Ini bukan tentang masyarakat awam yang bisa dibilang cukup logis terjerat pinjol disebabkan minimnya literasi dan wawasan. Tetapi ini adalah tentang lembaga akademik, yang sangat tidak indah didengar ketika meluluskan pinjol dalam ranah kebijakan mereka, hal yang sangat menyalahi nuansa akademis yang sebagaimana mestinya.
Idealnya, kampus mengajak mahasiswanya dengan senantiasa melek literasi, termasuk dalam hal literasi pinjol yang berdasarkan realita di di lapangan telah banyak menyengsarakan masyarakat awam.
Dalam konteks lingkungan akademik, apalagi mahasiswa tidak mampu sebagai objek yang harus menanggung pinjol, tentu akan berefek pada banyak hal baik dari sisi psikologis, akademis, dan lain-lain. Maka, perlu mengkaji kembali dan mempertimbangkan secara matang oleh seluruh pihak terkait, terutama lembaga akademik, dalam menjalankan kebijakannya di ranah pembiayaan.
Menurut Fahira, anggota DPD RI, dilansir Kompas (2/2/2024), polemik pinjol di ITB yang menggegerkan akhir-akhir ini sebagai salah satu bukti bahwa paradigma pendidikan, terutama pendidikan tinggi di Indonesia, masih memandang anggaran pendidikan sebagai sebuah biaya atau cost. Apa yang diungkapkan Fahira dapat menjadi bahan refleksi bersama, terutama lingkungan akademisi untuk menjaga integritas pendidikan sebaik mungkin dengan tetap konsisten menjadikan pendidikan sebagai investasi sehingga tidak terlalu fokus pada pembiayaan yang melupakan substansial.
Memang idealnya, kebijakan pembiayaan di perguruan tinggi seharusnya merupakan tugas negara dan tidak dibebankan kepada universitas. Meminjam istilah Anies Baswedan dalam debat  kelima Pilpres 2024 yang dilansir kompas.com (5/2/2024), negara hendaknya menempatkan pendidikan tinggi itu sebagai eskalator sosial ekonomi. Begitupun gagasan yang dilontarkan Ganjar Pranowo menyikapi kasus pinjol di kampus, ia menyarankan agar perguruan tinggi bisa menyediakan kluster-kluster besaran biaya UKT yang memang sesuai dengan strata mahasiswa. Peran negara harus berpihak kepada warga lemah, termasuk mahasiswa tidak mampu untuk bisa mengakses pendidikan tinggi dengan terjangkau.
Solusi lain misalnya disampaikan MUI yang mengusulkan beberapa skema pembiayaan untuk membantu mahasiswa. Seperti dilansir radar Bogor (31/1/2024) MUI mendorong optimalisasi lembaga filantropi Islam seperti zakat, infak, dan sedekah, kemudian dengan manfaat dana abadi atau wakaf.
Berbagai solusi dan tanggapan di atas sebagai gambaran bahwa masih banyak jalan keluar yang bisa diambil pihak kampus dari sekedar memfasilitasi pinjol yang tingkat madharatnya sangat besar dan bisa mencederai apa yang menjadi visi misi lembaga akademik yang selayaknya mengayomi mahasiswanya dengan cara-cara akademis. Karena secara akademis, sudah semestinya perguruan tinggi menjembatani mahasiswanya agar terhindar dari pinjol dan bukan menjadi perantara yang menjerumuskan mahasiswanya di dunia pinjam memimjam yang sedikit banyaknya dapat mempengaruhi kualitas hidup mahasiswanya baik secara psikis maupun akademis.
Masih banyak jalan yang lebih arif selain pinjol, dan yang tak kalah penting, marwah lembaga akademik harus dikedepankan, seperti yang disampaikan Fahira, kewajiban perguruan tinggi adalah menjadikan paradigma pendidikan sebagai investasi dan bukan sebagai cost.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H