Suatu ketika, di tengah terik sengatan matahari, Si Dadap datang berkunjung ke rumah Si Waru. Rumah itu amat sederhana. Dibuat dari susunan bambu dan beratapkan rumbia, di situlah Si Waru menghabiskan hari-harinya sendirian. Kebetulan, tetangganya, Si Dadap, kerap berkunjung ke gubug itu. Hitung-hitung bisa untuk mengusir kebosanan Si Waru.
"Permisi, Mas.." ujar Si Dadap sembari mengetuk pintu.
 "Masuk saja, Mas Dadap!"
Mereka akhirnya duduk di lincak yang sudah reyot. Sepuluh menit pertama, mereka membicarakan Temin si tetangga sebelah. Sepuluh menit selanjutnya mereka membicarakan rencana pembangunan mall di daerah mereka tinggal, yang menurut mereka malah merugikan masyarakat sekitar. Selanjutnya, mereka mulai meraba-raba tentang mentalitas anak bangsa. Apa itu?
"Mas Dadap, saya kira kok orang Indonesia ini enggak bodoh-bodoh amat. Kok hanya sedikit karya mereka yang go international, ya?"
"Jangankan karya. Tengok saja tetangga kita, Sinoyo, mau beli pisang goreng saja harus jual pisangnya!"
"Pisang apanya, Mas?!"
"Gini, lho, lusa kemarin Sinoyo beli pisang goreng ke desa sebelah. Padahal warung pisang goreng di desa sebelah itu beli pisang mentahnya dari Sinoyo. Kenapa enggak goreng sendiri, coba? Padahal Sinoyo sudah kondang dengan pemilik kebun pisang andalan!"
"Waduh! Mungkin enggak punya kompornya, mas.."
"Oke, Ru. Tapi kenapa enggak ditabung saja hasil jualan pisangnya? Sinoyo kan sudah kondang dengan pisangnya yang manis legit itu! Jika dibawa ke kota, pasti laku keras itu!"
"Pintar juga kamu, Mas! Yasudah, kita ngopi dulu saja, bagaimana?"