Pagi dunia! Entah ini udah hari yang ke berapa sejak hari pertama gue jatuh cinta sama Luna. Udah hari yang ke berapa juga ini ya, gue nggak pernah bisa bilang cinta sama Luna. Payah, mau sampai kapan ini perasaan. Padahal hari gini aja udah banyak cewek yang mengungkapkan perasaannya langsung, gila kali ya. Gue terlalu cupu atau mereka yang nggak punya malu sih? Aduh.
Hari ini adalah kesempatan gue supaya bisa bareng sama Luna. Gimanapun caranya, gue harus quality time sama Luna!
“Aldo!” sontak langkah gue terhenti di perempatan koridor. Gue hafal betul kalau itu suaranya Luna. Gue pun menoleh sok cool. “Nanti jangan lupa ya,” katanya diakhiri dengan senyum yang indah banget. Gue hanya bengong kemudian manggut-manggut sekenanya. Luna berlalu dan gue nggak ngomong sepatah katapun.
Bodoh. Bodoh. Sebagai laki-laki gue ngerasa nggak jantan. Masa gara-gara disenyumin aja gue kalah! Duh Luna, kenapa mesti basa basi jam segini sih? Acaranya kan masih nanti, kok lo kayaknya pengin banget gue ada? Hehehehe.
Hari ini di sekolah gue ada event 17 Agustusan. Sama seperti tahun tahun sebelumnya, sekolah gue selalu mengadakan acara lomba. Kali ini Luna ketua acaranya. Si cantik satu itu selalu bisa dilihat kalau lagi acara begini, otomatis yang naksir dia semakin banyak. Gue sih nggak ngerasa kalah saingan, cuma ya... kehabisan akal aja untuk sungguh-sungguh. Fiuhhh.
Seharian Luna ribet ngurusin ini-itu. Luna nggak sendirian, dia selalu ditemani Dirga. Adirga Reona. Cowok itu sering disebut “COKIBER” sama geng cewek-cewek aneh di sekolah yang artinya “Cowok kita bersama”. Kesal banget gue dengarnya, bukan karena iri. Sorry, ogah deh gue! Tapi gue akuin, Dirga itu perfect. Ganteng, tajir, baik, dan semua itu membuat dia jadi cowok paling populer di sekolah ini. Dan nomer duanya, gue... Aldo.
“Do, ikut gue yuk...” suara si cantik tiba-tiba terdengar sangat menenangkan kekesalan gue yang tadi udah benar-benar menggerutu melihat Dirga bareng melulu sama Luna.
“Kemana?” sambil memegangi kamera dan belagak o’on gue menatap si cantik itu dengan tatapan polos. Gue berharap Luna bisa suka sama gue dengan kepolosan ini.
“Angkutin speaker dari ruang osis ke panggung, sebentar lagi lomba puisi dimulai.” Katanya.
Astaga! Angkut speaker??? Tiba-tiba aja peluh bercucuran, nggak tau deh Luna lihat atau nggak. Fix, benar-benar cupu kali ini.
“Gue udah handle kok, Lun.” Tiba-tiba si Oreo nyambar. Semakin useless gue di hadapan si cantik. Aduh mak! “Lo siap-siap di panggung aja, Do.” Lanjutnya. Dirga lalu meninggalkan gue dan Luna di pinggir lapangan.
Semarak suasana 17 Agustus kali ini beda banget, entah karena semarak cinta ini juga atau apa gue nggak ngerti. Anak kelas 1 dan kelas 2 sudah mulai mengisi lapangan dan merapat ke dekat panggung. Gue yang dari tadi cuma kebagian tugas mendokumentasikan momen, sekarang gue grogi dan nggak bisa mendokumentasikan keadaan gue yang lagi berduaan sama Luna.
“Boleh lihat kameranya?”
Please Do, kali ini stay cool jangan panik. Enjoy!
“Oh, boleh boleh. Nih...” gue melepaskan kamera yang tadi gue sangkutkan di leher. Kemudian Luna mengutak-atik dan melihat semua gambar yang gue ambil.
“Eh, foto gue belom ada ya Do?” Luna masih terus melihat-lihat hasil jepretan gue. “Bagus bagus, tapi guenya nggak ada. Fotoin gue dong...” katanya. Duh, lo bilang deh kalo pengin foto bareng sama gue. Gue juga pengin soalnya...
“Iya, Lun. Ntar ya, hehehe.” Ah gila, mendadak ketawa sok lucu kok gue?
“Eh, bukannya lo ikut lomba puisi ya? Habis ini kan?”
Gubrakkk. “Iya... tapi kalo gue maju... siapa yang motret nanti?”
“Udah tenang, ada gue. Hasil jepretan gue nggak kalah bagusnya kok sama lo. Haha.” Luna tertawa sambil menatap gue, mata kita bertemu dan...
“Lun, lomba puisi udah mau dimulai. MC udah naik tuh, pesertanya lagi siap-siap.” Oreo datang dan menghancurkan quality time gue sama Luna. Kampret!!!
“Titip kamera ya, Lun. Gue siap-siap dulu...” gue pun harus merelakan Dirga di samping Luna sementara gue bakal berjuang di atas panggung.
“Oh, lo lomba ya?” tanya Dirga. Gue cuma manggut sekenanya lalu perlahan berjalan meninggalkan mereka.
“Good luck ya, Do!” nah ini! Luna dengan wajahnya yang ceria itu mengacungkan ibu jarinya ke arah gue. Asik!
Dengan berat hati, gue harus nggak tau apa aja yang Dirga bicarakan selama di samping Luna dan nggak ada gue. Cowok kayak Dirga memang bisa jadi mudah sekali mendapatkan hati Luna. Si cantik yang imut itu. Siapa sih yang nggak pengin dekat sama Luna, dia anak rohis yang paling manis, dia juara kelas dari SD, dia paling paling deh! Dan yang paling melekat dalam ingatan gue adalah, Luna nggak pernah berantakan kalo pakai jilbab. Aduh.
“Peserta berikutnya, Aldo dengan nomor urut 3! Beri tepuk tangan yang meriaaaaah!” sambutan penonton seolah pecah. Gue belum nongol di panggung, puisi yang gue bawa untung udah di luar kepala. Entah kenapa kayaknya sekolah gue jadi membludak, ini kan lomba puisi bukan pensi. Gue mulai nervous begitu melihat Luna ada di barisan paling depan dan udah siap banget motret dengan kamera gue. Apapun yang terjadi, karena tadi Luna udah bilang ‘good luck’ so gue harus lucky!
“Ketika... engkau datang dalam pandangan
Senyum itu pertama kalinya menyapaku, tanpa kata tapi membersamai sejuta makna
Kamu, yang membuat semua kata keluar dengan mudahnya berdampingan dengan rasa
Sedetik pun menjadi berarti untuk ku lewatkan
Mungkin kau tiada menduga
Barangkali aku teraniaya dalam gelora di dalam dada
Setiap waktu menyapaku dan mendatangkanmu padaku
Karenamu, inilah sajak pertamaku”
Makin pecah suasana di lapangan gara-gara gue barusan. Iya, ini puisi cinta. Dua peserta sebelumnya itu membawakan puisi tentang perjuangan. Entahlah, gue salah kaprah mungkin. Temanya bebas, kenapa harus tentang perjuangan? Bodolah ya. Gue nggak nyari menang sih. Orang gue disuruh sama si Bagas, sial hari ini si Bagas malah nggak masuk.
Setelah acara 17 Agustusan selesai, ya sudah sewajarnya kalau panitia pulang paling belakangan. Gue bersyukur banget meskipun gue nggak tau menang atau nggak, setelah turun panggung tadi gue bisa foto bareng sama Luna! AHAHAHA! Terima kasih Tuhan, Kau berikan di Oreo kesibukan tanpa melibatkan Luna. Menjelang berakhirnya hari ini, gue benar-benar quality time sama Luna! Kemana mana, Luna penginnya sama gue. Yuhuuuu!
“Thanks ya guys kalian udah bantu acara ini...” kata Luna di akhir briefing. Dan Luna terlihat sangat letih sekali, entah gue harus apa. Setelah briefing selesai. Panitia mulai keluar satu persatu dari ruangan. Luna menyandarkan punggungnya ke tembok sambil meluruskan kakinya. Dirga udah sibuk ngurusin properti yang harus dibalikin ke tempatnya. Disana tersisa gue dan beberapa anak acara. Untung mereka juga lagi sibuk.
“Capek banget? Nih...” gue menghampirinya sebentar sambil mengeluarkan sekotak French Vanilla dingin yang baru gue beli tadi di kantin sebelum briefing.
“Thanks, Do.” Luna membuka bungkus sedotan lalu menyeruputnya dan dia masih sempat-sempatnya nyengir meski urat uratnya udah mager.
“Nanti malam, fotonya gue upload ya.” Kata gue sambil merapikan tas sambil jongkok di sampingnya.
“Kopinya enak, makasih ya...”
“Enak? Bukannya rasanya gitu gitu aja ya? Pahit.” Balas gue sekenanya tanpa niatan bercanda karena ngeliat wajahnya yang udah lesu itu.
Luna menggeleng lalu menegakkan bahunya yang tadi bersandar. “Hari ini sebenarnya pahit banget, Do. Tapi gara-gara lo dan puisi lo, hari ini pahitnya beda. Pahitnya jadi kayak french vanilla barusan yang udah gue minum...” katanya tanpa menatap wajah gue sedetik pun.
Gue cuma bisa melongo dengan mata belo dan mulut membentuk huruf O. Barusan Luna yang ngomong? Bukan mimpi kan? Serius? Sumpah? Demi apa tapi please jangan Arya Wiguna yang jawab. Ah gila!!!!! Rasanya kayak terjawab tau nggak! Aduh bisa nggak sih kata-kata yang barusan keluar dari mulut Luna terulang di masa depan? Di masa depan gue sama Luna maksudnya. Luna jatuh cinta juga sama gue? Gara-gara kepolosan gue hari ini? Buah kesabaran gue sejak hari pertama gue suka sama dia? Iya nggak ini?
“Sebenarnya puisi itu untuk lo...” oh no... tiba-tiba aja kejujuran itu terungkap dari hati yang disampaikan oleh mulut. “Gue suka sama lo udah lama, tapi lo kayaknya lagi dekat sama Dirga.” Cie lancar... “Lo mau nggak jadian sama gue?” alamak, berapa lama gue ngafalin semua kalimat itu???!
Dan...
“Tadi pagi Dirga nembak gue Do...” perlahan Luna menjelaskan. Sumpah ini bikin pupus abis. Males gue jujur kayak tadi. Asli. “Cara dia nggak se-romantis elo. Emang sih kalo dibandingin, mendingan dia. Banyak yang bilang dia itu good boy, kalo elo bad boy.” Ih kok Luna juga jujur banget kayak gini sih. “Gue nolak dia, Do.” Dan... seketika kayak ada petasan di sekeliling gue buat merayakan hal ini. DIRGA DITOLAK! LUNA SUKANYA SAMA GUE! HAHAHA. Eits, gue masih diam karena Luna masih melanjutkan ucapannya. “Tapi bukan berarti gue mau terima lo karena gue udah nolak Dirga, Do.” Kampret... 1 sama gue sama Dirga.
“Terus? Emang lo udah punya pacar sampai lo nolak Dirga dan gue? Siapa?” gue nggak pengin kayak di film-film. Gue lelaki sejati yang siap terima resiko, bukan nangis.
Luna menggeleng. “Gue mau dekat sama lo sebagai teman, supaya nggak ada berantem berantem kayak mereka yang pacaran. Gue mau tetap jadi teman lo yang bisa sama siapa aja bareng juga. Keep in touch without touching, Do.”
Dan disitu gue baru sadar, kata terakhirnya penting banget buat gue catat. Luna nggak pernah punya pacar, tapi yang mau jadi pacarnya banyak. Dari yang guanteng abesss sampe yang tau dirinya nggak ganteng pada ngantri. Luna juga nggak pilah pilih dalam berteman. Jadi... gue gagal nih?
“Lo nggak pengin apa punya pacar? Yang bisa merhatiin lo tiap saat? Ngajak lo jalan, nyemangatin lo dan apapun itu?”
“Merhatiin gue kapanpun gue butuh atau kapanpun dia bisa? Setahu gue, sahabat bisa lakukan lebih banyak daripada yang lo sebutin tadi...”
Yah, bakalan teraniaya dalam rasa lagi deh ini. “Lun... tapi gue janji bisa jadi yang terbaik buat lo.”
“Buat nyokap lo gimana, Do?”
Seketika gue terdiam. Iya ya... nyokap. Nyokap gue yang tiap hari nelponin gue dari Bali itu, yang gue bilang gue diperlakukan kayak anak kecil.
“Kasih gue satu alasan, Lun. Supaya gue bisa terima kalo gue nggak diterima sama lo.”
“Banyak hal yang lebih penting daripada seseorang bernama Luna, Do.”
Gue nggak jadi nanya lagi. Gue kesal sih ternyata si Dirga udah nembak Luna tadi pagi. Untung sih ditolak, coba kalo gue duluan yang nembak. Terus si Dirga yang sekarang ini lagi ngobrol sama Luna. Malu banget kali gue? Iya. Aduh!
“I’m so sorry, Do. Besok atau lusa atau mungkin hari berikutnya, lo akan tau kenapa gue nolak lo dan Dirga atau semua yang nembak gue udah gue tolak atau akan gue tolak. Karena ada yang harus dijaga dan adapula sesuatu yang nggak harus dibagi.” Tersirat bahwa Luna kasihan sama gue. Muka gue yang ganteng ini mau dikemanain!!!
“Terus lo mau tanggung jawab nggak, Lun... kalo gue nggak bisa ganti lo dengan yang lain? Gimana kalo gue punya cita-cita married sama lo?”
“Lo ngomong apa sih, masih SMA Aldooooo” wajah si cantik kini merona, membuat suasana hati gue ceria lagi. “Tanggung jawab? Lo berdoa aja yang banyak.”
“Berdoa supaya gue dijodohin sama lo ya?”
“Ampun deh...”
“Astaghfirullah, Luna... serius.” Sampai kesal juga liat wajah Luna yang imut itu terus menatap gue dengan penuh iba. Woi!
Kayaknya gue tau nih alasan Luna nolak gue dan Dirga. Ya Tuhan tolong jodohin hambaMu yang tampan ini sama perempuan di depan hamba ini ya Tuhan.
“Udah Lun, gue udah berdoa sama Allah. Hahahaha.” Sebelum dilempar pake kotak bekas french vanilla gue kabur duluan dari ruangan itu. Semoga Dirga nggak diperlakukan sama kayak Luna memperlakukan gue barusan. Semoga juga Dirga nggak punya pikiran sejauh gue, saingan gue yang terberat itu dia. Sumpah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H