untuk menghentikan Satriya dari upayanya untuk protes dan berusaha menyembunyikan mereka dari militer.  Satriya tidak menanggapi perlakuan kakaknya dengan baik, namun karena merasa bahwa ia tidak mampu melawannya, Satriya pun terpaksa mengikuti Adam.  

Ternyata, bagian kedua cerita menunjukkan bahwa sebenarnya Satriya dan Adam merupakan karakter dalam film yang sedang diproduksi oleh sekelompok aktivis pada masa pra reformasi. Satriya dan Adam bukanlah karakter utama yang difokuskan pada film tersebut, melainkan hanya karakter yang dimainkan pada bagian awal cerita. Bagian kedua cerita diawali dengan suatu wawancara bersama setiap anggota kelompok aktivis mengenai tanggapan mereka terhadap proses pembuatan film yang mereka produksi. 

Kelompok aktivis tersebut terdiri dari Surya Jatitama (Jefri Nichol), Bram Sanjaya (Askara Dena), dan Linda (Agnes Natasya Tjie). Surya dan Bram merupakan aktor dari film yang mereka buat, Surya sebagai Satriya dan Bram sebagai Adam. Linda merupakan produser dari film yang kelompok aktivis itu buat, sehingga ia tidak masuk film.  Mereka berusaha untuk menjadi suara bagi para rakyat yang sedang menderita akibat penculikan mahasiswa yang terus terjadi. 

Untuk menyebarluaskan kondisi di sekitar Indonesia yang terus terjadi serta pentingnya reformasi kepada masyarakat, mereka bekerja sama dengan sutradara Panca (Chicco Jerikho) dan tim produksi untuk menyusun film tersebut. Panca memiliki karakter yang idealis dan ingin setiap hal terlihat lebih dari sempurna. 

Sebaliknya, Linda sebagai produser hanya ingin makna dari film yang mereka buat untuk tersampaikan kepada publik dan tidak mementingkan kesempurnaan perincian film. Dua kepribadian yang sangat berbeda antara sutradara dan produser memicu konflik yang terus bertambah seiring berjalannya produksi film. Kepribadian idealis yang dimiliki Panca terlihat dengan jelas setiap kali ia menegur tim produksi atas hal sekecil apapun, dan Linda menginginkan proses pembuatan film untuk berjalan dengan cepat agar tujuan pembuatan film segera disampaikan. 

Sutradara film Bambang Ipoenk memiliki ide film yang berlandaskan pada masa pra reformasi 1998 dan akhirnya membawa ide tersebut kepada "Jogja Future Project 2018", sebuah proyek market yang diikuti 10 project film terpanjang. Bambang lolos dan bertemu dengan investor untuk memproduksi film, mereka sepakat untuk tidak fokus kepada peristiwa besar yang terjadi, namun cerita pinggirannya yaitu sekelompok mahasiswa aktivis. 

Terdapat pula kesulitan yang dialami oleh sutradara Bambang Ipoenk dalam menentukan untuk membuat film "Aum!". Suasana produksi film tersebut berada pada tahun 1998, yang berarti bahwa Bambang juga harus memikirkan beberapa aspek teknis dari produksi film tersebut seperti aspek rasio yang mendukung latar waktu pembuatan film.

Dengan tema film Aum! yang berlandaskan masa pra reformasi, latar tempat, alat peraga, serta aksesori yang digunakan pada film mengikuti masa tersebut sehingga terlihat cukup berbeda dan antik dibandingkan film yang sering ditayangkan pada masa kini. Latar tempat yang digunakan sebagai tempat pembuatan film tidak dipublikasikan, namun di sekitaran tempat terdapat bangunan kuno yang sesuai dengan latar waktu film.  Aksesori yang digunakan seperti kendaraan dan interior bangunan terlihat seperti mereka terbuat sejak lama, sehingga mendukung latar waktu film juga.

Sinematografi pada bagian kedua film mengambil sudut pandang orang ketiga yang unik. Seorang videografer yang memiliki peran dalam cerita film sekaligus mengambil video yang akan digunakan sebagai adegan-adegan dalam bagian kedua film, memberikan dimensi baru pada pengalaman sinematik. Hampir setiap adegan  ditunjukkan melalui pandangan kamera seorang videografer, sehingga adegan video terlihat tidak selalu konstan tanpa adanya getar tetapi sesuai dengan gerakan videografer tersebut dalam memegang kamera.

Film ini mengandung nilai moral yang mengubah pemikiran para aktor seperti Chicco Jerikho dalam memandang soal kebebasan. Salah satu hal yang ditunjukkan pada film "Aum!" merupakan bagaimana kondisi mahasiswa yang terus dikejar oleh militer dan tidak bisa merasa bebas. Hal tersebut memberikan Chicco rasa syukur karena kebebasan yang ia miliki dalam berkarya pada masa reformasi saat ini. 

Secara garis besar, kondisi mahasiswa yang ditampilkan pada film "Aum!" menunjukkan ketidakbebasan serta ancaman yang mereka harus hadapi, sehingga nilai yang ingin disampaikan kepada penonton adalah bahwa penonton sebaiknya bersyukur atas kondisi mereka pada masa reformasi saat ini, dimana mereka sudah diberikan kebebasan dalam berkarya. 

Film "Aum!" membangun suasana tegang yang dapat dirasakan oleh penonton melalui konflik yang terus terjadi di dalam tim produksi film, dan juga situasi berat yang sedang dihadapi oleh kelompok aktivis yang harus merekam film secara diam dan tanpa sepengetahuan pihak militer agar tidak tertangkap. Suasana tegang yang terdapat pada film diimbangi dengan dengan humor dan kelucuan pada adegan tertentu. Kelakuan Panca yang sangat idealis dimana ia ingin aktor untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak perlu memberikan kesan yang lucu bagi penonton. 

Pembawaan alur yang tidak biasa digunakan dalam industri perfilman memberikan kesan yang  berbeda bagi penonton. Alur yang dibagi menjadi dua bagian memberikan plot twist yang mengherankan penonton di awalnya, namun akhirnya menjadi suatu kejutan yang meningkatkan perhatian penonton. Bagian awal film menunjukkan seakan-akan bahwa film tersebut menceritakan kisah mahasiswa aktivis yang ditempatkan sebagai  karakter utama, pada bagian kedua hanya menjadi karakter yang diperankan oleh tokoh yang merupakan karakter dalam film itu juga. 

Mengambil latar waktu pada tahun 1998, film "Aum!" memilih suatu pendekatan yang berbeda dalam industri perfilman yang mungkin tidak banyak diketahui oleh kalangan penonton. Jalan cerita film tersebut dapat menceritakan sejarah dan kondisi Indonesia pada era pra reformasi dengan cara yang sangat menarik untuk dilihat dan didengar oleh penonton. 

Cerita lebih terfokus bukan kepada aspek umum era pra reformasi seperti sejarah lengkapnya, kebijakan pemerintah, atau hal lainnya, melainkan kepada kondisi yang dialami mahasiswa. Bukan hanya menceritakan dalam bentuk penjelasan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era pra reformasi, tetapi film "Aum!" juga menayangkan emosi yang dialami oleh para tokoh yang diperankan saat berada pada kondisi dalam setiap adegan.

Menceritakan tentang hambatan dalam kebebasan, film "Aum!" menyampaikan nilai moral yang berharga dan dapat dimengerti oleh penonton dengan mudah. Setelah menonton film "Aum!", penonton dapat memiliki pandangan yang lebih terbuka dengan mengetahui kondisi yang dialami oleh masyarakat pada era pra reformasi yang ditunjukkan dalam emosi setiap karakter. Penonton dapat menjadi lebih bersyukur atas kebebasan yang sekarang ini mereka miliki, sehingga dapat dinyatakan bahwa film tersebut memberikan pengaruh nilai moral dan kesadaran yang besar bagi penonton.  

Film "Aum!" mengakhiri ceritanya dengan sifat yang menggantung, yang dapat cukup mengherankan penonton. Setelah klimaks yang menunjukkan konflik terbesar antara Linda dan Panca, Panca terlihat mengundurkan diri dari kelompok tersebut dan keesokan harinya kelompok Linda ditangkap oleh militer yang salah satunya ternyata adalah Panca, cerita hanya berakhir dengan sang videografer melarikan diri dari para militer. 

Akhiran cerita tersebut memberikan penonton beberapa pertanyaan mengenai identitas Panca yang sebenarnya, apa yang terjadi kepada Linda dan timnya, serta apakah film tersebut akhirnya tetap ditayangkan atau tidak. Sifat yang menggantung setelah klimaks dari konflik bukanlah suatu cara yang baik untuk mengakhiri suatu cerita, sebab  dapat memunculkan kebingungan yang dirasakan oleh penonton saat film telah selesai ditayangkan dan kebingungan itu dapat memberikan mereka rasa ketidakpuasan akan cerita. 

Bagi para penggemar film yang berlatar pada masa lalu serta memiliki unsur-unsur sejarah Indonesia, film "Aum!" dapat menjadi pilihan yang tepat untuk ditonton. Pemfokusan film yang lebih mengarah kepada kondisi dan peristiwa yang dialami oleh mahasiswa dan aktivis pada masa tersebut, dapat memberikan kesan yang berbeda dibandingkan film dengan unsur sejarah pada umumnya. 

Para penggemar film akan menyukai gaya cerita yang berbeda, alur yang dimiliki oleh film, serta tipe sinematografi yang jarang terlihat dalam industri perfilman. Walaupun terdapat akhiran cerita yang bersifat menggantung dan dapat memunculkan ketidakpuasan, nilai moral dari film tetap dapat diperoleh, dan hal yang ingin disampaikan dari cerita film dapat tetap ditangkap dengan baik oleh penonton.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun