Mohon tunggu...
Mohamad Sholihan
Mohamad Sholihan Mohon Tunggu... wartawan -

Marbot Masjid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berpikir dan Berbuat yang Bermanfaat

24 September 2016   05:29 Diperbarui: 24 September 2016   06:59 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umat Islam hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia. Ada tiga dasar hukunya dalam Al-Qur;an. Pertama, “Sungguh beruntung orang mukmin yang shalatnya khusu’ dan berpaling dari hal yang sia-sia.” Kedua, “Mereka tidak bersaksi dengan palsu dan kalau melewati sesuartu yang sia-sia, mereka melewatinya dengan penuh kemuliaan (tidak ikut nimbrung).“ Ketiga, “Ketika orang mukmin mendengar hal yang sia-sia, mereka berpaling darinya.” Dasar hukum dari Hadis Nabi, “Termasuk kebaikan Islam seseorang, ia meninggalkan hal yang sia-sia.”

Muhsinin Fauzi mengatakan, agama mengajarkan pada umatnya agar meninggalkan hal-hal yang tidak bernilai. Berarti harus fokus pada hal-hal yang bernilai. Seluruh hidupnya berisi dengan hal yang bernilai dan bermanfaat. Kalau melewati suatu hal yang sia-sia, yang tidak bermanfaat, ia berpaling. Demikian pula jika mendengar hal yang sia-sia, ia berpaling.

Mukmin itu berpikir dan berbuat yang bermanfaat, berkata yang bernilai, pilihan dalam hidupnya bernilai. Dengan begitu, kumpulan orang mukmin itu kumpulan nilai, maka akan berlimpah sesuatu yang bermanfaat. Mukmin itu nilainya di atas yang lain. Tapi kenyataannya, banyak orang mukmin yang mengumpulkan sesuatu yang tidak berguna.

“Ngomong tidak berguna, berpikir tidak berguna, bertindak tidak berguna, maka ini menjadi kumpulan orang yang tidak berguna,” katanya di hadapan jamaah Masjid Daarut-taqwa, Gedung Wisma Antara, Jakarta.

Ketika seseorang berkarakter, selalu yang diusung makna, maka pilihan hidupnya selalu berorientasi pada makna, contoh pilihan kata, meskipun kata-katanya pendek tapi bermakna. Untuk apa perkataan panjang tapi tidak bermakna. Demikian pula dalam pilihan tempat tinggal, ia memilih yang dekat dengan masjid, karena lebih bermakna.

Mukmin harus berpikir, berkata, dan bertindak yang bermanfaat. Kata manfaat kalau masuk dalam ranah hukum, kosekuensinya ada dua. Kalau bukan wajib, pasti sunah. Yang tidak bermanfaat kalau masuk dalam ranah hukum juga konsekuensinya ada dua. Haram atau makruh. Semua yang haram, katanya, pasti tidak ada manfaatnya. Sedangkan yang makruh, pasti sedikit manfaatnya. Bisa juga manfaatnya kosong.

“Kalau kita ingin mengerjakan yang bermakna dipandang dari sudut hukum, kerjakan yang wajib-wajib dan yang sunah-sunah, sehingga semuanya bermakna dan bermanfaat. Kalau kita sama-sama ketemu orang, kita akan memilih yang tersenyum daripada yang datar tanpa senyum. Kalau datar, tidak tersenyum tidak sampai dosa, hanya dia tidak mendapat pahala,” ujarnya.

Ada enam kualifikasi perbuatan dalam Islam yang bermakna. Pertama, kadar keikhlasannya. Semakin ikhlas seseorang, semakin besar nilainya. Ada orang pada awalnya ikhlkas, tapi pada pertengahan dan akhirnya tidak ikhlas seperti orangtua yang menafkahi anaknya. Ketika anak itu bandel, orangtuanya mengatakan,” Saya sudah menaafkahi kamu berjuta-juta, begini toh, balasannya.” Ini menyebabkan hilang nilainya (pahalanya).

Kedua, kadar ketepatan dan mengikuti aturan, baik yang bersifat makna maupun tatacara seperti shalat yang dilakukan tepat waktunya dan dibarengi dengan khusu’nya. Semakin tepat waktunya dan semakin khusu’ shalatnya, maka semakin besar nilainya. Ketiga, kadar kelanggengan atau istikomah. Sebuah perbuatan yang dilanggengkan, nilainya akan lebih tinggi ketimbang yang tidak langgeng (istikomah). Bahkan karena istikomah mendapat nilai (pahala) yang lebih berlipat-lipat. Seseorang yang istikomah mengaji Al-Qur’an menjelang shubuh, suatu hari ketiduran, ia tetap mendapat pahala.

Keempat, kadar jumlah banyaknya. Ada beberapa ibadah yang manfaatnya itu ada pada jumlahnya. Seperti zakat dan sedekah. Demikian pula dzikir, bagusnya banyak sesuai dengan perintah Allah, “Berdzikirlah kamu dengan jumlah yang banyak.” Kelima, kadar manfaat yang bisa dibagi terhadap sesama.

Ada satu kebaikan yang kadar manfaatnya untuk diri sendiri. Ada juga yang manfaatnya untuk orang banyak, lebih banyak, dan lebih banyak. Ini akan memberikan manfaat lebih. Keenam, kadar waktu yang berdampak pada perbuatan itu. Semakin lama, semakin banyak manfaat yang didapatkan, misalnya membuat sekolahan yang bisa bertahan 10 tahun dan ada yang bertahan sampai 15 tahun. Tentunya yang baik yang 15 tahun.

Ketujuh, kadar keutamaan. Rasulullah membuat urut-urutan yang paling utma. Pertama iman, kedua shalat, ketiga berbuat baik pada orangtua, dan keempat jihad. Seperti shalat berjamaah, yang utama shalat di shof pertama.

Semakin banyak kualifikasi kebaikan yang ia berikan, semakin banyak manfaat yang ia dapatkan. Semakin banyak manfaat yang didapatkan, maka semakin tinggi nilainya di sisi Allah. “Kita harus bisa membagi dan memberikan lebih banyak manfaat pada orang lain.

Islam mendeorong agar umatnya berorientasi pada manfaat. Semakin banyak manfaatnya, semakin besar nilainya, seperti sedekah yang paling banyak, paling ikhlas, paling banyak manfaatnya, lama langgengnya, diberikan kepada yang paling utama. Ini nilainya paling tinggi.

“Kita harus memhami nilai-nilai dan manfaat yang bertebaran, sehingga dalam hidupnya dipenuhi hal-hal yang bermanfaat. Manusia hidup berkisar 63 tahun. Keunggulan manusia yang satu dengan lainnya bisa dilihat dari manfaat yang ia miliki dan diberikan pada orang,” katanya lagi.

Seseorang harus cerdas memilih perbuatan yang bermanfaat dan bisa mengolah emosi, sehingga tidak terjebak pada hal-hal yang tidak ada gunanya. Seseorang hendaknya tidak hanya berpikir dari dimensi hukum. Seseorang sering mengatakan, “Tidak haram saja kok perbuatan yang aku lakukan.” Padahal meski tidak haram, perbuatan itu tidak ada gunamya. Jangan ragu untuk meninggalkan hal-hal yang tidak ada gunanya.

Setiap orang hendaknya jangan bersentuhan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Mendengar saja terhadap hal yang sia-sia, tidak boleh. Dalam hidupnya harus diisi dengan hal yang bermanfaat semua. Yang didengar bermanfaat, maka yang diucapkan pun pasti bermanfaat. Bukankah ucapan itu hasil dari pendengaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun