Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Selanjutnya Ibrahim AS berdoa, di antaranya QS, Ibrahim, 14: ayat 35,
Dan [ingatlah], ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini [Mekah], negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (35)
Ya Tuhan-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(36)
Doa Nabi Ibrahim itu harus kita rekontruksi.  Berhala dalam masa 4500 tahun lalu itu adalah berhala benda seperti batu, patung yang dibuat dan hal-hal yang tampak secara fisik bersosok benda. Sekarang berhala itu menjadi nyata dan abstrak dalam wujud dan firmat yang lain. Ini berhala dan syirik modern. Tak kurang merusak akidah-tauhid. Berhala adalah  sesuatu yang menjadi idola, sangat menyenangkan dan memberi kebahagian yang dapat melupakan Allah swt.Â
Bila manusia modern itu  senang dengan harta dan uang hasil korupsi, itu artinya berhalanya adalah uang dan kekayaan atau materialistik. Bila mereka  senang berselingkuh, itu artinya berhala mereka adalah nafsu-berahi. Bila mereka  senang pameran diri, harta dan kegantengan,  memajang baliho di mana-mana untuk kepentingan duniawi, politik sesaat bukan kepentingan bangsa,itu artinya berhalanya adalah pencitraan. Bila mereka  mementingkan kebebasaan di luar koridor  agama, itu berhalanya dalah liberalisme. Bila mereka  berhaji, dan umrah berpuluh kali, tetapi pulangnya kelakuan, akhlak dan ibadah tidak lebih baik, itu artinya berhala mereka  adalah sekularisme, memisahkan hidup duniawi dan ukhrawi, memisahkan ibadah dengan prilaku kehidupan.
Diuji.Keimanan dan tauhid tidak akan kokoh kalau tidak diuji. Maka Ibrahim, AS., diuji  atas keyakinan tauhidnya itu. Secara eksternal mengkritisi ayah kandungnya dan masyarakatnya dengan  menghancurkan berhala-hala. Resikonya beliau dilemparkan ke api menyala besar,  hidup-hidup oleh Raja Zalim Namrud, Allah menyelamatkannya.
Secara internal ke dalam dirinya, ujian yang paling berat adalah meninggalkan isterinya Siti Hajar di negeri yang jauh.  Dari Hebron atau Syam, sekarang Palestina tersebut mereka ke Selatan dan sampai di  Faran, lokasi Mekah sekarang.  Siti Hajar adalah  sosok perempuan yang amat tabah. Ibu yang shalehah ini rela bermukim di tempat yang jauh dari negerinya  untuk melahirkan si buah hati. Ketika bayi Ismail lahir, beliau berlari mencari air untuk minum dan kemudian diharapkan dengan lepas dahaganya itu akan ada produk air susunya  untuk kehidupan anaknya.
Sejarah mengkisahkan kepada kita, itulah sebabnya Siti Hajar berlari-lari kecil antara dua bukit yang belakangan disimbolkan dalam ibadah haji sebagai Sai' antara shafa dan marwa dan tak jauh dari situ muncullah sumber  air zam zam yang sampai sekarang tak pernah kering itu.
Oleh para hukuma'peristiwa ini dipahami sebagai manifestasi atau pelahiran semangat, keuletan dan kesungguhan untuk kehidupan. Orang sekarang menyebutnya  ujud etos kerja. Seorang wanita, seorang ibu yang tidak pernah hanya pasrah kepada nasib, tetapi berusaha kian kemari. Tidak putus asa dan tidak kehilangan akal. Ia  keluar dari tempatnya mencari sesuatu untuk kehidupan anaknya. Dia tidak sekedar menunggu hujan dari langit tetapi berlari mencari rezeki.
Puncak dari ujian Allah itu adalah perintah mengorbankan putranya sendiri, Ismail AS. Ini dilukiskan al-Alqurn di dalam surat ashhafaat (37) : 100-111. Khusus untuk mengorbankan anaknya dilukiskan pada ayat  102: