Mohon tunggu...
Muhammad Shoma
Muhammad Shoma Mohon Tunggu... Jurnalis - Wasis Solopos Angkatan XX

cogito ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hoegeng, Pelat Merah dan Korupsi 'Stadium 4'

5 Desember 2018   23:09 Diperbarui: 6 Desember 2018   00:12 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bocah yang mengendarai sepeda motor berpelat merah. saya potret secara amatir/dokpri

"Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan adalah keyakinan yang terbesar di dunia ini: suatu kurnia alam. Dan yang terpenting di atas segala-galanya ialah keberaniannya. Kesederhanaan adalah kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan." -Pramoedya Ananta Toer

Sore ini (5/12) saya menjumpai sebuah 'fenomena' yang cukup menarik. Namun sebelum saya menceritakan apa yang saya temui pada sore ini, alangkah baiknya saya ceritakan perihal keluarga kami. Di mana posisi saya adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kini saya duduk di bangku kelas XI SMA. Ini cerita perihal keluarga kami..

***

Ketika kami sekeluarga sedang santap malam, setelah saya puas berbelanja buku, tibalah saat di mana meja makan akan menjadi forum diskusi. Di meja makan ini, kami akan banyak membicarakan ini-itu, kadang sopir kami ikut menceletuk, atau jamak tamu keluarga kami juga berpendapat. Meja makan adalah forum demokrasi yang baik. Malam itu, di sebuah restoran Padang, Bapak berujar, "Zaman makin ngeri. Banyak mental pejabat dan pegawai negeri sipil (aparatur sipil negara/ASN) yang korup. Bapak sudah tidak betah bekerja di iklim yang buruk seperti ini. Korupsi dengan mudah dilakukan oleh para PNS-PNS itu. Mulai memanipulasi Surat Perintah Perjalanan Dinas sampai korupsi uang bensin," sesaat ia diam, dan melanjutkan, "Kamu," sambil menujuk mata saya, "jangan pernah jadi pegawai!"

Jleb! Apa maksud Bapak? Di tengah banyaknya orang Indonesia yang bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil, mengapa saya malah dilarang? Tapi bukannya saya masih SMA? Apa saya tak terlalu dini untuk membuat kesimpulan? Itulah suara yang mendengung di dada saya. Lantas Bapak melanjutkan, "Korupsi itu tak melulu soal uang. Kamu telat masuk kantor itu termasuk korupsi waktu. Gaji kamu jadi tak halal karena kamu telat; ketika seharusnya kamu sudah bekerja tapi kamu belum sampai ke tempat kerjamu," sedikit-sedikit saya jadi paham, kenapa sering sekali Bapak mengeluhkan dunia kerjanya di lingkungan aparatur sipil negara.

Saya tahu persis, Bapak saya belum pernah membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Tetapi saya melihat jelas beberapa ajarannya mirip dengan apa yang diucapkan oleh sastrawan besar itu. Pada suatu ketika, penulis Bumi Manusia itu berujar, "Keinginan menjadi pegawai negeri adalah salah satu faktor kenapa korupsi mustahil diberantas. Di birokrasi itulah korupsi merajalela. Orang suci pun bisa jadi korup di sana." Kalimat terakhir inilah yang terasa begitu mengena. Sudah berapa kali kita melihat 'orang-orang yang bertampang suci' tercebur kolam lumpur korupsi? Ada yang memiliki jabatan penting di Kementerian Agama, ada yang mengatasnamakan fasilitator perjalanan religi, hingga pengadaan kitab suci pun mereka gasak atas tendensi kerakusan.

Namun seperti yang kita ketahui, korupsi tak selalu tentang uang yang nominalnya begitu fantastis dan melibatkan banyak orang. Hal-hal kecil yang ada di sekeliling kita bisa jadi adalah bibit-bibit praktik korupsi yang suatu saat akan kita semai sendiri hasilnya. Membahas tentang ini, saya teringat sebuah kisah empirik yang lagi-lagi melibatkan saya dan Bapak.

Kisah tersebut bermula ketika Bapak mendapat sebuah mobil dinas dari kantor di mana ia bekerja. Sebenarnya itu bukan tipe mobil yang bagus-bagus amat dan up to date, namun cukup 'gagah' karena pelat yang tertempel di depan dan di belakang mobil ialah pelat merah. Nah! Siapa lagi yang tak asing dengan kendaraan berpelat merah? Anak-anak pun mengetahuinya, dibuktikan dengan majalah daring anak-anak, Bobo.id yang mendefinisikan 'kendaraan berpelat merah' sebagai kendaraan yang digunakan untuk pemerintah, milik pemerintah dan digunakan selama perjalanan dinas.

Saya ingat sekali, mobil dinas yang diserahkan kepada Bapak hanya ia gunakan dua kali. Pertama, saat mengambilnya dari kantor untuk ia 'garasikan' di rumah, dan yang kedua adalah saat menyerahkan kembali mobil tersebut ke kantor. Meski fungsi mobil tersebut adalah untuk kegiatan kedinasan, Bapak pun juga tak pernah menggunakannya untuk keperluan dinas. Uang bensinnya pun tak pernah ia terima. Baru setelah saya duduk di bangku SMA inilah, saya mengetahui apa maksudnya.

Pada malam itu, ketika tangan saya menyuapkan suwiran ayam pop dan nasi ke dalam mulut, Bapak menjelaskan tentang kejadian yang sudah lama terjadi itu. "Korupsi juga bisa dimulai dari penyalahgunaan fasilitas. Menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi atau sampai mengkorupsi uang bensin dari kantor adalah hal yang selama ini dianggap kecil namun sangat merugikan negara," Di dalam benak saya berujar, oh ternyata ini alasannya.. Namun sudah pasti ini bukan satu-satunya alasan mengapa Bapak begitu membenci bobroknya birokrasi negeri ini.

Sebagai aparatur sipil negara yang sudah lama mengabdi, Bapak sering kali menceritakan betapa banyaknya kolam lumpur korupsi yang tiap hari dapat dicebur oleh para ASN-ASN. Sehingga wajar saja ketika di lain kesempatan, Pramoedya Ananta Toer juga berujar, "Jangan jadi pegawai negeri, jadilah majikan atas dirimu sendiri. Jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri. Dan itu dibuktikan dengan kerja." Tak ayal selama ini Bapak selalu mengimbangi kesibukan menjadi ASN dengan kesibukan menjadi wiraswasta. Dan kesibukan yang disebut terakhir inilah, yang dianjurkan Bapak terhadap semua anak dan menantu-menantunya.

Kini, Anda pasti bertanya-tanya, apa sebenarnya yang saya temui pada sore (5/12) hari ini? Inilah ceritanya..

***

Sore ini saya baru saja berkunjung ke rumah kakak di bilangan Kabupaten Boyolali. Udara di sekitar sangat sejuk. Banyak pohon-pohon yang digoyangkan angin menyapu dedaunan untuk berguguran. Juga masih ada beberapa lahan kosong yang ditanami rerumputan hijau nan subur. Namun sayang saya tak bisa berlama-lama berkunjung. Saya harus segera pulang. Senja sudah datang bersama gerimis yang datang menyapa. Kumandang azan Maghrib pun sebentar lagi mengudara. Akhirnya saya pulang.

Ketika mobil yang saya tumpangi baru saja beranjak, ada 'fenomena' yang janggal saya lihat. Otomatis saya menyuruh Pak Sopir untuk pelan-pelan. Saya ingin memastikan apakah yang saya sakiskan ini nyata atau tidak. Setelah saya pastikan berkali-kali dan menanyakan apakah Pak Sopir juga melihatnya dengan jelas, perasaan saya menjadi campur aduk. Antara kecewa, miris, dan ingin menangis di dalam hati kecil saya.

Saat itu saya menyaksikan seorang anak kecil yang mengendarai sepeda motor. Suatu pelanggaran yang sudah 'lumrah' terjadi namun cukup gila jumlahnya. Namun ada sesuatu yang tambah menggelitik: bocah yang tak menggunakan helm tersebut mengendarai sepeda motor berpelat merah! Dan seolah-olah merasa tak berdosa menggunakan kendaraan tersebut. Hati saya terketuk. Apakah tega orang tua bocah tersebut membiarkannya menggunakan kendaraan milik negara tersebut? Bukannya kendaraan tersebut seharusnya digunakan untuk kepentingan dinas dan bukan digunakan untuk si bocah guna bermain?

Saya yang hidup dalam penanaman nilai-nilai anti-korupsi pun menjadi miris dan tergelitiklah hati saya untuk menuliskan kisah tersebut. 

Lantas apa yang saya pikirkan setelah menyaksikan 'fenomena' tersebut? Yang saya pikirkan pertama kali adalah mengapa orang tua bocah tersebut memberikan peluang si bocah untuk korupsi? Bukannya itu kendaraan dinas? Bukannya bahan bakar kendaraan tersebut diisi menggunakan pundi-pundi keuangan negara? Baik kalau pun tak menggunakan uang bensin dari negara, tetapi toh itu tetap saja korupsi karena tidak menggunakan fasilitas negara dengan bijak! Apalagi terhadap anak-anak di bawah umur!

bocah yang mengendarai sepeda motor berpelat merah. saya potret secara amatir/dokpri
bocah yang mengendarai sepeda motor berpelat merah. saya potret secara amatir/dokpri
Menyambung pertanyaan saya, dalam perjalanan, benak saya dipenuhi dengan omelan-omelan yang menggerundel. Di saat bangsa ini sedang krisis keteladanan dan sedang diributkan dengan politik elektoral, mengapa kita yang berada di akar-rumput malah asyik-masyuk dengan membiarkan penyelewengan? Menggapa para orang tua tak peduli dengan amanahnya dan membiarkan amanahnya tersebut dipermainkan? Mungkin berkaca dari hal ini, salah satu calon presiden berujar bahwasannya "korupsi di Indonesia telah mencapai stadium 4."

Saya bukan simpatisan pasangan calon presiden tersebut. Namun ungkapannya kurang-lebih telah memberikan sarkas yang berarti terhadap kondisi Indonesia dewasa ini. Kisah-kisah luhur seperti yang dicontohkan oleh Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso kini hanya menjadi 'dongeng pengantar tidur' yang meninabobokkan kita menuju mimpi-mimpi nan tak kunjung terejawantahkan.

Omong-omong tentang Pak Hoegeng, saya jadi teringat sebuah kisah beliau dengan sang anak, Aditya Soetanto Hoegeng. Kisah itu bermula ketika Didit, panggilan Aditya Soetanto Hoegeng, hendak melamar menjadi taruna Angkatan Udara di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Seperti yang dituturkan dalam Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan karya Suhartono, bahwa saat itu Didit telah melewati semua persyaratan dan seleksi sehingga lolos menjadi taruna. Namun menjelang keberangkatannya ke Magelang, ia harus melewati seleksi terakhir. Salah satu syaratnya adalah surat izin orang tua, karena Didit adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga.

Setelah beberapa kali Didit berusaha menemui sang ayah, ia gagal karena sang ayah tak kunjung memberi surat izin sedang waktu pendaftaran sudah ditutup. Didit pun marah. Ia menutup pintu kamarnya dan menggunting ujung kuas milik sang ayah. Namun setelah semuanya berlalu, Didit paham mengapa sang ayah tak mengizinkannya menjadi seorang taruna. "Meskipun itu surat izin orang tua, tetapi itu akan menjadi sebuah kemudahan untuk menjadi taruna," kata Hoegeng yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Jika sikap Hoegeng ini dapat kita tarik untuk 'fenomena' yang saya temui sore ini, apa jadinya? Mungkin bocah tersebut tak akan menggunakan sepeda berpelat merah itu karena kena 'semprot' dari orang tuanya. Juga akan muncul kemungkinan besar bahwa generasi muda Indonesia akan bersih dari segala tindak korupsi karena sejak kecil sudah dibudayakan budaya anti-korupsi.

Kalau saja kita---entah sebagai orang tua, guru, ASN, murid, dan lain sebagainya---dapat bersikap obyektif dan bersih seperti yang Pak Hoegeng lakukan, maka ujaran pesimis seperti "Indonesia telah masuk dalam kategori korupsi stadium 4" tak perlu kita pedulikan. Korupsi adalah tentang mentalitas yang dimulai dari individu per individu. Jangan sampai 'fenomena' yang sore ini saya lihat terjadi lagi. Juga jangan sampai 'fenomena-fenomena' seperti ini berkembang dan menjadi kebablasan.

Indonesia membutuhkan generasi yang optimis dan mau bekerja, bekerja, dan bekerja untuk bangsanya. Bangsa ini membutuhkan pemuda yang berpikiran avant-garde serta merepresentasikan  quantum leap yang ada.

 Kalau bukan kita siapa lagi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun