Semenjak saya menerjunkan diri menekuni dunia tulis menulis, saya mengawali tulisan saya di blog pribadi dengan tema keislaman sesuai passion saya.
Setelah itu, seiring berkembangannya skill menulis, saya memberanikan diri untuk mulai berkirim artikel ke beberapa media online.
Meski blog pribadi tetap saya tekuni, ada tiga hal yang mengharuskan saya untuk mengeksplor tulisan saya ke digital yang lebih rumit: pertama, agar kebermanfaatan tulisan saya bisa lebih luas jika dibandingkan blog pribadi yang minim pembaca; kedua, tidak semua tema bisa diangkat di blog pribadi; ketiga, media online dengan sistem penyeleksian yang ketat bisa menjadi tolak ukur kualitas tulisan kita agar lebih berkembang dan tertantang.
Bosan di zona nyaman dengan artikel keislaman yang sudah mempribadi dalam tulisan saya, saya pun melebarkan sayap dengan mencoba memasuki literasi opini.
Bermula dari satu dua tulisan yang dimuat di sebuah media online yang saya rasa cocok untuk penulis opini pemula seperti saya, saya pun googling mencari tahu media online yang keseriusannya lebih kompleks dan menambah ketegangan menulis.
Saya menemukan media yang bisa berkirim opini, media itu bernama kompas.id, tanpa pikir panjang saya coba menulis opini dan berkirim ke sana.
Tidak lebih dari tiga hari, selalu ada notifikasi dari email, meski isinya adalah selalu tentang penolakan. Tetapi yang saya suka dari media ini meski selevel nasional tapi sangat fast respon untuk ukuran penulis yang selalu menunggu jawaban seperti saya.
Di tengah perjalanan menulis itu, seperti biasa saya selalu rajin mengecek media tempat saya berkirim artikel.
Saya kira ketika saya klik media kompas, seperti biasanya yang hanya akan membaca opini orang dan mempelajari alur tulisan mereka. Tanpa pernah ada terbersit bahwa tulisan sendiri akan muncul karena merasa belum layak.
Apalagi, sebelumnya saya berpikir bahwa opini yang berpotensi masuk hanyalah opini dari para pakar. Namun semenjak tulisan saya lolos, persepsi saya tentang pemuatan tulisan untuk orang-orang tertentu hilang seketika. Karena rupanya orang biasa seperti saya pun bisa lolos, meski sampai saat ini hanya baru satu tulisan di tengah sekian banyak tulisan yang selalu dikembalikan, hehe.Â
Informasi Tambahan
Kompas.id sebagai platform digital dari koran kompas yang berbentuk cetak. Mengikuti arus perkembangan zaman, tentu kita mafhum beberapa koran nasional banyak yang juga bertranformasi ke ranah digital, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, dan lain-lain.
Yang perlu dipahami, bahwa tulisan yang dimuat di kompas.id tidak semuanya diterbitkan di koran cetak. Tetapi opini yang terbit di koran cetak, pasti terbit di kompas.id
Saya sebagai yang hanya pernah dimuat di kompas.id saja sudah bersyukur, karena untuk menembus koran cetak biasanya yang sudah masyhur dengan kepakarannya.
Dan satu lagi, kompas.id tidak sama dengan kompas.com. Kompas.com adalah portal berita online, berbeda dengan kompas.id yang satu wadah dengan harian kompas (koran cetaknya).
Terakhir, ada honorarium yang layak bagi tulisan yang dimuat. Saya juga sempat galau dengan persoalan ini. Karena untuk bisa dimuat tanpa berpikir kesana saja sudah suatu kebahagiaan.
Tetapi honorarium rupanya menjadi bonus yang menambah kebahagiaan saya setelah beberapa minggu dimuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H