Mohon tunggu...
Sholehudin A Aziz
Sholehudin A Aziz Mohon Tunggu... Dosen - Seorang yang ingin selalu bahagia dengan hal hal kecil dan ingin menjadi pribadi yang bermanfaat untuk siapapun

Perjalanan hidupku tak ubahnya seperti aliran air yang mengikuti Alur Sungai. Cita-citaku hanya satu jadikan aku orang yang bermanfaat bagi orang lain. Maju Terus Pantang Mundur. Jangan Bosan Jadi Orang baik. Be The Best.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budaya Bersih dan Senyum Itu Butuh Revolusi Mental

9 Oktober 2016   16:00 Diperbarui: 9 Oktober 2016   16:35 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata bersih dan senyum merupakan 2 buah kata yang mudah diucapkan dan sangat familiar di telinga kita. Tapi apakah semudah itu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? Jawabannya pasti tidak semudah itu, bahkan bisa dibilang sangat sulit menerapkannya.  

Faktanya, kita masih jauh dari budaya bersih dan senyum. Kita masih akrab dengan budaya jorok, kotor, dan kurang bersahabat dengan orang lain, kurang ramah dan kurang senyum.  

Tak sulit memberikan bukti otentiknya. Di lingkungan paling dekat dengan kita semisalnya, yakni di lingkungan rumah sendiri. Saya kira kita masih sering mengabaikan budaya bersih dan senyum. Seberapa seringkah kita membersihkan rumah kita dari kotoran dan debu. Seberapa seringkah kita membuang sampah pada tempatnya? Seberapa seringkah kita membersihkan toilet? Saya yakin masih banyak di antara kita yang belum peduli dengan kebersihan.

Atau coba lihat kondisi  tempat-tempat umum seperti di pasar, dijalanan dan fasilitas umum lainnya. Pasti dengan mudah kita temukan tumpukan sampah yang menggunung dan berbau kurang sedap dan toilet yang sangat jorok yang dipenuhi coretan-coretan makian yang sangat memalukan. Belum lagi bau pesing yang menyengat karena banyak orang yang kencing sembarangan.

Bukti lainnya adalah menggunungnya sampah ketika musim hujan tiba akibat kebiasaan buang sampah sembarangan. Akibatnya seluruh saluran air dan got tersumbat oleh kotoran sampah tersebut. Seluruh sungai-sungai akhirnya dipenuhi oleh sampah-sampah yang jumlahnya bisa mencapai puluhan ton sehingga menyebabkan banjir dimana-mana.

Begitu pula dengan budaya senyum sebagai cerminan sikap keramahan kita. Seberapa seringkah kita memberi senyuman kepada anggota keluarga kita? Seberapa seringkah kita marah dan cemberut kepada keluarga kita? Saya kira sebagian besar kita masih menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi, bila kita bertemu dengan para turis asing, apakah kita hadir dengan keramahan atau bahkan kita hadir dengan ketidakramahan? Saya yakin, banyak warga masyarakat yang kehilangan keramahan dan senyumannya dalam berinteraksi dengan warga dan orang lainnya. 

Saya pernah melihat sesama pengedara motor di jalan raya yang saling  bersenggolan, sejurus kemudian mereka  terlibat cekcok dan perang mulut  dengan saling memaki dengan nama-nama binatang seperti anjing dan monyet dan umpatan-umpatan tidak senonoh lainnya. Bahkan mereka hampir saja berkelahi bila tidak dilerai oleh sesama pengemudi lainnya. Sungguh ironis memang.

Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa semua masyarakat tahu dan faham akan dampak dan manfaat dari budaya bersih dan senyum itu sendiri. Namun mereka seringkali mengabaikannya. Selain berdampak kepada kesehatan masyarakat dan sikap keramahan kita, budaya bersih juga memiliki dampak yang signifikan bagi kenyamanan lingkungan kita. Ketika lingkungan sekitar kita bersih dan dihuni oleh orang-orang yang murah senyum penuh keramahan maka diyakini banyak orang yang akan betah dan nyaman berada di lingkungan kita, termasuk kunjungan para wisatawan manca Negara ke Negara kita tercinta ini.

Bagi saya, sesungguhnya budaya “bersih dan senyum” haruslah melekat dan menjadi kebiasaan wajib bagi setiap warga masyarakat tanpa terkecuali. Beragam himbauan dan ajakan akan pola hidup bersih dan senyum seringkali datang dari berbagai kementrian termasuk kementrian laut dan kemaritiman, namun seringkali kita abaikan. Faktanya berbanding terbalik dengan kenyataannya. Lagi-lagi kita masih sering akrab dengan budaya kotor, jorok dan minim senyum. Padahal ajaran agama (semua agama) juga menganjurkan adanya budaya bersih dan senyum kepada siapapun. Namun lagi-lagi belum sepenuhnya mampu kita laksanakan.

Mengapa Budaya Bersih dan Senyum Masih Langka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun