Pokok permasalahan yang selama ini menghambat kinerja penindakan tindak pidana pencucian uang disebabkan oleh Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU) atas ketidakselarasan pada frasa "penyidik tindak pidana asal" yang termuat dalam norma Pasal 74 UU TPPU.Â
Sejak UU TPPU berlaku, terdapat 6 (enam) lembaga yang berwenang dalam menyidik perkara tindak pidana pencucian uang yakni, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Kondisi diskriminatif tersebut menghambat kinerja dari Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ditugas di setiap kementerian atau lembaga negara untuk melakukan penyidikan. Kewenangan PPNS sebenarnya telah terakomodasi pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana kehadiran PPNS berfungsi untuk membantu tugas penyidik kepolisian.Â
Maka, pertentangan antara Pasal 74 UU TPPU yang mengakomodasi PPNS bertugas sebagai penyidik tindak pidana asal dengan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU yang membatasi hanya 6 (enam) lembaga inilah yang diteliti oleh Mahasiswa Semester 7 FH UNEJ ini.
Untuk itu, dalam kacamata hak konstitusi warga negara, Shofi dalam program Penelitian MBKM FH UNEJ di MK mengulas mengenai Penegasan Makna "Penyidik Tindak Pidana Asal" Pada UU TPPU dalam rangka Mewujudkan Kepastian Hukum. Selama satu semester diperoleh hasil penelitian berupa artikel ilmiah. Dalam kesempatan ini, mahasiswa program Penelitian MBKM dibimbing oleh Peneliti MK, Muhammad Reza Winata, S.H., M.H. serta Dosen Pembimbing Lapang, Rosita Indrayati, S.H., M.H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H