Kadangkala sekedar urusan makanan menjadi pemantik keributan. Bukan karena urusan perut maupun klaim makanan antar negara, halal atau haram, tetapi dibawa masuk ranah identitas agama. Klepon tidak islami. Iya, Klepon yang sudah dikenal dan biasa dinikmati semua orang, menjadi bahan keributan di dunia maya dan akhirnya menjadi olok-olokan netizen.
Sayangnya pangkal masalah Klepon tidak islami tidak banyak diketahui orang. Pangkal dan ujung dari Klepon tidak islami adalah politik di negeri ini. Lihat analisa media sosial yang diberitakan Tempo, berawal konten blog yang sudah lama dan diposting ulang netizen ke Instagram. Eh buzzer perkubuan Pilpres menyambar ambil peran membuat keributan perihal identitas Klepon. Mereka mendapat isu rasis, yang seakan-akan ingin mencampur adukan Klepon dan bakso, cuma karena keduanya sama-sama bulat.
Astaganaga. Jangan ikut berpolemik mengenai identitas makanan. Makanan itu untuk dimakan. Klepon alias onde-onde untuk dimakan. Takutnya, niat terselubung mereka adalah, hapuskan Klepon dari menu istana, atau Klepon dilarang dijual dan menjadi kue khas Ramadhan, Klepon tidak boleh diisi gula. Atau untuk menarik simpati, Klepon harus berwarna tertentu karena Klepon adalah identitas bangsa.
Yah, kita jangan terjual dengan isu Klepon karena mereka. Klepon adalah kue yang enak dimakan. Klepon mempersatukan semua orang dan punya pengalaman sendiri dengan manisnya. Sedangkan aku, Klepon alias onde-onde membawa kenangan masa kecil pada tahun 1990-an.
Pada masa itu, hidup di dusun kecil yang dikelilingi hutan, kebun karet dan ladang disalah satu kabupaten di Jambi, Klepon alias onde-onde menjadi kue yang sering dibuat sendiri oleh keluarga. Paling khas dan sering biasanya dibulan puasa. Kenangan yang melekat mengenai Klepon dimasa itu karena terlibat dari proses pembuatannya yang butuh perjuangan bersama Emak.
Dahulu, orang tua kami membiasakan membuat panganan untuk mengganti jajan dan makanan selingan. Saat itu, untuk membeli sesuatu atau makanan ke pasar merupakan salah satu kemewahan dan hanya satu kali seminggu atau dua minggu bersamaan dengan membeli kebutuhannya lainnya. Maklum saat itu pasar dirasa cukup jauh serta transportasi sangat jarang dan orang tua ke pasar biasanya juga menjual hasil bumi dari ladang.
Warung didusun juga masih sangat jarang dan seingatku, tepung saja belum dijual sebanyak sekarang. Jarak rumah kami bersama beberapa rumah lainnya sedikit jauh dengan kelompok pemukiman yang ramai. Apalagi bila kami pada musim berladang, kami tinggal di ladang dan untuk tepung hanya bisa didapat dengan cara menumbuk beras menggunakan lesung.
Jadi untuk membuat panganan, entah Klepon, kue Lapis yang biasa kami sebut dulu bubur Talam, kue Apam dan kue lainnya, Â terlebih dahulu harus menumpuk beras menjadi tepung. Emak biasanya lebih dulu harus merendam beras biasa atau beras ketan dengan wadah bakul ke air selama beberapa jam. Merendam beras itu bisa malam sebelum tidur untuk ditumbuk esok pagi, maupun direndam sejak pagi sebelum berangkat ke kebun atau ladang untuk ditumbuk siang atau sore usai pulang.
Ikut menumbuk tepung menggunakan lesung menjadi kesenangan sendiri dimasa itu. Selain bisa mengambil sedikit rendaman beras yang ditiriskan dengan bakul untuk dimakan, aku bisa mencicipi tepung atau mendapat sisa tepung kasar sisa tumbukan dan ayakan. Suara tumbukan lesung menciptakan suara cukup kencang, berirama khas dan bertalu-talu.
Saat Emak menumbuk, aku duduk di atas lesung kayu yang biasanya dibuat agak panjang. Aku kebagian jatah mengusir ayam, mengaduk beras tepung yang ditumbuk agar merata, dan sesekali tangan masuk mengambil tepung beras untuk dimakan diiringi peringatan Emak, tangan jangan masuk mengambil beras saat sedang proses menumbuk. Bisa saja tangan kena hantaman Alu atau Antan ke dalam lobang lesung.
Beras yang ditumbuk tadi, harus berkali-kali diayak, yang kasar ditumbuk lagi, dan diayak lagi hingga menjadi tepung halus. Tepung beras biasa atau tepung ketan inilah yang kemudian baru bisa menjadi berbagai jenis panganan. Untuk tepung ketan alias pulut dalam bahasa dusun kami, warnanya sedikit berbeda dan kurang putih dibandingkan tepung beras biasanya.
Usai menumbuk tepung, Emak kemudian menumbuk daun pandan untuk pewarna Klepon alias onde-onde tadi. Pewarna makanan saat itu juga belum begitu banyak dan bisa jadi kami di dusun sulit mendapatkannya. Kadangkala Klepon tidak juga menggunakan warna apapun selain warna dasar tepung ketan.
Dalam proses pembuatan, urusan donan tepung ketan tadi, aku sedikit sekali terlibat. Adonan tepung Ketan diberi air serta dicampur garam secukupnya. Adakalanya adonan bisa diberi seikit air panas dan menjadi adonan padat. Nah untuk mebuat bulat dan diberi gula, saat itu pernah juga mencoba tetapi kadangkala hasilnya tidak sebagus bulatan Klepon bikinan Emak. Bulatan yang kemudian ditekan pakai jempol diisi gula. Untuk gula isi Klepon, Emak kadang-kadang menggunakan gula Aren atau Enau, kadang gula merah, dan bila semuanya tidak ada, Klepon buatan kami sering menggunakan gula putih biasa. Hasilnya, menurutku tetap enak dan sama saja gula Klepon yang manis bisa muncrat bila dimakan.
Bagian paling menyenangkan bagiku ikut Emak membuat Klepon adalah saat memasak. Bulatan Klepon berisi gula tadi dimasukan kedalam air yang sudah mendidih. Tidak sabar mengangkat Klepon yang sudah mengapung dan selalu bertanya mengapa Klepon yang mengapung disebut sudah masak sedangkan yang tenggelam belum masak. Emak biasanya hanya menjelaskan ala kadarnya kepadaku.
Dimasa kecil ini, aku kadang tidak sabar memakan Klepon yang baru masak padahal belum diberi parutan kelapa. Emak berkali-kali mengingatkan Klepon masih panas. Karena tidak sabaran, aku tetap mengambilnya dan langsung memasukan ke mulut. Setelah merasakan panasnya Klepon di mulut, baru aku jera. Apalagi gula isi Klepon yang masih panas, boleh minta ampun kalau mau dicoba.
Bila Klepon sudah dimasak semuanya, Emak selalu tidak lupa memberikan sebagian untuk tetangga-tetangga kami yang terdiri hanya beberapa rumah. Kadang aku kebagian jatah mengantar kerumah tetangga kami dengan tutup wadahnya daun pisang. Maklum di dusun, berbagai makanan merupakan kebiasaan bila kita memasak sesuatu. Apalagi menumbuk tepung menggunakan lesung, merupakan pertanda seseorang akan memasak panganan dan keharusan berbagi bersama. Kadangkala, menumbuk tepung juga menjadi kegiatan bersama tetangga untuk membuat panganan sesuai selera.
Itu kenanganku masa kecil tentang Klepon. Enak dimakan kapanpun dan Klepon bisa saling berbagi. Kadang tetangga kami yang orang Jawa juga suka membuat Klepon serta bubur warna warni bila ada acara selamatan dan tetap sama, mereka juga berbagi. Rasanya juga sama, Klepon enak dan manis.
Saat aku sudah besar hingga sekarang ketika sudah zaman tepung mudah dan banyak untuk di beli, Emak kadangkala membuat Klepon tanpa harus menumbuk tepung di lesung. Sekarang saat aku sudah berkeluarga dan bekerja, kami memang sangat jarang membuat Klepon tetapi sering memakan si bulat yang dalamnya manis ini.
Sangat mudah menemukannya, karena hampir selalu ada dijual tukang kue setiap pagi. Apalagi bulan puasa, Klepon alias onde-onde ini salah satu jenis kue yang banyak dijual dan dicari. Intinya Klepon disukai semua orang dan enak dimakan.
Terakhir dari cerita klepon dan kenangan ini, kita juga tidak berdebat tentang nama Klepon atau onde-onde, apalagi sampai buka-bukaan data sejarah kue ini dari zaman kolonial sampai data terbaru sekarang. Aku sendiri tidak bingung kalau masalah Klepon ini, karena sama-sama akrab dan sama rasanya. Di dusun kami biasanya saja, ada yang menyebut Klepon, ada yang menyebut onde-onde karena ada pengaruh Minang.
Intinya Klepon alias onde-onde itu, manis dan enak dimakan. Aku rasa, Klepon enggan dibawa-bawa jadi bahan politik identitas apalagi diperdebatkan. Klepon sebagaimana makanan, hanyalah paduan tepung dan diisi gula yang dibentuk, diberi kelapa parut dan dimasak sedemikian rupa, hanya pas diadu dalam mulut, manis dan lumer. Hati-hati, sesekali bila memakan Klepon memang bisa muncrat, namun ia tetap manis. Klepon tidak pernah membuat orang kecewa. Bila Klepon habis, biasanya kelapa parut masih bersisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H