SHOFIYATUL WIDAD BAHTIAR@S20191176
Perkawinan adalah sebuah hubungan antara laki-laki dan wanita yang sudah dewasa dan siap secara mental untuk bersatu dan berjanji dalam ikatan yang suci sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan memperbanyak keturunan.
Indonesia dikenal dengan adat budaya yang beragam yang sudah mendarah daging dari nenek moyang mereka sebelumnya serta agama dan kepercayaan yang berbeda. Tentunya setiap orang memiliki aturan yang berbeda-beda. Sama halnya dengan perkawinan, perbedaan budaya perkawinan, serta aturan-aturan yang terkandung di dalamnya, tidak lepas dari pengaruh agama, kepercayaan dan pengetahuan masyarakat dan pemuka agama di lingkungan tempat masyarakat itu berada. Perkawinan bukanlah hal yang rumit jika pasangan tersebut menganut agama yang sama, namun akan menjadi hal yang sangat rumit jika pasangan tersebut berbeda agama. Ini akan menjadi masalah karena dengan perbedaan agama, pelaksanaan pernikahan akan terhambat
Di indonesia pernikahan beda agama sering kali terjadi, seperti contoh pada tahun 2015, yang dikabulkan dari PN Lubuklinggau, pasangan yang berbeda agama ini, laki-laki beragama budha dan wanitanya beragama katholik. Dalam pernikahan beda agama ini setiap pernikahan pasti ada permasalahan tetapi, jika permasalah itu bisa di selesaikan dengan agama dan pandangan yang sama, maka kita bisa menyelesaikan atau mencari cara lain, tetapi jika masalah itu terjadi saat agama atau keyakinan sudah tidak sama, maka sudah berbeda pula pemikiran dalam mencari jalan keluar. Sangat disayangkan jika pernikahan beda agama ini tetap dijalankan karna dampaknya pun akan terlihat jika sudah memiliki anak dan pernawinannya pun kadang sudah tak sejalan.
Dalam islam sendiri sudah di jelaskan dalam firman allah surat al-baqarah ayat 221 yang artinya : “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu, dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-nya, dan allah menerangkan ayat-ayatnya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
Dalam pandangan islam sudah di jelaskan bahwa kehidupan keluarga seperti itu tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan istri berpegang kepada agama/keyakinan yang sama. Jika dalam perkawinan sudah berbeda agama/keyakinan maka akan ada berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, yaitu dalam melaksanakan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makan dan dalam membimbing keagamaan, dan terkadang akhirnya anak yang masih kecil pun di suruh memilih untuk mengikuti agama ayah atau ibunya. Tetapi dalam surat al-Maidah ayat 5. Yang intinya allah memperbolehkan laki-laki menikahin wanita yang ahlul kitab yaitu wanita yahudi dan nasrani, akan tetapi dalam kasus ini menuai pro dan kontra yang pada akhirnya kebanyakan ulama menjelaskan bahwa praktek ini hukum nya makruh tanzih (perbuatan terlarang tanpa dosa yang menyalahi adab), Artinya lebih baik seorang muslim menikahi wanita muslimah, karena menikahi wanita ahlul kitab berarti memerangi yang paling utama. Tapi ini bukan dosa. Adapun sebagian ulama, larangan pernikahan muslim dengan wanita dalam kitab suci yahudi dan nasrani mengandung syirik yang cukup jelas.
Dan perkawinan beda agama juga dilarang dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1) yaitu : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam Kompilasi hukum Islam menyatakan bahwa pernikahan adalah perjanjian yang sangat kuat atau mitsaqon gholidhan untuk mematuhi perintah Allah dan menjalankannya adalah ibadah. Pernikahan bertujuan untuk menciptakan kehidupan keluarga yang penuh kasih, mawaddahwarahmah. Agar kelak tidak ada permasalahan yang memberatkan dan kadang menghadapi suatu pilihan yang berat dalam setiap masalah.
Beberapa Akibat dari pernikahan beda agama ini, yaitu :
- Dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan cenderung tunduk sepenuhnya pada hukum agamanya masing-masing untuk menentukan boleh atau tidaknya perkawinan beda agama. Semua agama di Indonesia melarang pernikahan beda agama bagi umat Islam setelah dikeluarkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, pasal 44 mengatur bahwa perkawinan campuran yang berbeda agama, baik laki-laki muslim maupun perempuan nonmuslim, dilarang sama sekaliAkibat hukum terhadap status dan kedudukan anak.
- Dalam pasal 42 UU no 1 tahun 1974 disebutkan “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Pasal 99 KHI juga disebutkan bahwa “Anak yang sah adalah: anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah; hasil perbuatan suami istri di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”. Maka dapat dikatakan bahwa untuk menentukan sah atau tidaknya anak adalah sah tidaknya pernikahan orang tua mereka. Jika pernikahan itu tidak sah yaitu beda agama maka anak tersebut lahir dari pernikahan yang tidak sah atau anak diluar nikah. Akibatnya anak tersebut tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya dan hanya berhubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu saja, yang sudah di atur dalam pasal 43 ayat 1 undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan pasal 100 KHI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H