Kewajiban perpajakan yang dibebankan pada seluruh warga negara dan seluruh aktifitas ekonomi, nampaknya menjadi polemik tak berkesudahan jika membahas mengenai kepatuhannya. Masyarakat diwajibkan membayar sejumlah dana kepada negara untuk menyokong keberlangsungan operasional negara, tanpa mendapat imbal balas secara langsung. Meskipun imbal balas yang dimaksud kembali kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas umum dan pelayanan publik, tolak ukur mengenai hal ini masih rancu.
Pemerintah terus mendorong kepatuhan pajak masyarakat dengan berbagai program, hingga ancaman sanksi dan denda. Tetapi menjadi pertanyaan apakah kepatuhan pajak seratus persen adalah sesuatu yang mungkin? Bagaimana dengan ketercapaian pengelolaan pajak seratus persen? Apakah ada keterbukaan terhadap publik mengenai hal ini?
Pemerintah menerapkan sistem pemungutan pajak self assessment yang mengharuskan wajib pajak menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.Â
Di sisi lain, pemerintah juga bersikap skeptis terhadap hasil penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak masyarakat. Meskipun sikap skeptisime adalah benar sebagai bentuk kehati-hatian, acapkali keadaan ini menimbulkan pertanyaan publik apakah sebenarnya pemerintah percaya atau merupakan celah untuk memperoleh penerimaan lebih banyak. Mengatakan skeptisisme tanpa kecurigaan adalah sesuatu yang hampir mustahil.
Isu FilsafatÂ
Immanuel Kant memberikan pandangan mengenai istilah modern-kontemporer dalam filsafat barat serta keterkaitannya dengan pengetahuan atau ilmu pengetahuan.Â
Immanuel Kant menghilangkan penggunaan akal secara dogmatis tanpa kritis. Hal ini menyebabkan terjadinya dikotomi (pembagian) antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Hal ini memberikan ruang bagi ilmu pengetahuan untuk dikembangkan dengan lebih terbuka bebas. Demikian pula halnya dengan filsafat.
Terdapat tiga aliran utama yang dominan berpengaruh pada pemikiran filsafat barat kontemporer. Pertama, tipologi strukturalisme, yaitu pemusatan perhatian pada masyarakat sebagai sistem. Tipe ini menggambarkan fenomena-fenomena tertentu sebagai suatu kenyataan sosial yang menyeluruh. Tipologi kedua yaitu post-marxisme sebagai perluasan atau penjelasan lebih lanjut dari marxisme.Â
Akan tetapi post-marxisme memiliki corak pemikiran dan karakter yang sangat berbeda dari marxisme. Tipe ketiga yaitu post-strukturalisme yang mewarnai pemikiran dengan aneka ragam pemahaman dari berbagai sisi. Tipe ini juga memberikan tinjauan atas tulisan sebagai sumber subjektifitas dan kultur yang bersifat paradoks, yaitu sebelumnya dianggap sebagai hal yang bersifat sekunder.
Bambang Sugiharto dalam tulisannya mengungkapkan bahwa terdapat tiga permasalahan utama yang dihadapi filsafat kontemporer. Ketiga isu tersebut yaitu permasalahan mengenai berakhirnya filsafat, pluralisme dalam hal rasionalitas, serta permainan bahasa dan kematian epistimologi. Filsuf barat pada umumnya mengunggulkan logosentrisme, yaitu suatu anggapan bahwa yang pertama dicetuskan merupakan pusat kebenaran. Menurut logosentrisme, pandangan yang muncul berikutnya hanyalah tambahan atau pelengkap dari kebenaran yang pertama. Jacques Derrida mengumandangkan kritik atas pemikiran tersebut.