Mohon tunggu...
Shofwan Muhammad Rasyid
Shofwan Muhammad Rasyid Mohon Tunggu... -

BOGOR ABRICULTURAL UNIVERSITY

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kilas Balik Pertanian Indonesia

26 Agustus 2012   11:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:18 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan suatu Negara yang terdiri dari kumpulan pulau-pulau. Pada tahun 2004, Indonesia memiliki sekitar  17.504 pulau, dan hanya sekitar 6000 pulau saja yang dihuni oleh manusia. Wilayah Indonesia pun mendapatkan suatu keuntungan dengan terletaknya garis 0 derajat garis khatulistiwa, yang terletak di wilayah Pontianak Kalimantan Barat. Hal ini menyebabkan iklim negeri ini tropis, yang mengakibatkan intensitas  panas dan hujan yang stabil di setiap tahunnya.

Dalam segi wilayah, Indonesia merupakan suatu Negara yang sempurna. Indonesia memiliki wilayang lautan yang amat luas, begitu juga dengan wilayah daratannya.  Dari segi lahan, Indonesia dianegerahi lahan yang subur, bentuk tanah yang ber-topografi,  dan suhu yang cocok untuk bertanam sehingga  berbagai macam jenis tumbuhan dapat tumbuh di negeri ini. Dari segi perairan, setidaknya 2/3 wilayah negeri ini adalah lautan, belum lagi mata pegunungan yang jumlahnya tidak lagi bisa dihitung,   merupakan suatu nikmat yang tidak terkira dari allah swt.

Penjabaran tersebut  cukup membuktikan bahwa negeri yang kita tinggali ini adalah negeri yang subur dan makmur, baik dari segi pertanian maupun kelautannya. Karena itulah negeri ini dijuluki dengan negara Agraris. Negeri  yang mayoritas penduduknya adalah nelayan dan bertani. Mustahil rasanya jika kita berjalan dari wilayah Sabang hingga Marauke,  kita tidak menemukan satu wilayahpun yang tidak terdapat perkebunan, persawahan, peternakan, tambak, atau lokasi penangkaran ikan.

Pada zaman dahulu, pertanian lebih identik dengan usaha bercocok tanam dan beternak saja. Namun dengan semakin majunya era teknologi  dan informasi,  sekarang pertanian mencakup seluruh  kegiatan yang berhubungan dengan  bertani dan bercocok tanam, peternakan, perikanan, sumber daya lahan, hingga seluruh teknologi yang terdapat didalamnya.

Pertanian memang sudah ada sejak zaman neolitikum. Warisan yang sudah diwariskan secara turun-temurun oleh para manusia pra-sejarah. Pertanian pada zaman dahulu identik dengan food producing atau menghasilkan makanan. Food producing yang dimaksud adalah dengan cara menanam umbi-umbian sebagai bahan pokok makanan manusia pra-sejarah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kini pertanian menjadi suatu komoditi tersendiri, yang memiliki pangsa serta nilai ekonomi  baik dalam skala ekspor-impor maupun dalam sekala memenuhi  kebutuhan manusia. Hal ini terbukti dari perbandingan jumlah kebutuhan akan produk pertanian terhadap jumlah populasi manusia saat ini,  bagaikan deret hitung berbanding dengan deret jumlah. Sehingga, tentu saja pertanian merupakan suatu bidang yang menjanjikan dari segi ekonomis.

Sebagai contoh, pada tahun 1979 sepotong ayam dihargai Rp 50. Sekarang pada tahun 2012, sepotong ayam bisa dihargai hingga Rp 10000. Itu artinya, dalam jangka waktu kurang dari 35 tahun harga ayam melonjak 200 kali lipat. Bisa kita bayangkan berapa harga sepotong ayam sepuluh atau seratus tahun lagi bukan? Tentu saja pertanian menjadi sebuah nilai ekonomis tersendiri apalagi ketika kita bisa berkecimpung dalam dunia pertanian tersebut.

Namun, pernahkah terlintas dipikiran kita tentang betapa kompleksnya permasalah pertanian di negeri kita ini?  Mulai dari permasalahan kurangnya  ketersidiaan lahan, mahalnya harga bibit, infrastruktur yang kurang memadai,  penggunaan bahan kimia berbahaya, kurangnya Sumber Daya Manusia, peralatan yang masih tradisional, target pemerintah tanpa pernah melihat dampak yang ditimbulkan, hingga kesejahteraan para petani dan nelayan yang semakin hari semakin memburuk. Permasalahan inilah yang tidak pernah bisa diselesaikan oleh para pemimipin kita, mulai  dari zaman Indonesia merdeka hingga kini  setelah 10 tahun berjalannya reformasi, Indonesia masih berkutik didalam belenggu  permasalah yang sama.

Dalam sebuah Diskusi Publik Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) bertajuk jihad mengakkan kedaulatan pangan di  Indonesia. Mantan ketua MPR Amien Rais mengatakan,  ada kesalahan fatal di setiap masanya, selama ini masalah pertanian tidak pernah menjadi masalah utama yang menjadi prioritas dalam setiap pemerintahan yang ada, padahal sebagai Negara agraris seharusnya pemerinta tidah menganak tirikan masalah pertanian.

Tajuk tersebut membuktikan, sebenarnya masih ada orang yang peduli dan tergerak hatinya untuk membenahi pertanian di negeri ini. Namun tetap saja setiap usaha baik yang akan dilakukan pasti ada halangannya.

Sebagai contoh,  ketika harga kedelai melonjak tinggi dipasaran internasional akibat dampak kekeringan dan gagal panen yang  melanda sebagian besar wilayah Amerika Serikat. Masyarakat begitu sensitive, begitu juga media massa yang sangat gencar memberitakan perkembangan  harga kedelai di pasaran. “Padahal dengan naiknya harga kedelai,  bukannya malah menguntukan para petani kedelai di Indonesia. Dengan naiknya harga kedelai dunia justru para petani Indonesia akan lebih tertarik untuk menanam kedelai, hal itu tentunya  akan menambah penghasilan mereka.” Papar menteri pertanian RI.

Pada masa Orde-Baru, mungkin rakyat Indonesia boleh berbangga diri karena di saat itulah Indonesia mampu menjadi Negara swasembada beras, dan menjadi satu-satunya Negara yang ekonominya maju hanya dari hasil pertanian, hingga PBB memberikan piagam kepada presiden Indonesia sebagai negara swasembada beras. Namun dibalik kesuksesan itu semua , terdapat banyakk permasalahan yang tidak diketahui masyarakat luas. Semakin tertindasnya kesejahteraan petani, penggunaan senyawa kimia secara berlebihan, serta aturan yang ditetapkan pemerintah membuat petani  tidak dapat mengunakan lahan semaksimal mungkin, serta tidak adanya pemikiran jangka pandang membuat gerakan yang dinamakan revolusi hijau ini bagaikan senjata makan tuan bagi negeri kita sendiri.

Berbagai permasalahan pertanian tengah melanda negeri ini. Negeri yang 46 juta penduduknya adalah petani ini membutuhkan pemuda-pemuda yang tergerak jiwa dan pikirannya untuk membangun kembali pertanian Indonseia dari titik.  Sekedar guyonan, jika kita bertanya pada seluruh pemuda yang ada di negeri ini,” adakah diantara kalian, para pemuda Indonesia yang ingin menjadi petani?” mungkin hanya ada beberapa orang yang mengangkat tangannya lalu berkata, “saya ingin menjadi petani”, atau malah mungkin tidak ada satu orangpun yang mengangkat tangannya, karena mereka malu atau takut akan kesejahteraan petani yang tidak kunjung membaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun