Mohon tunggu...
Shofiyatul Ummah
Shofiyatul Ummah Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Comparative law student

Mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Budaya, Familisme Pedesaan Dan Kebebasan

27 Januari 2024   23:07 Diperbarui: 27 Januari 2024   23:12 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

ANTARA BUDAYA, FAMILISME PEDESAAN DAN KEBEBASAN

Bisa dibilang Masyarakat pedesaan merupakan salah satu objek telaah yang sangat menarik, baik dari hal ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya. Struktur Masyarakat pedesaan berbeda dengan struktur masyarakat kota, mulai dari keberagaman populasinya, kegiatan ekonominya serta pola pikirnya. Ada banyak karakteristik unik masyarakat desa yang tidak dimiliki masyarakat perkotaan di antaranya budaya yang terlampau berbeda, prinsip hidupnya dan bahkan konsep kebebasannya. Sebagai contoh adalah kehidupan masyarakat desa yang komunal sedangkan bentuk hidup masyarakat kota yang lebih individual. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengulas sekilas tiga unsur utama pola hidup masyarakat desa yang penting untuk diketahui.

Budaya Masyarakat

Secara sosisologis kehidupan Masyarakat desa sangat kental dengan ritual dan adat istiadat hal ini oleh Frans Boas diistilahkan dengan Culture Area yakni kehidupan yang sangat tergantung dengan penekanan unusur-unsur budaya di setiap daerahnya. Budaya bagi kehidupan masyarakat dalam tatan sosisal yang belum terlalu kompleks (masyarakat desa) kerap kali kali dijadikan sebagai salah satu standar kehidupan sosial baku yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. hal ini disebabkan oleh mengakarnya pola hidup yang dianggap sebagai sebuah keharusan dan kewajaran. Memang hakikatnya manusia dengan kondisi apapun agaknya tidak mungkin terlepas dari tiga hal berupa etika, budaya dan estetika, manusia adalah zon politicon yang sangat bersinggungan dengan nilai-nilai tersebut, namun tingkat intensitasnya lagi-lagi akan berbeda antar masyarakat pedesaan yang sederhana dengan masyarakat yang sudah kompleks.

Sebagai contoh budaya yang mengakar pada masyarakat desa adalah keharusan wanita menjadi ibu rumah tangga, dan menikah pada usia yang terbilang muda tanpa perlu repot memikirkan tentang karir dan pendidikannya. Penyebab utama paradigma tersebut adalah berlangsungnya tatanan sosial yang turun temurun dipertahankan sehingga dianggap sesuatu yang mengikat dan harus dilaksanakan, tentu bagi orang yang tidak menerapkannya dianggap sebagai orang yang kurang baik atau buruk sekalipun. Prilaku dan cara pandang tadi merupakan hal yang sangat wajar bagi masayarakaat desa sebab setiap pola pikir dan cara pandang sebuah komunitas tidak akan terlepas dari peran lingkungan sekitar yang membentuknya. Mengutip ungkapan Vishen Lakhiani

"Living in the culturesahpe, we were shaped by the world around us"

"Hidup dalam sebuah budaya, dan kita tentu telah dibentuk oleh dunia sekitar kita"

Perlu penulis disclaimer bahwa yang dimaksud dengan budaya mengikat di sini tidak melulu diartikan sebagai hukum adat pada pembahasan teori-teori hukum, namun yang penulis maksud adalah paradigma yang membudaya dan melekat pada sebuah masyarakat, itu artinya hukuman yang didapat bukan tentu hukuman adat namun lebih pada hukuman moralnya. Struktur dan tatanan sosial yang dipertahankan dari satu generasi ke generasi secara tidak langsung akan menjadi standar yang harus diterapkan dalam kehidupan generasi berikutnya jika tatanan sosial tersebut baik tentu itu menjadi prefilage bagi masyarakat, namun nyatanya tidak semua tradisi yang diterapkan dalam tatanan sosial masyarakat itu baik banyak juga yang berdampak buruk dan merugikan.

Familisme Pedesaan

Masyarakat desa sangat kental dengan tatanan sosial yang berbasis pada kekeluargaan, mereka memiliki tingkat keperduliaan yang tinggi terhadap sesama. Tidak hanya pada orang yang memiliki hubungan kerabat saja keperdulian yang tinggi tadi juga mereka curahkan pada sesama tetangga, rekan organisasi, rekan bisnis dan lain sebagainya. Ibarat kata tetangga secara tidak langsung menjadi orang terdekat yang dianggap perlu untuk diperdulikan sikap inilah yang bis akita sebut sebagai bentuk familisme pedesaan. Urusan tetangga juga akan jadi urusan saya, kesedihan tetangga akan menjadi kesedihan saya, kebahagiaan tetangga juga akan jadi kebahagiaan saya.

Sekilas sikap demikian terlihat sangat menguntungkan, karena keperdulian orang lain dapat membuat kita mampu dengan mudah bertahan saat menghadapi ujian dan juga mampu membuat kita mudah mendapatkan pertolongan dari orang-orang yang berada di sekitar, namun sayang realita sering kali tak seindah wacana secara praktis sikap familisme ini memunculkan problem tersendiri di antaranya adalah adanya campur tangan orang lain yang berlebihan pada sesuatu yang seharusnya bukan menjadi urusan mereka. Untuk menggambarkan hal ini penulis menggunakan istilah excessive care (perduli yang berlebihan).

Perduli yang berlebihan merupakan sikap perduli yang diletakkan tidak pada tempatnya ujung-ujungnya bukan memunculkan romantisme hubungan namun justru memunculkan ketidak nyamanan dan ketersinggungan sosial karena adanya batas-batas wajar yang telah dilanggar seperti memberikan keputusan atas hal-hal yang bukan urusannya dan ia tidak diminta memberi keputusan atas hal tersebut. Orang yang berlebihan dalam memberikan perhatian tidak pada tempatnya akan menimbulkan kecemburuan sosial terutama pada sejauh mana porsi orang lain dapat memberikan tanggapan dan komentar dan sejauh mana tidak diperbolehkan. Jika ditarik pada konteks yang lebih luas hal ini akan berkaitan dengan kebebasan dan hak pribadi seseorang.

Kebebasan 

Frans Von Magnis dalam bukunya "Etika Umum" berpendapat bahwa makna hakiki dari kebebasan harus dipenuhi dari tiga unsur utama. Pertama adalah kebebasan jasmaniyyah, artinya kita tidak mendapatkan paksaaan untuk menggerakkan dan mengarahkan tubuh kita. Unsur ke dua adalah kebebasan berkehendak, maksudanya kita bebas untuk menghendaki sesuatu atau tidak sejauh pikiran dan diri kita menginginkan. Prinsip ketiga adalah kebebasan moral, maksudnya tidak adanya ancaman, tekanan, larangan yang dapat mengganggu kebatinan dan psikis seseorang.

Mendapatkan kebebasan menjadi kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi oleh setiap individu, sebab kebebasan memberikan ruang bagi mereka untuk mengekspresikan kehidupannya dan bebas menentukan hal terbaik menurut diri meraka masing-masing tanpa harus dipaksakan atau didikte oleh orang lain. Kebebasan akan berpengaruh pada kesejahteraan rohaniah seseorang sebagai bentuk mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kehendak yang diinginkan.

Kebebasan yang dimaksud dalam tulisan ini tentu bukan kebebasan secara mutlak, karena kiranya kebebasan mutlak itu hanya ilusi yang tidak mungkin pernah ada, manusia akan selalu hidup dalam aturan dan tatanan yang mengikat, seperti aturan negara atau aturan agama dan seharusnya dua aturan itu sajalah yang otoritatif dalam mengikat dan memaksa orang untuk tunduk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Meski selain keduanya tidak memiliki otiratas mengikat namun nampaknya peranan budaya dan kebiasaan memiliki porsi yang hamper sama dengan mengikatnya aturan negara dan agama sebab sangsi yang didapat juga cukup tidak menyenangkan yakni kecaman dari orang sekitar.

Dengan demikian dari beberapa poin uraian di atas, pada dasarnya kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara turun temurun (adat) tidak berlaku mengikat bagi setaip individu artinya dia boleh saja melakukan dan boleh juga untuk tidak melakukan. Hanya saja jika budaya yang mengakar dalam kehidupan masyarakat tidak dilaksanakan umumnya seseorang akan mendapatkan sangsi moral dari dunia sekitar, sangsi moral tersebut bisa berupa kecaman, keterasingan, atau penolakan. Penyebabnya lagi-lagi adalah kombinasi antara budaya dan rasa kekeluargaan yang mengakar sehingga dalam porsi yang tidak sehat dan tidak ideal akan merugikan orang lain dan akan mereduksi  kebebasan.  Pada akhirnya budaya dan familisme pedesaan akan memiliki pengaruh terhadap kebebasan seseorang.

Oleh sebab itu maka kiranya sangat diperlukan solusi untuk dapat merubah serta membangun paradigma baru yang lebih sehat dan dinamika baru yang lebih supportif agar berlangsunya kehidupan desa tidak mendistorsi hak orang lain serta mampu membangun sumber daya yang lebih baik lagi dengan porsi dan takaran yang sehat dan ideal.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun