[caption caption="Hilman Rosyad Shihab"][/caption]“Dalam kehidupan ini kita harus mengutamakan kemenyeluruhan keberagamaan kita. Agama meliputi seluruh sisi kehidupan, termasuk kehidupan keluaraga. Waktu luang yang terbanyak dalam keseharian dihabiskan bersama keluarga. Kita juga bekerja, beraktivitas, bersosial, bertetangga, berkomunitas. Tapi yang terpokok dalam kehidupan kita adalah keluarga,” kata Ust. Hilman Rosyad Shihab di Masjid Daaruttaqwa, Wisma Antara, Jakarta.
Cakupan keluarga itu luas. Tidak terbatas pada suami istri, orangtua dan anak tetapi juga ada orangtua, mertua, kakak ipar, dan lain sebagainya. Semua keluarga itu harus mendapat perhatian berdasarkan tuntunan agama. Karena kebahagiaan dan ketentraman yang utama adalah kebahagiaan dan ketentraman dalam rumah tangga.
Yang menjadi perhatian, bukan hanya diri sendiri tetapi juga keluarga. Oleh karenanya muncul tanda-tanda kekuasaan Allah berupa kasih sayang. Orangtua sayang pada anaknya, anak berbakti pada orangtuanya, suami mistri saling menyayangi, dan seterusnya.
Kesempurnaan Islam itu meliputi seluruh sisi kehidupan, terutama dalam masalah keluarga. Islam sangat peduli terhadap kehidupan keluarga. Kebahagiaan hidup itu sulit dirasakan sendirian. Kebahagiaan itu harus melibatkan orang lain. Fitrah manusia adalah ingin selalu dekat dengan keluarga.
Oleh karenanya hal-hal yang menjauhkan seseorang dari keluarga, terlarang, harus dihindari. Tidak boleh menjauhkan diri dari keluarga. Makanya Allah memerintahkan, yang dijaga dari panasnya api neraka bukan hanya diri individu tetapi juga keluarganya. Firman Allah, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
Apa pun yang Allah anugerahkan dalam kehidupan ini adalah cobaan. Cobaan itu suatu hal yang pasti. Sebagaimana firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, sesunguhnya anak dan istrimu adalah musuhmu. Oleh karena itu waspadalah.”
“Kebahagiaan dan keharmonisan dalam keluarga harus kita dahulukan. Karena kalau tidak, kita tidak mendapatkan kebahagiaan. Sebab kebahagiaan itu tidak bisa diperoleh hanya secara individu. Pembahasan tentang keluarga harus dipahami sebagai suatu yang bernilai ibadah. Ajaran agama menuntut agar kita harus saling membantu mewujudkan kebahagian keluarga,” ujarnya.
Tak salah jika Nabi bersabda, “Pernikahan itu separuhnya agama.” Dalam menjalankan kehidupan berkeluarga merupakan setengah dari kesempurnaan agama seseorang. Dengan demikian, agama tidak bisa dipisahan dari kehidupan, menyatu dalam proses kehidupan. Ketika berbicara tentang kehidupan, yang paling banyak memerlukan perhatian adalah keluarga.
Merawat keharmonisan hubungan suami istri harus diupayakan. Kunci keharmonisan hubungan suami istri, tergantung pada kemampuan menjaga keutuhan hubungan suami istri. Saling memaksakan kehendak sebagai pertanda hubungan suami istri yang tidak harmonis, yang berujung pada perselisihan dan akhinya perceraian.
Untuk menajaga keharmonisan rumah tangga harus memperhatikan adanya perbedaan. Suami istri harus bisa menghargai perbedaan. Perbedaaan itu tidak bisa dihindari, harus selalu ada dalam hubungan suami istri. Harus ada penghargaan terhadap perbedaan. Dengan kata lain, perbedaan itu tidak bisa disatukan.
Perselisihan yang muncul dalam keluarga menurutnya, karena suami istri tidak bisa menghargai perbedaan. Kalau suami istri bisa menghargai perbedaan, maka Allah akan menurunkan ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang.
Dari perbedaan itu suami istri harus bisa memahami perannya masing-masing sesuai tuntunan agama. Sebagai seorang suami harus bisa berperan sebagai suami yang baik bagi istrinya. Hak-hak dan kewajiban sebagai suami yang harus dilakukan sesuai dengan ajaran Islam. Demikian pula sebagai seorang istri harus bisa berperan sebagai istri yang baik dengan melakukan berbagai kewajibannya terhadap suaminya.
Ada tiga kewajiban suami terhadap istrinya. Pertama, memberikan nafkah. Kedua, menggauli istri dengan cara yang terbaik. Ketiga, membimbing istri menjadi wanita sholihah (baik). Pengertian menggauli istri dengan baik, menurut Hilman, seorang suami harus banyak mengalah dan tidak marah pada istrinya.
“Karena percuma kita memaksakan kehendak pada istri. Apalagi kalau sampai marah-marah, lebih rugi lagi. Perceraian banyak terjadi karena suami gagal mempertahankan diri untuk tidak marah. Tidak ada seorang istri yang nurut pada suami setelah dimarahi. Kalaupun nurut hanya sesaat. Setelah itu dia merencanakan melakukan pengkhianatan. Itulah wanita,” ungkapnya.
Istri itu pembawaannya membuat marah suami. Demikian pula suami pembawaannya ingin marah terus dengan istrinya. Kalau kedua sikap itu bertemu, maka seperti api dan bensin. Ya, jadinyqa bertengkar. Orang Barat yang kebanyakan tidak beragama, tidak bisa bertahan lama dalam menjalin rumah tangga, cepat bercerai, karena kedua bakat tersebut dibiarkan hidup. Makanya orang Barat itu tidak mau menikah. Hebatnya Islam mengharuskan suami menggauli istrinya dengan baik dengan cara mengalah dan tidak marah terhadap istrinya.
Dalam membimbing istrinya menjadi wanita sholihah, seorang suami harus banyak mencurahkan perhatian, sebab istri merupakan kesenangan bagi sang suami. Nabi bersabda, “ Dunia itu kesenangan dan kesenangan yang tertinggi adalah wanita yang sholihah.”
Istri yang sholihah harus dihargai oleh suami dengan mencurahkan perhatiannya pada sang istri. Dengan begitu, seorang suami harus berusaha lebih baik daripada istrinya. Dengan kata lain, kesholeh-an suami harus sedikit lebih tinggi ketimbang istri, sehingga bisa membimbing sang istri menjadi wanita sholihah. Bagaimana bisa menyuruh istrinya shalat kalau suaminya saja jarang shalat. Tapi kalau suaminya lebih sholeh, maka istri mudah dibimbing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H