Mohon tunggu...
Shopiah Syafaatunnisa
Shopiah Syafaatunnisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Minat dengan isu pendidikan dan agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Suara Akademisi: Suara Rakyat

9 Februari 2024   23:42 Diperbarui: 9 Februari 2024   23:42 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di satu sisi, penulis mewakili rakyat biasa berterima kasih dengan gerakan akademisi yang bersuara, satu persatu bahkan dari satu kampus diikuti kampus lain bak gelinding salju, menyuarakan keseriusan bahwa ada yang tidak beres dengan demokrasi di negeri ini.  Menunjukan sebuah perhatian besar yang semestinya disyukuri sekaligus dievaluasi para pemangku kewenangan di negeri ini. 

Di sisi lain, bermunculan pula pendapat-pendapat yang kontradiktif seolah menyayangkan aksi sivitas akademika tersebut. Yang setelah penulis telusuri, ada semacam kesimpulan pribadi dari memperbandingkan ragam opini yang mungkin ada baiknya dipublikasikan sebagai bahan telaah bersama.

Motif di Balik Petisi 

Bermula dari petisi sivitas akademik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta pada Kamis (31/1), disusul Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dilanjut oleh civitas akademik Universitas Indonesia (UI) tepat pada Jumat (2/2), lalu civitas akademika Universitas Padjadjaran (Unpad) juga melakukan hal yang sama pada Sabtu (3/2) dengan menyuarakan substansi yang sama, agar penguasa mengembalikan demokrasi pada tempatnya, di jalur yang semestinya.

Sebagai bentuk kepedulian dan cinta, khususnya kepada Presiden Jokowi sebagai kepala negara, mereka memberikan masukan dan kritik yang membangun, agar Presiden Jokowi kembali ke jalan yang sesuai koridor etika.

Tidak lebih dan tanpa ada kepentingan lain, karena ini murni tanggung jawab dan amanah yang diemban mereka sebagai akademisi, sebagai perwakilan dari suara rakyat untuk menyuarakan kebenaran berdasarkan tanggung jawab moral yang mereka emban selaku akademisi di negeri ini.

Ikrar Nusa Bhakti (2024) dalam tulisannya di Kompas berjudul: "Ketika Kampus Mulai Bersuara", pemicu gerakan ini tentu bukan tanpa sebab. Para akademisi yang angkat bicara tersebut murni melaksanakan tanggung jawab moralnya selaku akademisi, yakni mengingatkan Jokowi agar kembali ke rel demokrasi sesuai yang diamanatkan reformasi politik total 1998, juga mengingatkan agar tidak melupakan etika dan moral politik. 

Cidera etika inilah yang menjadi sorotan akademisi. Peran akademisi dengan wawasan dan keluasan ilmunya adalah menjadi kontrol atas penguasa agar tidak sampai jatuh pada tindakan memereteli demokrasi, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang merupakan kejahatan yang melanggar demokrasi.

Siapakah Akademisi?

Seorang akademisi tidak mungkin tergesa-gesa dalam bereaksi. Seperti yang diungkapkan Hamid Awaludin (2024) di kolom Kompas, bahwa tradisi ilmiah berupa tesa antitesa sintesa sudah menjadi budaya sehari-hari mereka. Selain itu, kebiasaan cara berpikir yang runtut, rasanya sulit untuk menyimpulkan bahwa gerakan mereka hanya sekedar reaksi tanpa arti.

Pengajaran, penelitian  pengabdian, sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Mereka bereaksi atas orientasi kebenaran semata. Mereka adalah pemeran kunci yang mengarahkan laju demokrasi yang semestinya. Mereka adalah pelaku dalam sejarah perubahan republik Indonesia. Terakhir, mereka tidak asal-asalan bereaksi selama tidak ada yang  melampaui batas etika dan melecehkan standar moral yang diyakini.

Menyoal Perbedaan

Idealnya, gerakan akademisi semestinya disambut baik seluruh pihak dari mulai rakyat biasa hingga penguasa untuk dijadikan rem pengingat sekaligus referensi mencerahkan. Tetapi sebagaimana sudah mentradisi di dunia demokrasi, bahwa di balik setiap aksi selalu menimbulkan reaksi. Artinya, fenomena gerakan, sekalipun berasal dari akademisi yang dihormati sekalipun tentu tak terlepas dari pro dan kontra.

Rasminto (2024) dalam tulisannya di kolom Detik misalnya, ia mengkritisi bahwa sisi ketidaksepakatannya terdapat pada ketidaksukaannya apabila sivitas akademik menebar aroma perpecahan dan benih-benih kepanikan di kalangan masyarakat.  Sudah semestinya menjunjung tinggi tradisi ilmiah dan bukannya kagetan dan partisan pada kelompok tertentu.

Pernyataan di atas banyak terbantahkan oleh ragam pendapat, misalnya dikemukakan Jannus TH Siahaan (2024) di kolom Kompas, hanya karena ada kesamaan isu dan narasi dengan paslon tertentu, bukan berarti ada kesamaan politik. Justru yang dilakukan akademisi berangkat dari wujud tanggung jawab moral dan intelektualnya, sayangnya ini seperti sulit ditangkap oleh penguasa di musim yang penuh nuansa politis ini. 

Akademisi Tetaplah Akademisi

Akademisi tetaplah akademisi, yang peran dan kehadirannya dituntut untuk selalu menyuarakan kebenaran, di musim apapun, di musim politik sekalipun.  Sentuhan akademisi sangat dibutuhkan, baik kepada rakyat untuk memahami kejelasan suatu isu secara intelek maupun kepada penguasa untuk meneguhkan kembali eksistensi demokrasi sebagaimana mestinya.

Seyogyanya, aksi petisi tidak dimaknai 'mempermalukan', 'menggulingkan', maupun kosakata yang memicu tendensi negatif lainnya. Kritik mereka semestinya disambut dan dilindungi negara. Bukan sekedar membiarkan akademisi hanya bersuara semata, tanpa menelan dengan seksama apa yang menjadi masukan berharga mereka sebagai upaya menjaga marwah demokrasi.

Sayangnya, musim politik memang selalu memicu banyak celah untuk berburuk sangka. Jikasanya semua dalam satu kepentingan, kepentingan untuk menjaga demokrasi yang lebih baik semata, maka tentu tidak akan ada yang menyangkal bahwa suara akademisi adalah suara rakyat, yang memanggil segenap bangsa Indonesia, tak peduli apakah itu rakyat maupun pejabat. Mereka hanya menjalankan apa yang menjadi tugas mereka: menyuarakan kebenaran dan memastikan rel demokrasi yang sedang berjalan senantiasa on the track di jalur kebenaran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun