Oleh: Sholihul Mubarok
Ia yang senantiasa melumuri hari dengan angan juga mimpi, melukis tentang bentuk abstraknya suatu perjumpaan, meski pada akhirnya warna tak sampai ke ujung keindahan.
Di hadapan kaca, ia mengembara, menjejaki lipatan terjal di beberapa sudut wajah yang memori serta melankoli.
Jemari renta itu tetiba terhenti pada cekungan pipi, sepertinya ia teringat akan sesuatu, mungkin ia menafsirkannya sebagai lahat, tempat segala kenangan dan rindu dikebumikan.
Lalu hatinya pun mulai panik, pekik suaranya seakan tercekik oleh ketidakberdayaan akan kerelaan.
Mengerang lirih, meringkih letih melafalkan nama seseorang yang dulu belum sempat ia temui.
Malam pun berlabuh, lalu subuh bersiap menabuh, namun ia tak jua beranjak dari pengamatannya terhadap cermin, mungkin hanya dengan wajah di balik kaca yang sanggup menampung beban kisahnya ketimbang harus bercengkrama dengan sahabatnya.
Kemudian, subuh pun mengendapkan kesunyian lewat lengkingan azan yang begitu menggema seolah mengajak tubuh ringkih itu untuk bersijingkat dari keputusasaan.
Bangun, bangunlah, Tuan, sebelum engkau ditertawai kokokan ayam, berdiri dan ayunkan langkahmu, Tuan, sebelum cericit burung mencemooh kerapuhanmu dan bergegaslah maju, sebelum kekuncup mawar itu bermekaran oleh hadirnya fajar, lari dan kejarlah Dia sebelum ragamu remuk pada suatu ketika.
Gelegar suara-suara itu seperti ribuan cambuk nan siap memecut jiwa pengecutnya untuk segera merangkai kembali sketsa pertemuan di atas sajadah doa kepadaNya tempat bermuaranya semesta.