Â
   Kita sering mendengar tentang kejahatan kekerasan seksual yang dimana sering terjadi  pada kaum perempuan yang membuat mereka menimbulkan rasa ke khawatiran pada dirinya. Maka dari itu pemerintah membuat RUU KUHP kekerasan seksual yang akan melindungi harkat dan martabat seorang perempuan. Akan tetapi pada akhir-akhir ini pemerintahan mengeluarkan surat edaran tentang penghapusan RUU KUHP kekerasan seksual.  Yang pada akhirnya menimbulkan pro dan kontra terhadap benak mahasiswa di berbagai universitas.
  Kekerasan seksual semakin menjadi kasus yang sangat masif diindonesia. Komnas perempuan menuliskan bahwa telah terjadi peningakatan terhadap kekerasan seksual.  Kekerasan seksual sendiri mendefinisikan bahwa aktifitas yang sangat merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan, maka dari itu di perlukan adanya hukum yang progresif. Pada pembukaan UUD 1945 alenia pertama menjelaskan bahwa undang-undang harus melindungi seluruh rakyat Indonesia.  jika RUU KUHP kekerasan seksual dihapuskan maka akan menimbulkan minimnya jaminan terhadap perlindungan harkat dan  martabat seorang perempuan dari tahun ke tahun.
  Meskipun dengan adanya produk-produk hukum baru yang mungkin bisa lebih tegas menangani masalah kekerasan seksual, namun kita tidak bisa menunggu lama mengenai rancangan produk-produk hukum baru itu, karena setiap tahunnya kekerasan seksual semakin meningkat dan harus segera di tangani. Banyak yang menyetujui tentang adanya penghapusan RUU KUHP kekerasan seksual, dengan alasan bahwa rancangan undang-undang kekerasan seksual adalah sebagai wujud pemenuhan hak asasi manusia yang telah di tuliskan di dalam sebuah konstitusi. Di dalam konstitusi mengenai hak asasi manusia sudah di jelaskan bahwa harus dilindungi, dan bentuk perlindungan itu sendiri dengan cara terbebasnya kasus kekerasan seksual, karena kasus kekerasan seksual adalah pokok pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
  Dalam  undang-undang dasar 1945 saat ini  yang mengatur tentang kekerasan seksual, hanya memiliki porsi yang sangat limit, sedangkan mengenai peraturan undang-undang kekerasan seksual sendiri memberikan aturan yang lebih luas dan lebih komprehensif terkait semua dimensi yang ada di masyarakat. Dalam kehidupan masyarakt bahwa hukum hadir untuk menjawab kebutuhan yang ada di dalam masyarakat, maka dari itu tertuanglah dalam undang-undang nomer 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, Dengan adanya tingkat seksual yang setiap tahunnya semakin meningkat, beberapa masyarakat juga ada yang setuju dengan adanya pembaharuan RUU KUHP kekerasan seksual, karena mereka beranggapan bahwa dengan adanya pusat pelayanan terpadu untuk korban dan dengan melakukan rehabilitasi khusus untuk pelaku.
  Mereka juga menginginkan pembentukkan pusat pelayanan terpadu yang ada di setiap provinsi, kabupaten dan juga kota, dengan adanya peraturan daerah sebagai pengganti penghapusan RUU KUHP kekerasan seksual, agar bisa memastikan keseriusan pemerintah dalam menjamin kesejahteraan masyaratnya untuk menghilangkan kekhawatiran terhadap kekerasan seksual, masyarakat juga memerlukan politik hukum anggaran dalam pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang sudah di tuangkan dalam undang-undang APBN dan perda APBD untuk mengalokasikan khusus tentang pelanggaran kekerasan seksual. Sedangkan  terhadap penegak hukum  juga di perlukan pelatihan, pembinaan dan penanganan khusus terhadap  kekerasan seksual yang berspektif Gender terhadap aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum juga harus memiliki sertifikat yang sah dan sudah di keluarkan oleh mahkama agung dalam menangani kekerasan seksual.
   Akan tetapi jika RUU KUHP kekerasan seksual tidak dihapuskan mungkin bisa menjadi hal yang sangat fatal, sebab kekerasan menurut RUU KUHP bersifat inkosisten dengan KUHP, karena KUHP hanya mengenal istilah kejahatan yang bersifat konkret, dimana kekerasan menunjukkan suatu perbuatan yang tidak membutuhkan sanksi pidana yang bersifat berat. Maka dari itu sebaiknya tidak perlu membentuk RUU KUHP yang baru, karena di khawatirkan Negara terjebak dengan aturan yang baru, namun miskin dari segi implementasi.
  Pada akhirnya dewan perwakilan daerah (DPR) RI sudah mengesahkan RUU KUHP tindak pidana kekerasan seksual melalui rapat paripurna, pada hari selasa tanggal 12 bulan april 2022, setelah enam tahun terus dibahas dan di jadikan pelemik oleh masyarakat. Di dalam Rancangan undang-undang tersebut sudah memuat tentang victim trust fund atau dana bantuan korban, hal ini sebagai awal dari langkah yang maju agar bisa memberikan perlindungan bagi warganya.
   Meskipun dinilai masih belum sempurna, RUU TPKS dianggap mampu menjamin kesejahteraan masyarakat dan mampu menggantikan RUU KUHP kekerasan seksual. RUU TPKS juga memiliki beberapa pencapaian yang lebih baik, karena berpihak kepada korban, selain itu ketentuan yang dilarang oleh komnas perempuan mengenai larangan pelaku kekerasan seksual mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlakunya proses hukum.
  Undang-undang terkait kekerasan seksual pertama kali di perbincangkan oleh komnas perempuan pada tahun 2012, dengan nama RUU penghapusan kekerasan seksual atau biasa di kenal dengan sebutan (PKS). Di tahun yang sama DPR juga sepakat memasukkannya ke dalam program legislasi nasional (prolegnas). Pada tahun 2017, DPR sempat menyepakati RUU PKS sebagai RUU taktik DPR, agar bisa mengelabui musuhnya. Pada tahun 2018 DPR memutuskan menunda pembahasan RUU yang di anggap masih controversial.
  Sampai 2020 pro dan kontra saling beradu argument hingga mewarnai perjalanan RUU TPS tersebut. Bahkan ada beberapa DPR yang tidak mendukung adanya RUU PKS masuk kedalam prolegnas 2021. Dalam perjalanan terbentuknya undang-undang kekerasan seksual, banyak sekali perlawanan dari masyarakat itu sendiri. Mereka menolak adanya RUU PKS, menurut mereka di dalam RUU PKS masih mempersalahkan suatu masalah mengenai persetujuan untuk melakukan hubungan seksual atau biasa di kenal dengan “ sexual consente, yang seharusnya dilarang melainkan.
  Beberapa masyarakat, pejabat, mahasiswa, dan juga partai-partai ikut menolak aksi peresmian RUU PKS, karena mereka menilai bahwa naskah akademik RUU mengenai kekerasan seksual atas dasar pilihan orientasi seksual yang berbeda. Tujuannya agar bisa lebih fokus pada tindakan kejahatan seksual yang meliputi; perkosaan, penyiksaan seksual, penyimpangan perilaku seksual, pelibatan anak dalam tindakan seksual, dan inses.
  Maka dari itu dapat di simpulkan bahwa penghapusan RUU KUHP kekerasan seksual masih belum bisa menjamin kesejahteraan masyarakat, sebab seharusnya masyarakat itu hanya butuh keadilan  dan bukti, bukan adanya berbagai pembaharuan undang-undang yang masih rancu dalam  melindungi harkat dan martabat seseorang, melainkan itu bisa membuat masyarakat akan timpang tindih terkait adanya berbagai macam undang-undang yang sudah di sahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H