Kakak saya di jogja dulu pernah mengeluarkan statement yang waktu itu bagi saya hanya sebuah kelekar saja. Dia menanyakan " Bagaimana coba caranya tahu, apakah kita masih di jogja atau sudah sampai purworejo, ketika menyusuri jalan jogja purworejo, tanpa melihat nama jalan atau plang penunjuk arah?" . Waktu itu saya jawabnya asal," kalau dah belok di rumah lah ". Tetapi kakak sayayang lain menjawab " Gampang, kalau sudah merasakan jalan ndak rata, bergerunjal, dan berlubang, itu berarti kita dah keluar dari jogja" .... Ha ha ha ha waktu itu kami tertawa bersama sama. Kakak saya yang menjawab ini, dulu dia suka pulang dengan mobil bok nya, yang bahkan di jalan halus saja sudah berasa klontangannya, apalagi di jalan kasar, makin rameee saja wkwkwkw.
Baru baru ini, saya jadi ingat kelekar ini, tatkala saya selepas isya, menuju stasiun kereta api di kutoardjo. Karena malam dan mendesak, dan sudah tak ada angkot lagi, maka dari rumah saya meminta tlng pada ojek untuk mengantar sampai stasiun, awalnya saya berpesan agar cepat supaya tidak ketinggalan kereta api. Tetapi begitu sampai di jalan dari Butuh sampai Kutoardjo , saya mengurungkan niatnya. Saya bilang sama pak ojek " Pak, pelan pelan saja, ndak usah nyalip nyalip, lewat pinggir saja". Bagaimana tidak, wuaaaaaa, jalannan di beberapa titik seperti dari smp N Butuh sampai Kutoardjo, jalan remang remnang, begitu dari Dlangu sampai Kutoardjo malah jalannya makin gelap gulita. Dan parahnya jalan berlubang besar besar baik di pinggir ataupun di tengah jalan.
Jalan dari SMP Butuh ke Kutoardjo ini memang langganan rusak, hampir setiap musim penghujan sering sekali terendam air dikarenakan banjir dari air yang meluap dari sungai di dlangu, akibatnya menggerus aspal jalan raya. Hal ini membuat kerikil kerikil jalan raya menjadi bercerai berai dan mengakibatkan lubang lubang dalam di jalan raya. saya tak pernah habis pikir pada para pembuat kebijakan tentang jalan raya ini, berkali kali dan bertahun tahun sudah paham, kalau jalan ini, sering kali akan tergenang air dan tergerus, tetapi yo tetap saja diperbaikinya dengan mekanisme yang sama. Ndak pernah ada solusi teknologi baru untuk memperbaiki jalan ini agar ketika musim penghujan datang jalan tetap halus mulus.
Bahkan , jalanan yang berlubang kadang hanya diperbaiki dengan menembel secara asal yang membuat jalan menjadi bergerunjal dan seperti wajah yang jerawatan banyak pool dan besar besar. Sangat ndak elok dipandang mata, apalagi dirasakan oleh mesin mesin kendaraan bermotor. Dulu adik saya yang terkecil bilang, coba kalau jalan ini seperti pengelola **pu*** , weiisshhh... jalan berlubang dikit, paginya dah ndak nampak... halus mulus, ndak ada tembel tembelan ndak jelas dan berlarut larut berlubangnya.
Pokok utama permasalahan adalah maslah keselamatan, jalan ini adalah jalan utama, jalan yang dilalui oleh para pemudik tatkala mudik. Jalan ini juga merupakan jalur utama, walaupun mau itu jalan utama ataupun jalan tak utama , tentunya setiap jalan punya hak sama agar mulus .
Beberapa kali di dekat rumah, motor terjatuh karena rodanya masuk lubang di jalan, apakah sudah ada nyawa yang menjadi korban, saya belum tahu jelas, tetapi jikapun belum, apakah harus menungfgu nyawa melayang baru bergerak memperbaiki.
Saya tak peduli perdebatan, apakah jalan ini jalan propinsi, jalan kabupaten, atau jalan nasional. Bapak Gubernur, Bapak Bupati, atau pun Bapak dirjen perhubungan jalan raya, sesekali bolehlah bapak menggunakan motor di malam hari menyusuri jalan ini. Maka bapak bapak akan merasakan bagaimana keselamatan nyawa bapak bisa terancam , akibat rusaknya jalan, sehingga bapak bisa merasakan apa yang rakyat bapak alami, yang pekerjaannya setiap hari naik motor melalui jalan ini. Atau bapak bisa merasakan bagaimana sopir sopir angkot menjadi harus menambah lebih besar cadangan biaya perbaikan mobilnya akibat rusaknya jalan.
tetapi pesan saya, ketika bapak bapak meninjau, tak usahlah disebarkan dulu beritanya, sambil membawa wartawan, waaahhhhh yang ada nanti jalan sudah halus mulus, atau ndak jalanan malah ramai dimana mana di blokir alias disterilkan, itu justru mengganggu mereka mereka yang cari nafkah. Tak usahlah bapak bapak risau ketika tak diberitakan media, dan akhirnya tak terlihat bekerja di mata media, rakyatlah yang merasakan kerja kerja bapak dan Allah Maha Melihat, ndak melalui koran atau televisi.
Kesunyian dalam bekerja ini Bapak bapak bisa mencontoh khalifah Umar Bin Khatab, yang suka jalan jalan di kala petang meninjau langsung rakyatnya , cukup dengan satu sahabatnya, dan tidak dikenali rakyatnya. Tak harus pun bapak bapak menyamai persis seperti khalifah yang sembunyi sembunyi tanpa satupun yang tahu kecuali satu sahabatnnya , menggendong sendiri gandum di punggung karena mendengar seorang ibu yang tidak bisa makan. Atau bapak bapak bisa juga mencontoh Ali Bin husein, yang mana penduduk Madinah merasa heran karena terus menerus mendapat sedekah misterius, sampai meninggalnya Ali bin Husein. Dan kemisteriusan ini baru terkuak tatkala Ali Bin husein Meninggal , tatkala di mandikan jenazahnya, pundak dan punggungnya menghitam, dikarenakan bekas memanggul gandum untuk disedekahkan.
Saya minta maaf ya Pak, jika ada yang kurang berkenan, kasihan para pelajar yang pulang malam naik motor dikarenakan sepulang sekolah les dulu dan tidak ada angkutan lagi di sore hari, kasihan juga mereka yang bekerja lalu lalang tiap hari, ataupun mereka para musafir yang lewat jalan ini yang sudah ditungguin keluarganya di rumahnya.
Semoga Allah SWT selalu menjaga Bapak bapak dan menambahkan keberkahan hidup , aamiin.
Dan akhirnya anekdot perbedaan Jogja Purworejo bisa dibantahkan .... :D
Salam
Shoi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H