Mohon tunggu...
Shofwan Karim
Shofwan Karim Mohon Tunggu... Dosen - DR. H. Shofwan Karim Elhussein, B.A., Drs., M.A.

Shofwan, lahir 12 Desember 1952, Sijunjung Sumatera Barat. Suku Melayu. Isteri Dra. Hj. Imnati Ilyas, BA., S.Pd., M.Pd., Kons. Imnati bersuku Pagar Cancang, Nagari Balai Talang, Dangung-dangung, 50 Kota Sumbar. Shofwan, sekolah SR/SD di Rantau Ikil dan Madrasah Ibtidayah al-Hidayatul Islamiyah di Sirih Sekapur, 1965. SMP, Jambi, 1968. Madrasah Aliyah/Sekolah Persiapan IAIN-UIN Imam Bonjol Padang Panjang, 1971. BA/Sarjana Muda tahun 1976 dan Drs/Sarjana Lengkap Fakultas Tarbiyah IAIN-UIN Imam Bonjol Padang,1982. MA/S2 IAIN-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991. DR/S3 UIN Syarif Hidayatullah-UIN Jakarta, 2008.*

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prof. Dr. Buya H. Ahmad Syafii Maarif, M.A., Hidup dan Perjuangan Kemanusiaan

20 Februari 2023   10:43 Diperbarui: 20 Februari 2023   10:47 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Buya Syafii pendidikan harus substantif, yaitu proses terencana yang diupayakan untuk menciptakan apa yang dia sebut sebagai "manusia baik," yaitu mereka yang (a) cerdas, (b) merdeka dan (c) tulus. Tentang ini Buya Syafii menulis" Pendidikan yang lebih berorientasi kepada bentuk formal, tetapi mengabaikan substansi untuk menciptakan manusia baik yang cerdas, merdeka dan tulus hanya akan melahirkan para penganggur, sekalipun menyandang sederetan titel." (Syafii Maarif, 2015, hal 39).

Dalam sudut pandangnya sebagai muslim, Buya Syafii melihat bahwa pendidikan berhubungan erat dengan upaya untuk kontekstualisasi ajaran Islam di Indonesia. Ia meyakini bahwa agar Islam menjadi rahmat dan solusi bagi semua pihak, dapat menjadi jalan keluar dari masalah-masalah kemanusiaan, maka umat Islam harus memiliki kemampuan ijtihad. Ia menulis:

"Untuk menjadikan ajaran Islam sebagai sesuatu yang hidup dan menghidupkan pada masa kita tidaklah mungkin jika kita tidak berani menilai secara kritikal seluruh pemikiran Muslim masa lampau yang memang kaya itu. Dengan keberanian pula kita ambil mana yang relevan dengan masa dan kepentingan kita stelah kita uji dengan ajaran Alquran dan Sunnah berdasarkan hasil ijtihad kita dengan merujuk kepada kedua sumber pokok itu" (Syafii Maarif, 2015, hal 270).

Pendidikan dalam perspektif Islam menjadi sangat penting bagi Buya Syafii dalam konteks ini. Pendidikan Islam mesti memberi pengetahuan dan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis. Ia menulis:

 "pekerjaan ijtihad tidak diragukan lagi sebagai pekerjaan besar yang memiliki cakrawala pandangan yang luas, dalam dan cerdas... Sebagai kunci penting untuk kerja ijtihad itu, maka pengetahuan bahasa Arab sangatlah mutlak di samping pengenalan terhadap rekam-jejak sejarah Islam sejarah masa dini sampai sekarang dengan sikap kritikal." (Syafii Maarif, 2015, hal 39).

Buya Syafii juga memandang pendidikan dalam skala yang lebih luas, yaitu mencakup semua hal fundamental bagi kemajuan bangsa. Ia merasakan keresahan yang mendalam tentang kualitas Umat Islam sebagai umat mayoritas. Umat yang seharusnya menjadi lokomotiv kemajuan bangsa, justru berada dalam keadaan sebaliknya. Ia menulis

"Sudah sejak lama kita merisaukan kesenjangan yang parah antara jumlah mayoritas umat Islam Indonesia dan kualitas kehidupan mereka yang tertinggal jauh di buritan pada hampir semua bidang, khususnya di bidang ilmu, teknologi dan ekonomi. Oleh sebat itu, untuk melangkah ke depan, kulaitas ini harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemimpin Islam Indonesia agar kesenjangan itu secara berangsur dan sadar dapat dipertautkan. Posisi mayoritas tunakulitas akan menjadi beban Islam sebagai agama yang ingin membangun peradaban asri yang berkualitas tinggi di muka bumi" (Syafii Maarif, 2015, hal 224).

Lebih jauh, Buya Syafii adalah salah satu tokoh besar yang menyerukan agar dihentikannya dikotomi pendidikan agama dan umum dan mengusulkan penerapan konsep the Unity of Knowledge (kesatuan ilmu pengetahuan). Ia menulis:

"Dalam konsep ini, apa yang dikenal sebagai konsep pendidikan sekuler dan konsep pendidikan agama telah kehilangan relevansinya. Seluruh cabang ilmu pengetahuan dalam konsep ini bertujuan untuk membawa manusia mendekati Allah, sebagai sumber tertinggi dan segala-segalanya. Dalam ungkapan lain, sebutan serba Islam untuk berbagai cabang ilmu pengetahuan tidak diperlukan lagi, seperti kedokteran Islam, psikologi Islam dan sebagainya" (Syafii Maarif, 2015, hal 231).

Jika ditelusuri lebih dalam, pendidikan dalam perspektif Buya Syafii adalah untuk menjaga harkat dan martabat manusia Indonesia (Syafii Maarif, 2015, hal 225-230). Ia menekankan bahwa bangsa Indonesia tidak akan mampu mencapai posisi terhormat di tengah pergaulan bangsa-bangsa dunia tanpa sistem pendidikan yang berkualitas. Ia merisaukan HDI (Human Development Indeks) Indonesia yang berada pada posisi yang sangat bawah. Ia menghimbau agar pendidikan dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia, tanpa mengorbankan kualitas. Peran guru juga menjadi perhatian. Bagi Buya Syafii, guru harus sejahtera dan berkualitas, dan bertanggung jawab.

Ia juga menghimbau agar pemerintah betul-betul memperhatikan sekolah-sekolah swasta karena telah membantu pemerintah. Baginya, bantuan terhadap sekolah swasta adalah bentuk tugas pemerintah dalam menjalankan perintah UUD. Dengan cara berpikir seperti ini, pemerintah tidak boleh berada pada posisi jumawa karena merasa telah memberikan bantuan. Tentang ini ia menulis:  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun