Setelah beberapa kali Didit berusaha menemui sang ayah, ia gagal karena sang ayah tak kunjung memberi surat izin sedang waktu pendaftaran sudah ditutup. Didit pun marah. Ia menutup pintu kamarnya dan menggunting ujung kuas milik sang ayah. Namun setelah semuanya berlalu, Didit paham mengapa sang ayah tak mengizinkannya menjadi seorang taruna. "Meskipun itu surat izin orang tua, tetapi itu akan menjadi sebuah kemudahan untuk menjadi taruna," kata Hoegeng yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Jika sikap Hoegeng ini dapat kita tarik untuk 'fenomena' yang saya temui sore ini, apa jadinya? Mungkin bocah tersebut tak akan menggunakan sepeda berpelat merah itu karena kena 'semprot' dari orang tuanya. Juga akan muncul kemungkinan besar bahwa generasi muda Indonesia akan bersih dari segala tindak korupsi karena sejak kecil sudah dibudayakan budaya anti-korupsi.
Kalau saja kita---entah sebagai orang tua, guru, ASN, murid, dan lain sebagainya---dapat bersikap obyektif dan bersih seperti yang Pak Hoegeng lakukan, maka ujaran pesimis seperti "Indonesia telah masuk dalam kategori korupsi stadium 4" tak perlu kita pedulikan. Korupsi adalah tentang mentalitas yang dimulai dari individu per individu. Jangan sampai 'fenomena' yang sore ini saya lihat terjadi lagi. Juga jangan sampai 'fenomena-fenomena' seperti ini berkembang dan menjadi kebablasan.
Indonesia membutuhkan generasi yang optimis dan mau bekerja, bekerja, dan bekerja untuk bangsanya. Bangsa ini membutuhkan pemuda yang berpikiran avant-garde serta merepresentasikan  quantum leap yang ada.
 Kalau bukan kita siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H