Mohon tunggu...
Muhammad Shoma
Muhammad Shoma Mohon Tunggu... Jurnalis - Wasis Solopos Angkatan XX

cogito ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Old Trafford sampai Boyolali

9 Februari 2018   21:02 Diperbarui: 9 Februari 2018   21:18 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu ketika, di tengah terik sengatan matahari, Si Dadap datang berkunjung ke rumah Si Waru. Rumah itu amat sederhana. Dibuat dari susunan bambu dan beratapkan rumbia, di situlah Si Waru menghabiskan hari-harinya sendirian. Kebetulan, tetangganya, Si Dadap, kerap berkunjung ke gubug itu. Hitung-hitung bisa untuk mengusir kebosanan Si Waru.

"Permisi, Mas.." ujar Si Dadap sembari mengetuk pintu.

 "Masuk saja, Mas Dadap!"

Mereka akhirnya duduk di lincak yang sudah reyot. Sepuluh menit pertama, mereka membicarakan Temin si tetangga sebelah. Sepuluh menit selanjutnya mereka membicarakan rencana pembangunan mall di daerah mereka tinggal, yang menurut mereka malah merugikan masyarakat sekitar. Selanjutnya, mereka mulai meraba-raba tentang mentalitas anak bangsa. Apa itu?

"Mas Dadap, saya kira kok orang Indonesia ini enggak bodoh-bodoh amat. Kok hanya sedikit karya mereka yang go international, ya?"

"Jangankan karya. Tengok saja tetangga kita, Sinoyo, mau beli pisang goreng saja harus jual pisangnya!"

"Pisang apanya, Mas?!"

"Gini, lho, lusa kemarin Sinoyo beli pisang goreng ke desa sebelah. Padahal warung pisang goreng di desa sebelah itu beli pisang mentahnya dari Sinoyo. Kenapa enggak goreng sendiri, coba? Padahal Sinoyo sudah kondang dengan pemilik kebun pisang andalan!"

"Waduh! Mungkin enggak punya kompornya, mas.."

"Oke, Ru. Tapi kenapa enggak ditabung saja hasil jualan pisangnya? Sinoyo kan sudah kondang dengan pisangnya yang manis legit itu! Jika dibawa ke kota, pasti laku keras itu!"

"Pintar juga kamu, Mas! Yasudah, kita ngopi dulu saja, bagaimana?"


"Wah, kopi di kebunmu sudah berbuah, ya?" Ujar Si Dadap dengan antusias.

"Kita ngopi di warung Yu Sinoto saja, mas! Saya mager harus metik, sangrai, dan proses ribet lainnya! He he he he."

Akhirnya, perbincangan di siang itu usai. Dilanjutkan di warung Yu Sinoto, yang terkenal kopinya dari kebun Si Waru. Kopi top. Unggulan. Kebanggan Desa Wanaseda.

Apakah ilustrasi di atas dapat merepresentasikan kultur mental anak bangsa? Jika Anda ialah penggemar dunia perfilman, pasti sudah akrab dengan judul film seperti Transformer, Iron Man, Star Trek, hingga Terminator yang siapa sangka salah satu animatornya ialah orang Indonesia? Andre Surya. Dialah animator itu. Belum lagi animator-animator Indonesia lain yang terlibat dalam produksi film seperti The Hobbit, Maze Runner, Ant Man, The Avengers serta seabrek lainnya.

Pada sebuah kesempatan, Pandji Pragiwaksono, komedian dan penulis buku kenamaan asal Indonesia ini mengadakan tur stand up comedy keliling dunia. Belum pernah ada penyanyi, seniman, penulis dan deret profesi lain yang asli Indonesia pernah melakukan tur pertunjukan berkeliling dari negara ke negara sedunia. Dan Pandji ialah orang yang pertama kali melakukan itu. Lantas, dalam kesempatan langka itu, apa yang ia sampaikan? Walau yang ia sampikan ialah stand up comedy, namun substansi dari tur yang ia lakukan ialah mengedukasi audiens. Tur dunia itu dinamainya Juru Bicara World Tour.

"Bangsa lain sudah mulai berkarya, bangsa kita masih pada kerja. Bahkan kebanyakan ngerjain karya orang lain di luar negeri." itu kutipan kalimat yang dilayangkan Pandji dalam Juru Bicara World Tour pada bagian 'Bekerja VS Berkarya'. Pada sesi tersebut, Pandji juga menyentil perihal betapa berpotensinya anak bangsa untuk berkarya. Namun malah tak sedikit yang lebih bangga mengerjakan pesanan dari luar negeri.

Pandji juga mengisahkan pengalamannya ketika ia bertandang ke markas Manchester United, Old Trafford. "Pas gue beli jersey, [..] gue lihat tulisan belakangnya 'made in Indonesia' terus gue bingung dong. Kalau lu suka beli jersey Nike di Indonesia itu pasti buatan Vietnam atau Thailand. Terus gue bingung, kok di Old Trafford buatan Indonesia. Gua ngobrol sama store manager-nya, [..] ini yang dia bilang, 'Karena kami di Old Trafford hanya bersedia menjual produk kualitas terbaik dunia.' Bayangin!" Dan siapa sangka, jersey itu diproduksi di Kabupaten Boyolali?

Produk yang diproduksi pun bagus dan sudah terbukti terbaik dunia. Selama ini, pernahkah kita saksikan Wayne Rooney gatal-gatal menggunakan jersey buatan Boyolali itu? Tidak. Sama sekali tidak. Adalah hal yang lucu, jika kita terus menerus melayani kehendak luar namun tuli dengan kehendak dalam negeri sendiri. Petanyaan substansialnya adalah, adakah karya orisinil kita yang sudah go international tanpa ditumpangi embel-embel asing?

Di Bandung, Surabaya, Jakarta dan kota-kota lainnya, beberapa studio animasi telah banyak didirikan para anak bangsa. Mereka, hanya dengan duduk manis dan menggores pena, lalu mengirim hasil karya mereka ke produsen internasional melalui surat elektronik, sudah bekerja dan mendapatkan hasil yang pantas. Ya, bekerja. Lalu, kapan kita berkarya dengan berdiri di kaki sendiri? Tidak hanya di bidang animasi. Juga dunia film, perbukuan, teknologi, sains, dan hal lainnya.

Kenapa tidak ada jersey buatan Boyolali yang tidak menumpang merek internasional, namun dengan merek sendiri. Kenapa tidak ada? Apakah bangsa ini masih dijajah oleh asing sejak dalam pikiran? Sehingga untuk berkarya saja masih terbatas melayani asing, bukan jadi tuan di negeri sendiri? Kenapa pintu investasi luar kita buka lebar-lebar namun pintu pengembangan start-up malah kita persempit dengan paradigma konservatif?

Para bapak pendiri bangsa sudah memberi contoh. Betapa imajinasi dan karya ialah dua kutub yang saling berkaitan dan sangat penting. Keduanya ada dalam satu tarikan nafas untuk kehidupan yang lebih baik lagi. Kehidupan tersebut bisa dikatakan kehidupan kreatif. Kehidupan kreatif ini bukan saja milik seniman, namun juga milik semuanya. Inilah kehidupan

yang memberikan kita ruang untuk berani berimajinasi, dan berkarya tanpa ada batasan seperti usia, gender, ketakutan, dan aspek yang menghambat proses berkarya lainnya.

Bapak pendiri bangsa, sudah berani berimajinasi jauh sebelum bangsa ini merdeka, bahwa kelak mereka akan satu tumpah darah, bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Bapak pendiri bangsa ini tak hanya stagnan pada imajinasi. Namun mereka juga berkarya. Terus berkarya. Akhirnya, 1945, imajinasi itu dapat terwujud. Ya, 1945 ialah karya. Hasil dari kehidupan kreatif.

Apa karya Anda? Apakah kita selama ini hanya menjadi Sinoyo? Atau menjadi Si Waru? Saya pun tak tahu Anda yang mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun