Mohon tunggu...
Sholihatu Adzkiya
Sholihatu Adzkiya Mohon Tunggu... Lainnya - Sholihatu Adzkiya

Mahasiswa Pend.Biologi UIN Jakarta 2019

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

TPA Cipeucang Antara Kepentingan Golongan dan Kepentingan Pribadi

22 Desember 2020   10:21 Diperbarui: 22 Desember 2020   10:37 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
22/02/20: Tingginya tumpukan sampah pada TPA Cipeucang yang terlihat dari pemukiman warga (Dokumentasi Pribadi)

Dulu hamparan perkebunan karet, kini berubah menjadi kawasan elite. Itulah yang menggambarkan kawasan Serpong saat ini. Serpong merupakan sebuah kecamatan di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Namanya memang kental sekali dengan perumahan elite BSD City. Pertumbuhan pembangunan properti di sana seakan tak terbendung. 

Berbagai fasilitas dibangun, layaknya kota mandiri. [1] Kota ini diimpikan menjadi kota ideal bagi masyarakat asli Serpong. Mereka rela menjual tanahnya demi mewudjudkan impian pemerintah untuk menaikan status Serpong menjadi kota Metropolitan. Namun nyatanya, impian mereka hanya angan semata. 

Terusir dari kampung halaman karena massifnya pembangunan dan tidak kompetennya mereka melawan kaum pendatang. Kota ini berubah dalam sekejap menjadi kejam bagi mereka yang lemah dan tidak kompten. Maka inilah Serpong, kota yang dahulu merupakan sebuah perkebunan kini menjadi kota megah yang dapat disejajarkan dengan kota besar lainnya di Indonesia.

Serpong merupakan wilayah yang ramai dan memiliki beberapa fasilitas umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Salah satu fasilitas yang dimiliki yaitu Stasiun Serpong yang memudahkan masyarakatnya dalam menjalankan aktifitasnya. Satu kilometer dari lokasi Stasiun Serpong terdapat Tempat Pembuangan Akhir, yang lebih dikenal dengan TPA Cipeucang. TPA itu hanya berjarak puluhan meter dari permukiman warga Kampung Nambo, Serpong, Tangsel.

Tempat Pembuangan Akhir se-Tangerang Selatan, TPA Cipeucang mengalami ‘over kapasitas’ yang sampai sekarang ini belum menemukan jalan akhirnya. Pemerintah yang dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab malah seakan-akan menutup mata terhadap realitas yang tengah dihadapi masyarakat. 

Mereka sebagai pihak terdampak dibiarkan bergumul dengan sampah. Tangapan dari pemerintah tersebut membangkitkan keantipatian warga kepada pemerintah itu sendiri dan juga kepada lingkungan. Masyarakat pedesaan yang terkenal dengan identitas mereka yang kuat dan saling mengikat serta bersifat kekeluargaan malah terkesan individualis dan kurang peduli satu sama lain. Data terakhir yang dilansir dari pergerakan teman teman carita, sampah di TPA Cipeucang, telah mencapai gundukan yang tidak wajar dengan bau kurang sedap yang cukup menyengat. 

Tumpang tindih regulasi membuat TPA Cipeucang semakin tidak jelas arahnya. Pemerintahan kota yang kini dijabat oleh Airin Rachmy membuat sebuah kebijakan untuk menutup TPA Cipeucang pada Bulan Februari nanti setelah rangkaian kebijakan yang telah dilakukan olehnya dan jajaranya selalu tidak menemui titik temu, dimulai dengan tehnik pengolahan yang dikonversi dari pembakaran menjadi tekhnik pengolahan limbah biasa. 

Kemudian sebuah kebijakan membangun PLTsa (Pembangkit listrik Tenaga Sampah) kini sedang diwacanakan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan demi mewujudkan penguraian gunungan sampah yang telah menumpuk, namun hal itu baru dapat terealisasikan apabila ada suntikan dana dari proses pelelangan yang sedang dilangsungkan. .Menurut Airin sendiri apabila pelelangan berhasil maka proses pembangunan akan dilakukan sekitar Bulan Juni 2020 dan selesai pada tahun 2022.

“Mudah-mudahan pertengahan Juni atau Juli 2020 sudah ada pemenang lelangnya dan sudah mulai progres pembangunan fisik PLTSa. InsyaAllah, progres fisiknya selesai dua tahun,” jelasnya.

Namun hal ini sangat kontradiksi dengan apa yang dikatakan Airin, menurut warga sekitar pembangunan PLTsa telah dilakukan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan beberapa tahun sebelumnya dan mengalami kegagalan diakibatkan oleh masalah tekhnis ketika sedang diuji coba dan akhirnya dibiarkan begitu saja sehingga terbengkalai begitu saja. Masalah PLTsa bukan hal yang baru di telinga pegiat lingkungan hidup, sebelumnya hal itu pernah dilakukan di TPA lain dan masalah tekhnisnya pun sama seperti masalah tekhnis di TPA Cipeucang.

Kini pemerintah Kota Tangerang Selatan sedang mewacanakan penutupan TPA Cipeucang, nantinya sampah yang ada akan dialokasikan ke Bogor berdasarkan kesepakatan kerjasama dengan pemerintah Provinsi Jawa Barat. Rencananya proses pemindahan sampah ke Bogor akan dilakukan pada Bulan Februari nanti dengan diangkut oleh sekitar 350 truk sampah. Dan TPA Cipeucang wacananya akan dijadikan sebagai taman kota, dan telah didiskusikan dengan pihak masyarakat selama sebulan ini. Tapi menurut salah satu warga, TPA Cipeucang akan dijadikan sebagai apartemen. 

Namun, hal ini belum diteliti lebih lanjut dikarenakan belum ada konfirmasi dari pihak pemerintah kota Tangerang Selatan. Jika benar hal itu terjadi (pembangunan apartemen) maka hal itu bisa berdampak lebih kompleks bila dibandingkan sebelumnya. Karena dilihat dari letak geografis wilayah Serpong cocok dijadikan sebagai lahan bisnis dan infrastruktur, karena dekat dengan wilayah BSD city dan fasilitas umum yang memadai seperti adanya jalur KRL. 

Maka dalam hal itu juga masyarakat perlu hati-hati dalam mengambil keputusan, bisa jadi hal itu sebuah jebakan dari pemerintah namun dikemas dengan bahasa yang seolah-olah membela kepentingan rakyat. Adanya sebuah kemungkinan telah ada suntikan dana yang besar dari konglomerat untuk menjadikan wilayah serpong menjadi hunian pribadi menengah ke atas, dimana pada akhirnya masyarakat sana terusir dari kampung halaman mereka. 

Kepentingan bisnis memang selalu menggiurkan bagi orang yang ingin terlibat di dalamnya maka hal ini tidak mengherankan bagi pemerintah Kota Tangerang Selatan akan menutup TPA Cipeucang. Pembangunan apartemen dan infrastruktrur lainnya akan berdampak dengan meningkatnya perekonomian Kota Tangerang Selatan bila dibandingkan dengan tetap mempertahankan TPA Cipeucang yang minim pendapatan.

 Permasalahan sampah yang tak kunjung usai ini telah menimbulkan beragam dampak yang cukup signifikan baik dari segi fisik maupun non fisik. Dampak fisik hal tersebut dapat terlihat dari timbulnya gatal-gatal pada kulit warga dikarenakan air yang tercemar dan air pemukiman warga yang menjadi keruh, polusi udara, terkontaminasinya kandungan tanah dan adanya peralihan fungsi lahan dari sawah menjadi TPA dan tambak. Seperti pada hasil wawancara kami kepada salah satu warga sekitar TPA Cipeucang, yakni pak Sinom yang bekerja sebagai pedagang.

“Dampak fisik yang dirasakan adalah terkontaminasinya sanitasi air PDAM, sehingga menyebabkan rasa gatal apabila digunakan untuk aktivitas warga. Sedangkan damapak non fisik berupa sesak pernapasan karena bau sampah”, ujarnya.

Sementara dampak non-fisiknya adalah adanya migrasi warga dikarenakan resah akan kondisi wilayah yang menurut mereka sudah tidak nyaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya TPA juga membawa dampak yang menguntungkan bagi golongan warga tertentu yaitu dengan meningkatnya pendapatan mereka dari terbukanya lowongan kerja yang disediakan dalam TPA tersebut. Menurut Bu Uin (53), keberadaan TPA tersebut sangat menguntungkan bagi warga sekitar dalam peningkatan pendapatan mereka.

“Lapangan pekerjaan yang dibuka adalah sebagai pegawai TPA dan pembuat composting”, ujar Bu Uin (22/02/20).

Disamping respon buruk yang timbul akibat pengelolaan yang salah terhadap TPA Cipeucang ini, terdapat beberapa warga yang justru menjadikan TPA Cipeucang ini menjadi ladang nafkah bagi mereka. Warga yang bekerja di TPA Cipeucang rata-rata bekerja sebagai pengepul sampah dan pembilah sampah.

Membentuk Kesadaran Terhadap Realitas yang Terjadi Akan Pentingnya Komunikasi, Sosialisasi serta  Pendidikan Politik.

Dalam menanggapi permasalahan ini, perlu diadakannya penyuluhan terhadap seluruh warga Kampung Nambo terhadap realitas yang terjadi atas pembangunan TPA Cipeucang bahwa terbentuknya kesadaran itu ketika dihadapkan dengan realitas yang terjadi. Substansi dari solusi yang dipaparkan mengacu kepada sikap pasrah dan antipasti masyarakat atas permasalahan sampah dari TPA Cipeucang. 

Bukan tanpa alasan, melihat dari data di lapangan, masyarakat seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi saat ini ketika masalah sampah di TPS Cipeucang sudah melebihi batas wajar. Masyarakat pasrah dengan kondisi semacam ini, karena mereka tahu bahwa apa yang setiap mereka lakukan atau ketika mereka ingin menyampaikan aspirasi mereka, pasti tidak akan pernah ditanggapi serius oleh pemerintah baik itu tingkat kota maupun tingkat kelurahan. 

Maka suatu kewajiban juga bagi para aktivis lingkungan untuk memberikan sebuah pendidikan politik kepada masyarakat agar mereka melek dan sadar bahwa kehidupan mereka tidak baik-baik saja, se-minimalnya mereka mengetahui regulasi secara jelas dan bagaimana kerjanya kaum birokrat.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun