Pendidikan selalu memiliki peran sentral dalam pembangunan di setiap negara sehingga tidak dapat dipisahkan dari manusia. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1 dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dengan demikian, pendidikan mampu membentuk individu menjadi manusia yang utuh lahir maupun batin, cerdas, berbudi pekerti luhur, memiliki kekuatan pengendalian diri, dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan sebagai anggota masyarakat dan warga negara.
Proses “memanusiakan dirinya sebagai manusia” merupakan makna yang hakiki di dalam pendidikan. Dengan pendidikan, diharapkan akan melahirkan hal-hal inovatif dan mencetak generasi pembawa perubahan. Sesuai dengan tujuan tersebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan gerakan “Merdeka Belajar” yang dimaknai sebagai kemerdekaan untuk guru dan siswa dalam berpikir.
Hal ini dapat diimplentasikan oleh guru dalam mendorong inovasi pada proses pembelajaran dan siswa yang merdeka untuk berinovasi dan kreatif. Sejalan dengan konsep merdeka belajar yang dicanangkan oleh Mendikbud, bangsa Indonesia memiliki tokoh pelopor pendidikan, yakni Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Ia merupakan seorang tokoh yang memerdekakan Indonesia dan pengabdiannya begitu besar kepada bangsa.
Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Sejak tahun 1922, ia melepaskan gelarnya dan berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara agar dapat lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hati. Ia memiliki tekad yang kuat untuk meluaskan semangatnya tentang pendidikan kepada seluruh generasi muda. Upaya mendidik generasi muda adalah syarat utama untuk membebaskan diri dari jeratan penjajah. Keinginan untuk merdeka dimulai dari menyiapkan generasi muda yang bebas, mandiri, dan pekerja keras. Oleh karena itu, generasi muda harus dipersiapkan agar bangsa ini kelak menjadi bangsa yang mandiri dan memiliki jiwa yang merdeka.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara terkait merdeka belajar dapat dilihat dari pemikirannya mengenai pendidikan yang memberikan dorongan pada perkembangan peserta didik, yakni mengajarkan peserta didik untuk mencapai suatu perubahan dan dapat bermanfaat di lingkungan masyarakat. Peserta didik dididik agar dapat memberikan manfaat untuk lingkungan keluarga, tempat tinggal, maupun masyarakat luas.
Menurut Ki Hajar Dewantara peserta didik menempati tokoh sentral dalam pendidikan sehingga guru diharapkan berpihak pada peserta didik. Seorang guru harus mengenali kebutuhan serta minat setiap peserta didik dan mampu menghargai perbedaan tingkat kemampuan maupun bakat mereka. Oleh karena itu, guru diharapkan dapat menghadirkan lingkungan yang inklusif dan memberikan hak yang sama agar seluruh peserta didik dapat bekembang, berpikir kritis, berimajinasi, dan berkreasi.
Ki Hajar Dewantara juga mengusung pendekatan pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip filosofinya dalam sistem Among yang dapat dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran. Pada sistem Among, guru yang bertugas sebagai pemimpin dalam pembelajaran dituntut untuk mimiliki perilaku Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani.
Ing Ngarsa Sung Tuladha memiliki makna bahwa seorang guru harus berpengetahuan dan berpengalaman agar dapat menjadi contoh baik atau panutan untuk peserta didik. Ing Madya Mangun Karsa bermakna bahwa seorang seorang guru harus dapat mendorong semangat peserta didik serta mengembangkan minat, bakat, dan berkembang sesuai kodratnya. Tut Wuri Handayani berarti seorang guru dapat membimbing peserta didik untuk berani berjalan di depan dan mimiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.
Berbagai prinsip-prinsip filosofi Ki Hajar Dewantara di atas memiliki makna yang utuh bahwa guru dan peserta didik harus saling berkolaborasi dalam proses pembelajaran untuk menciptakan pendidikan yang merdeka. Hal ini sejalan dengan gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengenai Merdeka Belajar. Esensi merdeka belajar sendiri adalah kebebasan berpikir oleh guru maupun peserta didik sehingga proses pembelajaran tidak lagi berpatokan pada menyelesaikan materi yang sama di seluruh Indonesia, tetapi lebih kepada mewadahi minat dan bakat peserta didik serta memfasilitasi siswa untuk berkembang.
Selain itu, proses pembelajaran dilaksanakan dengan bersandar pada memerdekan pemikiran dan potensi siswa melalui penerapan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran ini mengatur pembelajaran sesuai kemampuan, bakat, minat, dan kebutuhan dari setiap individu. Dengan demikian, peserta didik tidak lagi dituntut untuk seragam dan memiliki kemerdekaan untuk berkreasi serta berkreatif sesuai kodratnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H