Semakin rasa penasaran menggelayut dalam pikirannya. Rasa ingin tahu terus menghantui sanubarinya. Setelah ia ambil uang dari mobilnya dan bermaksud memberikannya pada sang pedagang, tapi ia urungkan. Ia terus berjalan mendatangi ibu yang tengah mengelus elus lembut kambing besar itu.
“Bu, majikannya tinggal di mana?” tanya sang pejabat mengawali pembicaraan.
“Gak, pak, saya tinggal di rumah sendiri, di kampung belakang komplek perumahan elit itu,” kata ibu tadi sambil mengarahkan telunjuknya dan menyebut nama komplek perumahan elit, yang tiada lain tempat pejabat itu tinggal.
“Oh, ya, terus ini kambing punya siapa, Bu?”
“Alhamdulillah punya saya, Pak. Saya beli barusan. Gak bisa kurang, nih, kata si abang. Katanya lagi mahal. Saya beli Rp 3 juta, Pak. Alhamdulillah, semoga Allah menerima kurban kita, ya, Pak,” jawab ibu itu ramah diiringi senyuman.
“Emang Ibu kerja apa, hingga Ibu bisa beli kambing kelas A yang besar itu?” tanya Bapak itu terus penasaran.
“Ah, Bapak ini, saya ini cuma pedagang kecil di pasar. Alhamdulillah, saya bertekad dan berusaha setiap hari dari hasil dagang saya, selalu saya sisihkan nabung untuk kiurban, Pak. Saya niatkan tiap tahun. Alhamdulillah sudah berjalan selama beberapa tahun,” ujarnya dengan senyum tulus penuh syukur yang mengiringi.
Deg, Bapak itu merasa tengah diperlihatkan oleh Allah tentang kebaikan melalui kejadian itu. Hidayah mulai merasuki setiap sisi batinnya perantara ibu shalehah itu.
“Bukannya Ibu punya kebutuhan lain seperti biaya sekolah dan kebutuhan keluarga, begitu?” tanya pejabat itu kembali, penasaran.
“Pak, bagi saya dan keluarga, buat apa hidup, diberi rizki dari Allah. Buat apa jabatan dan kedudukan, buat apa harta berlimpah kalau tidak dapat membantu kehidupan akhirat kita kelak. Ya, di dunia kan sebentar saja, Pak. Saya selalu menananmkan dalam diri saya dan anak-anak saya, bahwa hidup ada tujuan, untuk ibadah. Karena itu saya berupaya ada alokasi untuk “masa depan” saya, kelak.”
Hati kecil orang kaya itu robek. Istighfar, ia tulus kumandangkan. Air mata mulai menetes di pipinya. Ia tersadar betapa dhalimnya dirinya untuk urusan dunia, untuk kebutuhan makan dan kebutuhan dunia lainnya ia bisa berkorban dan mengalokasikan sejumlah uang yang banyak. Tapi untuk yang berkaitan dengan akhirat, ia begitu tak peduli. Ia terus menumpuk kekayaan seakan hidup ini tanpa ada ujungnya. Ia terus bercita-cita untuk urusan dunia ini dan itu, untuk anak dan istri, tapi lupa dengan tujuan penciptaannya.