Mohon tunggu...
Mohamad Sholihan
Mohamad Sholihan Mohon Tunggu... wartawan -

Marbot Masjid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Layakkah Orangtua Dukung Anaknya Bercita-cita Jadi Polisi?

29 Januari 2015   21:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:08 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422517375777247918

Tatkala memberikan pengajian di Masjid Daarut-taqwa, Wisma Antara, Jakarta pada 28 Januari 2015, K.H.Ahmad Syaihu menerangkan pengalamannya saat bedialog dengan anak kesayangannya. Mungkin orangtua pernah bertanya kepada anaknya. Mungkin seorang anak pernah bertanya pada orang tuanya. Syaihu pernah ditanya oleh anaknya,

“Abah dulu waktu masih kecil, apa cita-citanya?”

“Abah pingin jadi guru.”

‘Sekarang setelah besar, apa cita-citanya?”

“Pingin masuk surga tanpa dihisab lebih dulu.”

“Kalau kamu pingin jadi apa?”

“Pingin jadi polisi, Bah.”

Dia tidak tahu, kata Syaihu, kalau polisi saat ini sedang bermasalah. Timbulnya masalah tersebut lantaran Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) setelah dia ditetapkan sebagai calon tunggal Kapolri. Buntut dari kejadiann itu, Polri melakukan kriminalisasi terhadap para penegak hukum, tepatnya pejabat KPK.

Dia juga tidak tahu, tambahnya, kalau abahnya empet (tidak suka) dengan kasus yang menimpa kesatuan polisi. Masih layakkah saat ini orangtua mendukung anaknya bercita-cita jadi poisi? “Tapi tetap saja saya harus menghargai keinginan dan cita-cita anak saya. Tugas orangtua membangun impian anak anak. Orangtua harus mengarahkan anaknya agar cinta Al-Qur’an dan mau membacanya setiap hari,” katanya.

Lebi lanjut ia menguraikan cerita tentang seorang yangsehari-harinya pekerjaannya sebagai pembuat mimbar. Di Kairo, Mesir ada seorang pembuat mimbar, yang biasa digunakan khotib jum’at dalam menyampaikan wasiat taqwa. Mimbar yang dia buat sangat bagus, sehinga banyak orang tertarik untuk membelinya untuk diboyong ke negaranya. Orang Mesir sendiri tertarik untuk meletakkannya di masjid Jami’ yang berada di pusat kota Mesir.

[caption id="attachment_393873" align="aligncenter" width="560" caption="K.H.Ahmad Syaihu (di tengah) didampingi pengurus dan jamah Masjid Daarut-taqwa, Wisma Antara, Jakarta.Iik Fathoni (no.1dari kiri), Bambang (no.2 dari kiri), Herdhi (no.4 dari kiri), dan Iswanto (no.5 dari kiri)."][/caption]

Orang Turki juga tertarik untuk membelinya untuk diletakkan di masjid yang ada di negara mereka. Setiap orang dari negara mana pun yang melihat mimbar itu dan tertarik untuk membelinya, semuanya ditolak. “Mimbar ini saya buat tidak untuk dijual. Mimbar ini saya siapkan untuk diletakkan di Masjid Al-Aqsha, Palestina,” katanya.

Orang yang kecewa tidak berhasil membeli mimbar tersebut mengingatkan,

“Mimbar Tuan akan lapuk dimakan usia, karena tidak ada yang bisa membawa mimbar ini ke Palestina,” ujarnya.

“Saya ini hanya tukang buat mimbar. Saya bisanya hanya buat mimbar. Urusan yang membawa mimbar ini ke masjid Al-Aqsha, biarlah nanti Allah yang mengirim seorang laki-laki yang kuat untuk membawanya kelak ke Palestina,” kata si pembuat mimbar dengan penuh keyakinan.

Cerita keindahan mimbar dan kekokohan hatinya untuk tidak menjualnya dan niat dia untuk menjadikannya sebagai mimbar di Masjid Al-Aqsha, menyebar dari mulut ke mulut, dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung, dari kota ke kota dan bahkan dari satu negara ke negara lain. Mereka dengan antusiasmengatakan, “Masjid Al-Aqsha, mimbarnya sudah ada, tinggal siapa yang siap membawanya ke sana.”

Empat puluh tahun kemudian, mimbar yang indah itu akhirnya benar-benar ada yang membawa ke Masjid Al-Aqsha. Yang membawanya adalah Sholihuddin Al-Ayyubi. Saat mimbar itu menjadi pembicaan masyarakat luas, usia si pembuat mimbar menurut Syaihu, baru 8 tahun.

Pesan moral dari cerita ini menurutnya, risau bukan saja bagi yang membuat mimbar tapi juga setiap orang yang bekerja di bidangnya masing-masing memiliki kerisauan terhadap agamanya. Merisaukan nasib kehidupan keaagamaanya. “Hendaklah anak-anak kita mempunyai mimpi-mimpi yang seperti itu. Kita arahkan kepada anak-anak kita memiliki impian yang tinggi,” harapnya.

Ia berharap setiap orang bermimpi sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing untuk kejayaan agama Islam. Hendaknya setiap orang jangan takut untuk bermimpi. Bermimpi sesuai dengan bidangnya masing-masing untuk kejayaan agama ini.

Karena mimpi yang paling indah adalah tentang agama. Mimpi tentang agama itu, risaunya dapat ganjaran. Demikipun pula memikirkannya saja menurut Syaihu, dapat ganjaran.Oleh karenanya tidak rugi mimpi tentang kehebatan dan kejayaan agamanya.

Seorang pemilik kebon salak boleh bermimpi suatu saat nanti salaknya bisa disuguhkan pada jamaah Masjid Al-Aqsha untuk buka puasa bersama. Seorang pedagang soto Lamongan dan Sate Madura juga boleh bermimpi bisa menyuguhkan dagangannya itu ke imam Masjid Al-Aqsha. Demikian pula pengusaha karpet boleh bermimpi agar karpetnya bisa digunakan sebagai mihrab Masjid Al-Aqsha.

Ia minta agar rumah-rumah umat Islam yang ada sekarang, jangan dijadikan sebagai kandang domba. Jadikan rumah-rumah itu sebagai kandang singa dan harimau. Singa dan harimau memiliki kemulyaan dan keberanian yang luar biasa. “Arahkan anak-anak kita memiliki mimpi yang menyebabkan dia meraih kemulyaan. “

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun