Mohon tunggu...
Shovie Ramdhania
Shovie Ramdhania Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya shovie ramadhania, seorang mahasiswa yang memiliki banyak perminatan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Haruskah Protokol Kyoto Berlanjut Saat Ini? Alangkah Baik untuk Mencegah Pemanasan Global di Dunia

21 Oktober 2022   15:29 Diperbarui: 21 Oktober 2022   15:59 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Protocol Kyoto adalah kesepakatan dunia yang menyadari bahwasanya perubahan iklim ini disebabkan oleh manusia. Pada sidang ketiga dalam Koferensi Para Pihak atau bisa disebut Thrid Session of The Conference of Parties, COP-3. Conference of The Paties (COP) memang memiliki peran untuk mengkaji, memantau bagaimana pelaksanaan Kovensi berjalan dan memiliki kewajiban bagi negara anggota. Selain hal tersebut, COP memberikan fasilitas pertukaran informasi dan memberikan rekomendasi kepada para peserta dan membangun struktur jika memang diperlukan. COP terdapat dukungan oleh dua badan, pertama badan yang terkait ilmu pengetahuan dan teknologi bisa disebut Subsidiary Body for Scientific and Tenchnological Advice. Lalu terdapat badan kedua yakni, badan eksekutif konvensi atau Subsidiary Body for Implementation.

COP-3 yang diadakan di kyoto, jepang pada tahun 1997, memberikan keputusan yang dinamakan konvensi 1/CP.3 dimana dalam mengadopsi Protocol Kyoto untuk Kovensi dalam kerangka PBB yang berisi perubahan iklim.  Protocol Kyoto ini memang dasar bagi Negara-negara industri dalam mengurangi suatu emisi pada gas rumah kaca (GRK) gabungan yang memang sekitar 5% semenjak emisi yang tinggi ditahun 1990. Sebelum tahun 2008-2012 banyak negara yang mulai berkomitmen dalam mengikat hal ini secara hukum. Mulai memberikan beban kepada Negara maju, hal ini bisa dilihat pada prinsip Common but Differentiated Responbilities.

Protokol Kyoto sendiri memang sebuah badan yang mengatur bagaimana mekanisme penurunan pada emisi GRK atau bisa disebut Gas Rumah Kaca yang dilakukan pada negara-negara maju yakni Pertama, Implementasi Bersama (Joint Implementation). Kedua, Perdagangan Emisi ( Emission Trading). Ketiga, Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism CDM). Pada Joint Implementation merupakan sebuah mekanisme dalam mengurangi emisi yang memberikan kemungkinan bahwa negara-negara maju atau bisa disebut Annex I ini untuk memberikan bantuan dalam mengurangis emisi melalui sebuah rencana bersana dengan sebuah Goals atau tujuan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). 

Emission Trading yakni sebuah mekanisme dalam perdagangan emisi diantara negara maju yang bisa memberikan kemungkinan bahwa suatu negara maju dengan emisi gas rumah kaca-nya yang cukup rendah untuk menjual kelebihan dari emisi ke negara maju lainnya yang kurang mampu memenuhi kewajibannya emisi gas rumah kaca. Clean Development Mechanism adalah sebuah mekanisme dalam pengurangan emisi gas rumah kaca yang memiliki kerangka kerja sama diantara negara maju dan negara berkembang. Metode-metode ini dilakukan untuk supaya Annex I bisa mengisi target dalam penurunan emisi dengan cara program pengurangan emisi gas rumah kaca di negara berkembang.

Pada perjalanannya Protokol Kyoto banyak sekali rintangan yang mengalami kendala, bermula pada Amerika Serikat mencabut ratifikasinya. Oleh karena itu banyak negara maju yang tIdak mematuhi aturan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 5% dibawah emisi pada tahun 1990 ketika periode 2008-2012. Sementara itu, tiga negara maju lainnya seperti Rusia, Jepang dan Selandia Baru sudah memberikan keputusan untuk tetap didialam Protokol Kyoto walau tidak adanya komitmen dalam mengurangi emisi. Sisanya 37 negara maju dan Uni Eropa memberikan kesepakatan untuk menerapkan Protokol Kyoto Periode kedua selama delapan tahun di mulai 1 Januari 2013.

Amerika Serikat yang memang sama sekali belum meratifikasi Protokol Kyoto memiliki alibi dengan enggan mengikut serta dikarenkan khawatir akan mengganggu perekonomian domestik. Hasil yang mengecewakan walau banyak upaya yang terus berulang dalam komitmen pada negara maju dalam mengurangi emisi pun gagal kembali. Banyak negara berkembang yang berupaya untuk mengamankan 60$ miliar untuk pembiayaan jangka menengan pada tahun 2013-2015 hal ini gagal kembali dikarenakan keengganan negara maju dalam mendorong pembentukan mekanisme kerugian dan kerusakan internasional.

Padahal untuk negara Indonesia sendiri sangatlah membantu Indonesia apalagi Bumi ini memiliki beban berat dalam hal pemanasan global yang bisa menyebabkan perubahan iklim. Walau praktik dalam proyek MPB (Clean Development Mechanism atau Mekanisme Pembangunan Bersih) ini prosesnya sulit dan panjang dalam mendapatkannya. Pasar MPB dalam Indonesia sangatlah besar dibanding negara ASEAN lainnnya. Indonesia memiliki potensi dalam pasar MPB 3% dibanding pasar dunia atau bisa dibilang 125 juta ton karbon. Oleh karena itu, pilihan dalam meratifikasi protokol kyoto bukan sesuatu hal yang merugikan bagi Indonesia. Bisa saja, Indonesia dapat memanfaatkan dana dari proyek MPB ini dalam mengurangi tingkat emisinya.

Sebagai negara yang berkembang, memang Indonesia tidak diwajibkan menurunkan emisinya. Indonesia juga bisa memanfaatkan fasilitas dalam MPB dimana sebuah metode dimana memnag negara berkembang dapat memberikan sumbangan supaya dalam penurunan emisi di negara maju dengan diperbolehkannya negara berkembang dengan menurunkan emisi, lalu menjual sertifikasi kepada negara maju dalam memenuhi kewajiban dalam penurunan emisinya. Supaya MPB bisa berkembang pada negara Indonesia, tatanan pada lembaga dalam memfasilitasi pelaksanaan harus dilakukan dengan baik. Hal utama dalam syarat untuk melaksanakan MPB yakni terdapat lembaga otoritas nasional.

Bila dilihat pada akhir Protokol Kyoto di tahun 2020 ini walau tidak terlihat adanya komitmen pada apa yang diperlihatkan pada konvensi legal kepada negara-negara maju dalam menekankan tingkat pada emisi. Apalagi fakto yang terbaru memang telah terlihat bahwa emisi ditahun 2020 sendiri meningkat 2,6%  atau sekitar 58% karbon lebih meningkat bila dibandingkan emisi di tahun1990. Bila pada saat ini Protokol Kyoto masih berlanjut bisa saja pemanasan pada global warming ini menurun dan terciptanya rasa cinta pada kehidupan alam.Namun, tetap banyak dampak yang akan teganggu bila hal ini masih berlanjut hingga saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun