Kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson (1723-1816) Â mengembangkan wacana civil society, dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, filsuf Scotlandia ini lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Pemahaman ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok.
Ketiga, berbeda dengan pendahulunya, pada tahun 1792 Thomas Paine (1737-1809) memaknai wacana civil society sebagai suatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagain anitesis negara. Filsuf Inggris ini bersandar pada paradigma, bahwa  peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka, konsep negera yang absah, menurut pemikiran ini adalah perwujudkan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama.
Keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M).
Dalam pandangan ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan.  Pemahaman ini kelihatannya sebagai  reaksi atas pandangan Paine. Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara.
Pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryass Rasyid (73), erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi Eropa. Pertumbuhannya ditandai oleh pejuang melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
Kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859). Â Bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, ia memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurutnya kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.
Agaknya pada fase kelima inilah civil society sampai sekarang menjadi pilar demokrasi. Seperti disinggung Dewi Fortuna Anwar (64) peran warga sipil ini sebagai advokasi, pemberdayaan dan pengawas jalannya demokrasi  (Detik, 2011). Dalam makna mempengaruhi kebijakan public, memberdayakan peran public dan menjadi sosial kontrol di luar parlemen.
Civil society menjadi populer di ujung masa Orde Baru Indonesia. Sebagai mana di  negara mayoritas Muslim, konsep civil society sering dirujuk sebagai inspirasi masyarakat madani.
Â
Madani terambil dari kosa kata Madinah. Empat belas abad lalu, telah berdiri sebuah masyarakat yang mampu melakukan lompatan besar peradaban dengan berdirinya sebuah komunitas yang bernama Masyarakat Madinah. Negara-Kota (City-State) Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Rasulullah SAW (Umari, 1999) mengubah urat tunggang dan  struktur masyarkat Madinah.