"Masa depan hanya bisa dibangun melalui dinamika saat ini. Setelah pandemi ini berakhir, pemerintahan-pemerintahan akan terus melanjutkan [...] mengobati collateral damage yang terjadi." -Jacques Rancire, Une Bonne Occasion?Â
Saya sengaja mengutip esai karya filsuf Prancis Jacques Rancire sebagai pembuka wacana ini.
Bukan tanpa sebab, keputusan pemerintah melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang disahkan oleh DPR RI menjadi UU Nomor 6 Tahun 2002 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 pada Selasa (14/7) telah memicu polemik di Tanah Air.
Sejalan dengan regulasi tersebut, Pilkada 2020 berlangsung di 270 daerah, meliputi sembilan pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati/wali kota. Masa kampanye berlangsung 26 September-5 Desember, sebelum pemungutan suara digelar 9 Desember 2020 (Harian Kompas, 27 September 2020).
Wajar jika pagelaran politik elektoral itu mendapat kritik dari berbagai lini masyarakat. Contohnya saja, organisasi Nahdlatul Ulama hingga Muhammadiyyah telah meminta pemerintah untuk menunda Pilkada 2020.
Bukan tanpa sebab, hingga 17 September lalu, 117 dokter meninggal karena Covid-19. Di zona merah, rumah sakit rujukan makin banyak yang tak bisa menerima lagi pasien baru, sementara kurva pendemi terus menanjak.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah memberikan argumen-argumen mengapa Pilkada akan tetap dilaksanakan pada Desember esok. Beralasan untuk menjaga hak politik dan demokrasi, pemerintah malah melanggar hak untuk hidup yang dimiliki masyarakat.
Padahal hak kesehatan juga merupakan hak konstitusi orang banyak. Dengan hadir saat Pilkada, masyarakat akan semakin berpotensi terinfeksi Covid-19.
Mengatur protokol kesehatan secara serempak dan tegas di 270 daerah--dengan titik-titik TPS yang tersebar di beragam lokasi, adalah hal yang muskil mengingat banyaknya pemilih (baik Daftar Pemilih Tetap/DPT maupun Daftar Pemilih Khusus/DPK). Klaster baru dari Pilkada serentak 2020 pun tak bisa dihindari jika rencana ini tetap dilaksanakan.
Merujuk siniar Apa Kata Tempo, edisi 24 September 2020 tentang Pilkada Serentak 2020, pemerintah  berdalih tetap melaksanakan Pilkada 2020 karena pandemi ini tak diketahui kapan ujungnya.
Sungguh pernyataan yang bertolak belakang dengan optimisme pemerintah saat menyatakan bahwa vaksin untuk Covid-19 akan segera disebarluaskan--salah satunya vaksin CoronaVac yang diimpor dari Cina juga vaksin Sinovac--dan keyakinan pandemi segera berakhir.
Pada Jumat (25/9) dalam Rapat Koordinasi Pimpinan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Mendagri Tito Karnavian menyatakan bahwa Pilkada 2020 bisa membangkitkan ekonomi masyarakat. Namun pendapat bekas Kapolri itu adalah pemikiran yang ngawur dan tak berdasar.
Seberapa pun banyaknya kalkulasi keuntungan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat, hal itu tetap tak seimbang dengan ledakan jumlah orang yang terinveksi dan meninggal dunia akibat Covid-19.
Berkaca dari Pilkada serentak pada 2018, pesta elektoral itu menyumbang tambahan pertumbuhan (ekonomi) konsumsi sekitar 0,2 hingga 0,3 persen. Angka ini didapatkan dari akumulasi belanja KPU dan calon kepala daerah (Simanjuntak, 2018).Â
Jika kita pinjam angka tersebut dan mengkomparasikannya dengan tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia yang menyentuh angka 3,8 persen (Tempo, 2020) sungguh perbandingan yang amat jauh merugikan. Sangat tidak worth it mempertaruhkan nyawa manusia Indonesia demi argumen--yang "katanya", untuk kepentingan ekonomi rakyat.
Jika Kemendagri bisa menghentikan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) 2020, sesungguhnya pemerintah, DPR bersama KPU juga bisa menunda Pilkada Serentak 2020. Adalah sesat pikir jika ada yang berargumen "Seharusnya Pilkades tetap dijalankan, karena Pilkada juga diteruskan."Â
Mungkin orang-orang yang berpendapat seperti itu belum pernah membaca kalkulasi pegiat survei politik Muhammad Qudori. Qudori memperkirakan akan ada 1,76 juta orang meninggal dari 50,2 juta orang yang terlibat yang didasarkan pada 3,8 persen tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia (Tempo, 2020)
Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra menolak Pilkada 2020 dan mendeklarasikan diri untuk golput.
Bukan pernyataan sikap yang tak berdasar, pemikiran Azyumardi ini selain mengantisipasi ledakan masyarakat yang terinveksi Covid-19 juga bentuk solidaritas untuk para masyarakat yang telah terinveksi Covid-19.
Gerakan moral seperti yang dicontohkan Prof. Azyumardi adalah preseden baik bagi demokrasi Indonesia yang sedang "puber". Sejalan dengan prinsip Patrap Triloka Ki Hajar Dewantara, bahwa Ing ngarsa sung tuladha, seorang pemimpin harus memberi contoh.
Agar sebab-sebab munculnya "zaman edan" seperti yang diungkapkan pujangga Keraton Surakarta R.Ng. Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha tak terjadi saat pagebluk ini. Sudah saatnya kita eling lan waspadha. Sebab kini pilihan kita hanya dua: tunda Pilkada Serentak 2020 atau golput.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 menyatakan Pilkada 2020 pada Desember bisa dijadwalkan ulang jika pandemi belum selesai. Sudah saatnya Presiden Jokowi menjadwalkan ulang Pilkada. Pilihan kapan saat untuk melaksanakan Pilkada juga beragam. KPU memberi opsi Maret atau September 2021.
Selain itu, ada alternatif lain seperti yang diajukan dosen dan Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK-FH UII) Allan F.G. Wardhana untuk menunda hingga 2024 (dapat dibaca di sini).
Jangan sampai rakyat mati karena angan semu "demokrasi". Jika kalkulasi Muhammad Qudori di atas benar belaka, maka bangsa ini tak ubahnya melaksanakan genosida diri sendiri. 1,76 juta orang akan menjadi martir dari pseudo-democracy.
Pengalaman genosida 1965 telah memberi dampak buruk bagi kita, salah satunya adalah lenyapnya satu generasi intelektual Indonesia. Jangan sampai hal ini terulang kembali hanya karena Pilkada serentak. Jelas kita tak ingin "Sekali berarti sudah itu mati", seperti kata Chairil Anwar dalam sajaknya.
Mengingat kata Rancire, masa depan hanya bisa dibangun saat ini. Setelah pandemi usai, pemerintah masih bisa bekerja lagi. Semestinya pemerintah tak usah cemas menunda Pilkada.Â
Tak perlu buru-buru melaksanakan Pilkada. Kejernihan batin dan kemurnian nalar sangat dibutuhkan. Jangan sampai kita dibuat kalut oleh zaman.
Daripada meributkan Pilkada 2020, lebih baik kita ambil jeda pandemi ini untuk belajar Zen, Stoisisme, membaca Ranggawarsita dan berkontemplasi. Ini adalah waktunya untuk take a break, beri jeda sebentar dalam perjalanan demokrasi bangsa ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H