Di tengah Pandemi Covid-19, pemerintah mencoba mengeluarkan stimulus untuk menjaga stabilitas perekonomian masyarakat. Salah satu stimulus tersebut, yang sejak lama sudah digadang-gadang oleh Jokowi, adalah kartu prakerja. Sepintas lalu, rasanya sangat tepat jika kartu prakerja diluncurkan di saat pandemi covid-19 seperti sekarang ini. Sebab, banyak masyarakat yang terdampak covid-19 sehingga tidak bisa mendapatkan penghasilan harian karena skill dan kompetensinya terbatas.
Sayangnya, harapan itu nampaknya berbuah kekecewaan. Bagaimana tidak, kartu prakerja dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan. Ada beberapa alasan yang melandasi ketidaksesuaian kartu prakerja dengan harapan masyarakat, diantaranya:Â
Pertama, model pencairan dana. Semenjak kartu prakerja digaungkan dalam program kampanye Jokowi-Amin, masyarakat berharap agar nantinya model pencairan kartu prakerja mirip dengan dana Bantuan Langsung Tunai atau BLT. BLT pernah populer sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM. Alhasil, masyarakat menuding bahwa kartu prakerja adalah gaji bagi pengangguran. Faktanya bukan demikian.
Pemerintah tentu tidak ingin mengalokasikan dana yang disebut-sebut mencapai 20 Triliun, melalui kartu prakerja, dengan cara yang kurang efektif. Pemberian BLT bukanlah konsep yang relevan, mengingat kartu prakerja bukan merupakan alat untuk kompensasi atas sebuah kebijakan menaikkan harga yang dilakukan oleh pemerintah. Beda dengan BLT yang pernah diberikan saat pemerintah menaikkan harga BBM. Sehingga, cukup bijak rasanya ketika dana yang dicairkan oleh pemerintah melalui program kartu prakerja, bukan dalam bentuk BLT namun dalam bentuk program pelatihan padat karya. Dalam konteks ini, kisaran dana yang rata-rata diberikan kepada penerima bantuan kartu prakerja, sekitar Rp. 2-3 juta, diformulasikan ke dalam program pelatihan hingga pendampingan agar penerima kelak bisa mendapatkan pekerjaan.
Konsep tersebut sangat relevan mengingat banyaknya masyarakat yang terpaksa menganggur karena mereka tidak memiliki keahlian dan kompetensi sesuai dengan lapangan pekerjaan yang ada. Kedua, konten pelatihan. Masyarakat, yang didominasi oleh kelompok berpendidikan, mencibir program kartu prakerja karena menilai konten yang disajikan tidak cukup bermanfaat. Sebut saja, ada konten berjudul "Teknik Lengkap Menjual Apapun dengan Mudah" atau "Jago Bicara di Depan Umum Berpenghasilan Jutaan". Rasa-rasanya, jika hanya menjual konten dengan bahasa bombastis seperti itu, iklan harian yang muncul di kanal Youtube atau di surat kabar juga bisa.
Judul yang dibuat memang terkesan klik-bait, tapi masyarakat sekarang juga mulai cerdas dan tidak mudah tertipu dengan judul. Kalau hanya konten tersebut yang dijual oleh kartu prakerja dan dibeli oleh penerima kartu prakerja, lalu apa bedanya dengan konten yang dibagikan secara gratis oleh beberapa kanal di internet? Sebut saja ada udemy.com, online-learning.harvard.edu, courses.odx.org dan banyak lagi. Bahkan, jika dilihat dari segi konten, justru penyedia konten gratisan di luar sana, kualitasnya bisa disebut lebih bagus daripada konten yang dijual oleh mitra kartu prakerja.Â
Solusinya, mitra prakerja dituntut untuk bisa memberikan konten yang lebih menarik dengan kualitas terbaik. Atau, pemerintah perlu menjadikan lembaga penyedia konten gratisan yang diantaranya telah saya sebutkan, sebagai bagian dari mitra kartu prakerja karena kualitasnya telah teruji baik.
Ketiga, kompetensi penyedia konten. Masih berkaitan dengan poin kelemahan kartu prakerja yang kedua, pada poin ketiga ini titik tumpunya adalah kompetensi tutor atau fasilitator. Dari beberapa konten yang disediakan oleh mitra kartu prakerja, seperti Ruangguru, Pintaria, Mau Belajar Apa, Pijar Mahir maupun Sekolahmu, mayoritas fasilitator pengisi kontennya adalah praktisi di bidang masing-masing.Â
Tidak ada yang salah memang, sebab mereka adalah orang yang bisa diandalkan di sektor tersebut. Namun, jika melihat pada model ideal pelatihan prakerja, seyogyanya para fasilitator/tutor tersebut adalah mereka yang telah mendapatkan sertifikat melakukan pelatihan. Oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), fasilitator/tutor yang telah lulus uji kompetensi untuk melakukan pelatihan maupun menyediakan konten pelatihan, diberi gelar kompeten dalam skema/bidang Metodologi Pelatihan.
 Artinya, tidak sembarang orang bisa dan berhak memberikan pelatihan. Ada serangkaian proses yang harus dilalui agar lulus uji kompetensi dan menyandang gelar kompeten.Â
Dalam konteks ini, telah banyak fasilitator/tutor yang mendapatkan sertifikat dari BNSP, dan mayoritas dari mereka sekarang mengabdi di Balai Latihan Kerja (BLK) atau Lembaga Pelatihan Kerja (LPK). Sehingga, jika ingin menghasilkan konten yang sesuai, libatkan saja mereka yang telah mempunyai sertifikat kompeten dari BNSP tersebut. Keempat, mitra yang terbatas. Dari beberapa pemberitaan media, dapat ditarik garis kesamaan bahwa pemerintah ingin menarik beberapa start up unicorn asli Indonesia untuk masuk sebagai mitra kartu prakerja. Sebut saja Tokopedia, Bukalapak, OVO hingga Ruangguru, telah menjadi bagian dari mitra kartu prakerja.