Presiden Joko Widodo baru saja mengumumkan menteri-menterinya di Pelataran Istana Presiden, Jakarta, Rabu (23/10). Dari nama-nama menteri yang diumumkan, ada dua orang yang memiliki darah Minang.
Pertama, Jenderal (Purn) Fachrul Razi. Orangtua atau ayahnya dari Matur, Kabupaten Agam. Soal hubungan darah ini secara terbuka disebut oleh Ketua Nasional Bravo V Pemenangan Jokowi-Ma'ruf itu pada Agustus 2018 dalam suatu kesempatan di depan Bang Fahmi Idris, Firdaus HB, Uda Basril Djabar dan saya di Posko Bravo 5 Menteng, Jakarta.
Kedua, Nadiem Makarim. Orangtua laki-lakinya berasal dari Kota Padangpanjang, seperti ditulis beberapa sumber. Facrul Razi dipercaya menjadi Menteri Agama dan Nadiem diumumkan menjadi Mendikbud.
Belakangan berdasarkan Wikipedia, nama Arifin Tasrif, mantan Dubes RI di Jepang dan mantan dirut salah satu BUMN yang kemarin diangkat menjadi Menteri ESDM. Sebelumnya, ada Arcandra Tahar sebagai wakil menteri ESDM. Diketahui Tasrif berdarah Minang perantauan. Apa sukunya, belum diketahui.
Berpijak dari diskursus Brigjen Purn almarhum Syafrudin Bahar yang mengemukakan Minang mengakui pula sistem kekerabatan patrilineal dan parental. Namun, bila diacu dari sistem kekerabatan matrilineal, memang bisa disebut tidak ada menteri yang langsung berasal dari Minang, seperti kabinet sebelumnya, muncul nama Arcandra Tahar dan Andrinof Chaniago.
Apalagi sejak zaman Soekarno, Soeharto dan sesudahnya sampai kabinet sebelum ini, tokoh Minang yang akar matrilineal itu selalu terpajang paling kurang dua sampai empat orang. Tentu waktu itu dan boleh jadi sekarang, tidak ada pertimbangan sentimen ras dan identitas, tetapi kompetensi lebih diutamakan, serta banyak sedikitnya dukungan politik dan pertimbangan lain kuat pula.
Maka, sekarang kalau tidak seperti masa lalu itu tadi, rasanya dalam politik menyusun kabinet, keadaan sekarang ini sangat wajar. Jokowi-Ma'ruf kemarin hanya dapat suara 14,08 persen saja di Sumbar.
Perolehan suaranya melorot lebih 50 persen dibandingkan Pilpres 2014; Jokowi-JK. Oleh karena itu, kita masyarakat Minang harus menerima ini sebagai pembelajaran politik dan tak perlu kecewa. Tinggal kita laksanakan "ambiak contoh ka nan sudah, ambiak tuah ka nan manang."
Harus dimaklumi bahwa tidak munculnya tokoh Minang di kabinet Indonesia Maju ini bukanlah kemunduran bagi Minang dan Sumbar. Politik memang amat penting, tetapi bukan satu-satunya penyumbang porsi terbesar kemajuan suatu kawasan dan komunitas, serta masyarakat lokal-regional.
Peristiwa kali ini hendaknya menjadi pembelajaran politik. Masyarakat Minang harus lebih rasional dalam memilih, tidak emosional. Di dalam politik, ada baiknya kita mengendalikan sentimen agama dan ras. Dalam artian tetap kokoh akidah, ibadah dan muamalah.
Tidak hanya menyeret perasaan politik identitas dari mana asal, tetapi mereka yang profesional. Jadilah pemilih rasional. Melihat tokoh yang dipilih bisa membawa kemajuan atau tidak.