Mohon tunggu...
Sholehudin A Aziz
Sholehudin A Aziz Mohon Tunggu... Dosen - Seorang yang ingin selalu bahagia dengan hal hal kecil dan ingin menjadi pribadi yang bermanfaat untuk siapapun

Perjalanan hidupku tak ubahnya seperti aliran air yang mengikuti Alur Sungai. Cita-citaku hanya satu jadikan aku orang yang bermanfaat bagi orang lain. Maju Terus Pantang Mundur. Jangan Bosan Jadi Orang baik. Be The Best.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mario Teguh, Gugatan Keabsahan Anak dan Dugaan Penelantaran

14 September 2016   11:00 Diperbarui: 14 September 2016   11:18 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus yang menimpa Motivator Terkenal terus berlanjut hingga hari ini. Setelah kemunculan Ario Kuswinar, seseorang yang mengaku anak Mario Teguh ke public, maka beragam fakta pun bermunculan. Fakta terbaru adalah Mario Teguh meminta Ario Kuswinar melakukan tes DNA untuk membuktikan benar-tidaknya ia sebagai darag dagingnya. Fakta yang lain adalah sang motivator terkenal itu diduga tidak pernah mengurusi anaknya sejak belasan tahun yang lalu.

Dari fakta-fakta ini ada 2 hal yang bisa menjadi perdebatan. Pertama, Bila benar Ario Kuswinar bukan darah dagingnya, maka mengapa Mario Teguh tidak menempuh jalur hukum yakni menggugat keabsahan status anak kandungnya.

Opsi ini seharusnya diambil oleh Mario teguh untuk memastikan keabsahan status anak kadungnya. Hal ini diatur dalam UU Perkawinan di Pasal 44 yang berbunyi “(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

 Pasal ini memberikan informasi hukum bahwa untuk mencabut status anak kandung seperti yang sudah tertulis di dalam akta, prosesnya tidaklah mudah. Seseorang harus melalui mekanisme panjang dari yang paling dasar, yakni catatan RT/RW sampai ke pengadilan. Selain itu, ia harus dapat membuktikan adanya perzinahan dan anak tersebut berasal dari perzinahan tersebut. Jadi, sebelum adanya ketetapan pengadilan maka kewajiban seorang ayah masih melekat yaitu menafkahi anak tersebut dan memberikan kewajiban lainnnya sebagai orang tua.

Kedua, Tanpa adanya keputusan pengadilan yang inkrah maka tidak bisa seorang ayah meninggalkan anaknya begitu saja tanpa memberikan nafkah dengan alasan menganggap anak yang dilahirkan istrinya bukan anak kandungnya. Bila hal ini dilakukan maka patut diduga yang bersangkutan melanggar hukum.

Kita semua masih berharap, kasus ini bisa terang benderang, agar semua pihak bisa mengambil hikmah pelajaran tertinggi untuk senantiasa menjadi manusia-manusia yang baik dan bertanggungjawab, tidak hanya dalam perkataan semata tetapi juga perbuatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun