Pada kaki dan pijakan yang kami hidupkan sendiri
       Dari peluh dan hari-hari penuh
       Pada pundi-pundi yang kami kumpulkan
       Satu demi satu dari kekosongan semula
       Pada tanah dan air yang kau sebut pertiwi
       Ia adalah ibu
       Bagi putra putri yang lahir dalam Rahim bangsa
       Pada rupiah, dalam pundi-pundi yang dipenuhi dari peluh, nestapa, dan ketidakpastian yang diperjuangkan
       Putra pertiwi dalam barisan dan surat-surat
       Meminta isi dari pundi-pundi yang kami pelihara,
       Ia sebut kami berhutang
       Untuk menghidupi tanah dan air, dalam udara yang kian mencekam, bagi kami untuk berjalan dalam hidup kami sendiri
       Pada taman bunga yang ia sebutkan harus disiram dengan merah-merah rupiah, untuk dapat kami nikmati keindahan     pandangannya
       Pada tol-tol yang berdiri, menjadi ruang, yang ia sebutkan membawa kami mengisi pundi-pundi
       Pada halte-halte yang tidak lagi terawat, yang ia sebutkan membawa kami dari pintu ke pintu
       Tetapi kami, bahkan tertatih mengisi kehidupan, apalah menikmati pandangan yang indah itu
       Putra pertiwi memeriksa perhitungan pundi-pundi kami, jika lebihnya tak lagi dapat kami minta
       Putra pertiwi memberi kami surat-surat, yang harus dibalas dengan merah-merah rupiah
       Pada bagian-bagian yang tidak selalu dapat kami mengerti, kata-kata persentase selalu muncul menarik isi pundi-pundi
       Demikian bagaimana tanah dan air dirawat, atau putra pertiwi yang kami hidupi?
       Kemudian masing-masing dari kami melanjutkan hidup lagi, mengisi pundi-pundi dalam ruang-ruang yang masih tersisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H